Sisa-sisa kenangan di balik peresmian kelulusan sekolah masih terasa samar, seolah-olah mencoba menghapus tanda tanya yang mengganggu. Semua bergerak seiring dengan pedoman waktu, mengajak kami memahami penyesalan: kosong, hampa, dan berlalu.
Sobekan-sobekan mimpi yang pernah ada perlahan-lahan mencair dalam aliran waktu. Kami mengenang manisnya senyuman Si Penjaga Pintu Sekolah yang menyapa kami setiap pagi, atau momen konyol saat kami terlambat dan harus kerja bakti di pelajaran pertama. Ada juga indahnya sambutan hangat dari teman-teman saat salah satu dari kami datang terlambat. Semuanya benar-benar menyatu dalam ingatan, meski beberapa di antaranya terasa hancur.
Hari ini, untuk terakhir kalinya, kami mengenakan seragam sekolah bersama-sama, merayakan perpisahan dengan semangat. Keharusan untuk memeriahkan pesta terasa berat, seolah menjadi kenangan yang tak layak untuk diingat. Kami duduk di kursi penonton, padahal seharusnya menjadi bagian dari pertunjukan. Namun, karena beberapa hal yang tak berjalan sesuai rencana, terpaksa menerima kenyataan pahit yang mengundang penyesalan.
Lamunan itu membawa aroma kesenangan baru. Kami meninggalkan keramaian pesta yang seharusnya kami nikmati, melangkah memasuki lorong mimpi yang tak pernah kami bayangkan: Laweung. Bukan hanya aku yang terikat dalam kenangan ini; kami semua bersepakat untuk menjadikan perpisahan sekolah sebagai momen yang layak untuk dikenang.
Beranjak dari pesta, kami menghidupkan mesin kendaraan, menuju pelosok yang tak pasti. Perpisahan sekolah seakan terlupakan dalam perjalanan ini.
Dengan kesenangan yang bercampur aduk, kami hampir melupakan betapa cepatnya waktu berlalu. Suasana pantai yang baru dan segar menyelimuti kami, dan dalam sekejap, serpihan-serpihan kenangan mulai terkikis oleh kejamnya waktu.
Tak ada yang perlu disalahkan; kehidupan memang penuh dengan hal-hal yang harus ditinggalkan.