Oh, tepung yang putih dan halusDengan cinta dan hangat yang tulusCampurlah dengan gula yang manisRagi yang hidup, air dan mentegaPangganglah dalam nyala yang tenangRoti ini 'kan harumkan ruangSiapa yang makan, penuh sukaDengan roti ini, bahagia terasa
"Stop, Li Hua! Ibu capek mendengar nyanyianmu itu," rutuk Bu Fei. Li Hua tak mendengarkan. Ia terus menyanyikan lagu itu sambil mengadon roti baguette. Tepung ditaburkan di atas rolling pin. Li Hua tak pernah peduli dengan tepung yang menempel di bajunya.
"Apa, sih, Bu. Ini bukan nyanyian, tapi mantra. Aku yakin, kalau aku menyanyikan lagu ini, akan ada keberuntungan di kedai roti kita. Akan ada banyak pelanggan dan kita akan kaya," ucap Li Hua. "Tapi seperti kataku, aku lebih suka menyebutnya mantra daripada lagu."
Malam telah larut. Adonan itu akan dipanggang besok pagi. Kedai roti berukuran enam meter persegi itu memproduksi banyak kue. Pelanggannya kebanyakan ekspatriat dari Eropa. Atap toko itu bergaya oriental dengan hiasan naga khas Tiongkok. Naga yang memanjang atau melingkar di atap dipercaya sebagai pelindung dan lambang keberuntungan.
"Bagaimana kalau yang datang itu naga?"
"Naga?"
"Iya, naga sungguhan karena mantra-mantramu itu."
Li Hua malah tertawa. Ternyata, di usianya yang menginjak empat puluh, Bu Fei punya daya fantasi yang kuat.
"Naga memang simbol kekuatan, tapi mereka cuma ada di hati kita sebagai pelindung. Itu kata Ibu Guru."
Gerimis mulai turun. Sejurus kemudian, gerimis berubah menjadi hujan. Untuk musim-musim hujan seperti ini, toko roti sepi pengunjung, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, Li Hua dan ibunya tak hilang akal. Mereka menerima delivery. Mereka sangat paham jika pada musim hujan para pelancong lebih suka menghabiskan waktu di hotel.
"Matikan lampu dan istirahatlah! Let's call it a day!" seru Bu Fei.
Setelah roti terakhir keluar dari oven, Li Hua berniat untuk mengunci pintu dan jendela. Semua orang tahu kalau toko roti Li Hua punya aroma yang khas. Banyak yang datang terutama dari seluruh penjuru Tiongkok karena mengendus aroma roti dari radius puluhan kilometer. Namun pada malam itu, Li Hua tak pernah menyangka akan ada entitas lain yang tertarik dengan rotinya.
Di balik kaca bening etalase kedai roti itu, seekor makhluk aneh menatap display roti dengan ratapan seolah-olah ingin sekali memakannya.
"Anak kucing? Kasihan sekali."
Hujan sedikit mengaburkan pandangan. Cahaya remang pun menambah kesan ketidakjelasan benda-benda. Li Hua membuka pintu. Jelaslah makhluk apa yang sedang meringkuk kedinginan itu. Tunggu! Li Hua terkesiap.
"Astaga!" Li Hua menangkupkan kedua tangan membekap mulutnya. "Naga?!"
Makhluk itu mirip seperti maskot Halloween, si kelelawar, tapi bentuknya sangat mengenaskan. Ia tampak lapar dan hampir sekarat. Orang-orang barat menganggap naga sebagai pembunuh, simbol kerusakan dan keangkuhan. Bagi Li Hua, naga adalah simbol keberuntungan. Naga kecil itu lekas berpindah ke pangkuan Li Hua.
"Ini tidak terlihat nyata!" Bu Fei terkesima. Berkali-kali ia membenarkan latak kacamata sambil memperhatikan naga itu memamah habis sekerat baguette.
"Kita harus merawatnya, Bu," pinta Li Hua girang. Ibu tak lekas menjawab.
"Ini pasti sebab mantra-mantramu itu, Li Hua!"
"Ibu percaya jika mantra itu bisa memanggil seekor naga? Bukankah memang naga itu benar-benar ada?"
Li Hua menatap Bu Fei, yang masih terlihat terpesona oleh naga kecil yang kini duduk nyaman di pangkuannya. Matanya bulat sempurna seperti purnama.
"Kau tahu, Bu, naga ini mungkin memang ditakdirkan untuk datang kepada kita," katanya penuh semangat. "Dia bisa membawa keberuntungan yang kita butuhkan di kedai ini!" imbuhnya. "Dan pada akhirnya, naga bukan hanya sekadar simbol makhluk mitologi yang keberadaannya sukar dibuktikan. Akan tetapi, lihatlah! Naga itu nyata!"
Bu Fei menghela napas dan mencoba berpikir jernih. "Tapi kita tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan. Naga itu bisa jadi berbahaya. Api dari mulutnya, cakar, dan kekuatan ganas itu."
"Naga ini tampaknya lapar dan lemah. Kita harus memberinya makanan dan merawatnya. Siapa tahu, dia bisa menjadi teman kita," Li Hua meyakinkan. Bu Fei akhirnya setuju.
Sisa hari berjalan seperti biasanya. Li Hua dan Bu Fei tetap memanggang roti. Jika hari hujan, Li Hua akan mengantarkan pesanan roti ke resto dan apartemen dengan sepeda ontelnya. Sementara itu, naga kecil harus tetap bersembunyi. Li Hua dan Bu Fei tak mau jika seisi kota gempar akibat kehadiran seekor naga.
Bu Fei memperhatikan dengan skeptis. "Kau yakin kita bisa mempercayainya? Kita tidak tahu dari mana dia datang."
Li Hua mengangguk dengan penuh keyakinan. "Naga tidak pernah terlihat berbahaya. Yang berbahaya adalah sudut pandang kita yang kadang melihat naga dengan cara berbeda."
"Kenapa Ibu malah jadi paranoid? Sudahlah, Bu. Tak perlu ada yang dikhawatirkan."
Li Hua beranjak ke kamar untuk menulis catatan penjualan hari ini. Sebenarnya, Bu Fei tak terlalu mengkhawatirkan tentang naga itu. Lebih tepatnya, Bu Fei khawatir akan anaknya sendiri. Seorang gadis berhasil memanggil seekor naga? Bisa jadi dua pertanda, baik atau buruk. Bu Fei tak pernah siap dengan tanda buruknya.
Ada pesan masuk di ponsel Li Hua. Astaga! Pesanan untuk seribu baguette besok. Li Hua tergopoh-gopoh berlari menuju Bu Fei yang sedang duduk di kursi dapur, kemudian menunjukkan pesanan itu. Lalu, Bu Fei melirik naga kecil yang tidur melingkar di atas sofa.
Dari petang sampai pagi, toko kue Li Hua dipenuhi aroma roti. Pekerjaan yang tampaknya begitu berat bagi Li Hua dan Bu Fei, tapi seperti kebiasaannya, Li Hua selalu bernyanyi untuk mengusir penat.
Pangganglah dalam nyala yang tenangRoti ini kan harumkan ruangSiapa yang makan, penuh sukaDengan roti ini, bahagia terasa
Bu Fei hanya bisa tersenyum tanpa berani menyela lagi. Siapa tahu memang betul mantra-mantra itu membawa keberuntungan atau mungkin naga itu juga demikian. Aroma roti lekas mengundang lebih banyak pelanggan, termasuk pada hari hujan.
Hingga pada suatu malam, pada musim hujan, saat kedai hendak tutup, seorang perempuan membunyikan bel. Ia mengenakan jubah hitam, rambut panjang, dan kalung tengkorak. Ia datang hendak membeli roti. Suasana kedai seketika itu berubah jadi dingin dan mencekam.
"...., tapi lengkap dengan ekstra mantra," pinta seorang perempuan yang lebih pantas disebut sebagai penyihir dengan nada sedikit berbisik dan memaksa.
Li Hua terkesiap.
"Ma-af, kami tidak menjual mantra!" jawab Li Hua tegas. "Kami hanya menjual roti!"
Perempuan itu mendekat, menatap mata Li Hua lekat-lekat, kemudian melirik ke arah naga yang kini tampak mengerang seperti marah.
"Kau tahu, gadis kecil, mantra itu bisa memanggil lebih banyak naga. Dan kau pasti tahu, lebih banyak naga berarti lebih banyak keberuntungan dan ... kekuatan!"
Kata-katanya tampak serakah. Mulanya, Li Hua hanya bernyanyi. Itu saja. Ia tak penah tahu kalau nyanyiannya bisa memanggil naga. Dan tentang kekuatan yang dimaksud itu, kekuatan yang seperti apa? Li Hua sungguh tak mau kalau naga digunakan untuk praktik ilmu hitam.
"Di mana mantra itu?"
"Tidak ada!"
"Bagaimana jika aku memaksa?"
Penyihir itu menggunakan kekuatan yang tak tampak kepada naga kecil yang malang. Semacam ada kekuatan untuk mengekang dan mengikat, kemudian naga itu dalam satu kedipan mata berpindah tangan. Naga tak bisa berkutik.
"Lepaskan dia!" pekik Li Hua. Bu Fei merengkuh tubuh anaknya yang tampak ketakutan. Toko roti mendadak gaduh dengan gemerlap cahaya kelam dari tangan penyihir itu.
Penyihir menyeringai licik, kemudian tertawa melihat naga merintih kesakitan dan Li Hua yang tak bisa berbuat apa-apa.
"Naga atau mantra?"
Lampung, 26 Oktober 2024