Pagi yang cerah ketika matahari dengan percaya diri memancarkan sinarnya dari ufuk timur, dengan kicauan burung gereja yang terbang mengepakkan sayap dan sesekali hinggap di dahan ranting pohon beringin. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela pada sebuah ruangan bernuansa merah muda, mampu membangunkan seorang gadis yang tengah tertidur pulas di kasur king sizenya.
Arunika Zeanne Queensha. Gadis itu mengejapkan kelopak matanya saat sinar matahari terasa silau mengenai ujung wajahnya. Dengan susah payah ia beranjak guna bersiap melakukan kegiatan rutin seperti pelajar pada umumnya. Rambut hitam yang sebahu ia biarkan tergerai begitu saja dengan sebuah jepit rambut berwarna pastel berada di sisi rambutnya, menambah kecantikan alami terpancar dari wajah Arunika. Betapa beruntungnya seseorang yang akan memiliki Arunika suatu hari nanti, sebab kecantikannya seperti wujud nyata dari bidadari tanpa sayap.
Jalanan yang begitu lenggang membuat Arunika dengan mudah mengendarai laju motornya dengan kecepatan normal. Arunika kemudian membuka helm setelah memarkir sepeda motor pada parkiran sekolahnya.
"Hai, cantik."
Suara sapaan itu membuat Arunika menoleh. Seorang pria tampan yang memiliki tinggi di atas Arunika tersenyum manis ke arah gadis itu. Areksa Biru Algara. Tulisan pada seragam putihnya membuat Arunika mengembangkan senyum menyambut kedatangan pria yang telah menjadi kekasihnya dua tahun terakhir.
"Eksa!" seru Arunika.
Tangan besar Areksa terangkat mengusap lembut surai hitam milik Arunika kemudian mengacaknya dengan pelan. Hal itu membuat Arunika berdecak sebal dan membalas sama seperti yang Areksa lakukan padanya. Namun, bukan kesal yang Arunika dapat dari Areksa, melainkan kekehan pelan yang memamerkan sederet gigi putih milik pria itu. "Gemes banget sih pacarnya Eksa."
"Pacar Ika juga gemes, tapi kadang nyebelin!" ujar Arunika seraya merapikan rambutnya yang tadi sempat berantakan akibat ulah Areksa.
"Haha bisa aja," sahut Areksa, "oh iya, aku punya hadiah buat kamu," ungkapnya sebelum meraih hadiah yang telah ia siapkan berada di tas miliknya. Arunika yang melihat Areksa hendak membuka tas, menahan pergerakan tangan laki-laki itu agar tak memberikannya di parkiran sekolah.
"Harus banget di sini ngasihnya? Malu diliatin banyak orang. Gimana kalau ke taman belakang?" usul Arunika yang dibalas anggukan setuju oleh Areksa.
Suasana taman belakang sekolah tampak begitu sepi. Di samping masih pagi, para siswa terbilang lebih senang berada di taman depan yang mengarah langsung pada jalanan padat ibu kota. Menjadikan taman belakang ini seringkali digunakan Areksa dan Arunika untuk menyempatkan waktu berdua.
Areksa perlahan membuka resleting tas yang tadi sempat tertunda di parkiran sekolah. Raut ceria terpancar pada wajah Arunika saat Areksa berhasil meraih hadiah yang telah ia siapkan untuknya. Sebuah buku kenangan yang berisi beberapa foto Areksa dan Arunika selama dua tahun berpacaran, dengan tambahan kata-kata indah dari Areksa di setiap lembarnya.
"Scrapbook?" ucap Arunika memastikan.
Areksa mengangguk pelan seraya menatap wajah kekasihnya begitu dalam. "Iya. Aku bikin ini tiga hari tiga malam buat kamu, supaya kamu selalu ingat akan kisah cinta kita yang indah ini dan agar kisah kita abadi di dalam sini," terang Areksa.
Mata Arunika berkaca saat itu juga. Ada rasa haru bercampur bahagia saat jemarinya membuka lembar demi lembar yang menampakkan foto-foto awal kedekatannya dengan Areksa. Gadis itu bahkan tak menyangka akan dipertemukan dengan seseorang seperti Areksa yang begitu tulus menyayanginya. Mata Arunika kemudian beralih menatap sang kekasih yang tengah tersenyum memandangi wajahnya. "Suka?" tanya Areksa.
"Suka. Sukaaaaaa banget. Makasih ya, udah mengorbankan waktu kamu buat bikin ini buat aku." Sesaat kemudian Arunika menghamburkan tubuhnya ke dekapan Areksa. Areksa tak keberatan akan itu. Cowok itu membalas pelukan hangat dari Arunika seraya mengusap pelan punggung milik kekasihnya itu.
"I love you, Areksa," lirih Arunika di tengah dekapannya dengan Areksa.
"I love you more, Arunika Zeanne Queensha."
Arunika berjalan tergesa menyusuri koridor sekolah sesaat setelah bel pulang sekolah berbunyi. Tak peduli dengan tatapan para siswa yang sesekali memandanginya. Gadis itu terus berjalan dengan mata yang mengedar ke segala arah. Gadis itu harus bertemu Areksa saat ini juga. Ia membutuhkannya. Arunika membutuhkan Areksa saat ini juga. Namun, langkah Arunika harus terhenti saat matanya menangkap kedua insan yang tengah bercengkerama di kursi koridor. Sosok yang sangat Arunika kenal itu tengah mengusap punggung tangan seorang gadis yang duduk di sampingnya, membuat darah Arunika berdesir hebat dan hatinya memburu bagai terbakar api.
"Eksaa," lirih Arunika namun terdengar di telinga Areksa. Areksa yang mendengar itu lantas berlari mengejar Arunika yang sudah terlebih dahulu berlari kencang guna menghindar darinya.
"Ika. Ika, please stop. Arunika, dengerin penjelasan aku dulu," ujar Areksa setelah berhasil meraih pergelangan tangan Arunika.
"Apa? Apa yang mau dijelasin? Kamu mau jelasin apa, Areksa? Kamu mau bilang kalau selama ini kamu selingkuh sama Ayara tanpa sepengetahuan aku? Iya? Setelah kamu buat aku seolah menjadi wanita yang paling beruntung di dunia ini, sekarang kamu jatuhin perasaan aku begitu aja!" Arunika memberontak. Ingin meluapkan semua amarahnya pada Areksa yang telah menyakiti hatinya. "Aku kecewa sama kamu."
"Aruni..."
Nihil. Panggilan lirih dari Areksa sama sekali tak membuat Arunika mau mendengarkan penjelasan dari pria itu. Tangan Areksa dihempas begitu saja oleh Arunika. Gadis itu pergi meninggalkan Areksa dengan perasaan kacau. Setetes butiran air kemudian berhasil lolos dari netra hitam miliknya. Arunika menangis. Menangisi hubungannya bersama Areksa, menangisi dipertemukan dengan Areksa, menangisi mencintai sosok seperti Areksa dan menangisi dikhianati oleh Areksa. Mengapa Tuhan mempertemukannya dengan Areksa jika pada akhirnya harus tersakiti?
Scrapbook pemberian dari Areksa yang tersimpan di dalam tas, Arunika buang begitu saja ke tempat sampah yang berada di depan sekolah tanpa sepengetahuan Areksa. Gadis itu bahkan tak berpikir dua kali untuk membuangnya sebab rasa kecewanya lebih besar dari rasa pedulinya pada Areksa saat ini.
Perasaan bercambuk, kecewa dan sedih bercampur menjadi satu dalam hati Arunika membuatnya tak fokus menyetir motor yang sedang ia tumpangi. Laju motornya begitu cepat hingga tak memperhatikan sekitar. Bunyi klakson beberapa kendaraan sebab Arunika menerobos lampu merah pun terdengar bersahut-sahutan. Namun tetap tidak dipedulikan oleh Arunika.
Gadis itu tetap melaju hingga ...
Bugh
Sebuah truk yang melintas dari lawan arah berhasil menghantam kendaraan yang ditumpangi Arunika. Tidak adanya keseimbangan membuat tubuh Arunika terpental hingga ke tepi jalan. Gadis itu jatuh tak sadarkan diri dengan darah yang berceceran di jalanan.
"ARUNIKA!"
Sudah 8 minggu semenjak kecelakaan yang menimpa Arunika, kini gadis itu harus terbaring lemah di ruang ICU dengan segala alat medis yang terpasang di sekitar tubuhnya. Arunika hanya ditemani oleh kakak laki-lakinya saja sebab kedua orang tuanya telah meninggal tiga tahun lalu akibat kecelakaan pesawat.
Jari-jemari Arunika perlahan bergerak, bola matanya mengerjap serta bibirnya sedikit terbuka. Hal itu membuat Aslan—kakak laki-laki Arunika, yang melihat pergerakan dari sang adik itu lantas menekan bel guna memanggil dokter agar segera memeriksa keadaan Arunika.
Dokter itu terlihat menghela nafas lega saat bola mata Arunika telah terbuka dengan sempurna. Wajah dokter itu kemudian menoleh pada Aslan yang memasang wajah panik, seolah memberi isyarat bahwa Arunika telah melewati masa kritisnya. Sama halnya dengan sang dokter, Aslan pun menghela nafas lega saat mengetahui keadaan adik satu-satunya itu telah sadarkan diri. Aslan lantas membawa langkah kakinya mendekat pada Arunika, mengusap pelan surai hitam Arunika serta tersenyum hangat pada gadis itu.
"Kak Aslan..." ucap Arunika parau.
"Kakak kangen sama kamu."
Senyum Arunika mengembang saat mendengar kata-kata itu keluar dari mulut sang kakak. Pasalnya, Aslan terbilang cuek dan dingin kepadanya selama ini. Mendengar kata sayang dari Aslan saja rasanya Arunika tidak pernah. Apalagi sepenggal kata rindu seperti saat ini.
"Kakak sendirian?" tanya Arunika dibalas anggukan oleh Aslan. "Iya kakak sendirian. Kamu kenapa? Cari siapa?" tanya Aslan saat mendapati mata Arunika yang mengedar ke setiap sudut ruangan.
Arunika tak bisa membohongi hatinya saat ini. Jelas, ia sedang mencari seseorang yang amat ia rindukan selama masa kritisnya. Seseorang yang mampu menjadi rumah kedua bagi Arunika setelah Aslan, namun seseorang itu pula yang menjadi alasan Arunika terbaring lemah saat ini. Dengan tatapan yang sayu, Arunika berlirih, "Eksa mana?"
"Kamu cari Areksa?" tanya Aslan memastikan.
"Iya, Kak. Aku mau ketemu dia."
"Besok pagi, Kakak antar kamu ketemu Areksa, ya? Kakak janji."
"Kenapa engga sekarang?"
"Sekarang udah malam, Areksa ga bisa ditemuin kalau malam."
Sesuai ucapan Aslan semalam, laki-laki itu kini menepati janjinya untuk mengantar Arunika bertemu dengan Areksa. Dengan bantuan kursi roda sebab kondisi Arunika yang masih lemah, Aslan dengan penuh kasih sayang menuntun Arunika turun dari dalam mobil, menyusuri jalanan setapak kemudian sampai pada tempat yang dipenuhi rerumputan hijau. Mata Arunika membulat saat membaca tulisan yang berada di pintu masuk. Batinnya bertanya, mengapa Aslan mengajaknya ke tempat seperti ini?
"Kenapa kita ke sini, Kak?"
Pertanyaan itu yang berkali-kali keluar dari mulut Arunika saat Aslan terus mendorong kursi rodanya menyusuri tanah penuh gundukan. Aslan berhenti saat batu nisan bertulis Areksa Biru Algara bin Gibran Algara berada tepat di hadapan Arunika. Sebuah senyum kecut terukir dari bibir Arunika saat membaca batu nisan itu. Kepalanya menggeleng dan terkekeh pelan kepada Aslan.
"Gak lucu, Kak. Becandanya gak lucu. Siapa yang bikin makam palsu kayak gini?" ujar Arunika.
"Kakak engga becanda, Ika."
"Bohong! Eksa pasti mau bikin surprise buat aku, kan? Kenapa harus di kuburan kayak gini ngasih surprisenya? Dimana Eksa, Kak? Suruh dia keluar sekarang. Gak baik becanda di kuburan kayak gini."
Aslan merasakan bibirnya terasa kaku. Sulit untuk mengatakan yang sebenarnya pada Arunika. Pria itu tahu, kematian Areksa adalah hal yang paling berat untuk Arunika terlebih gadis itu tidak berada di sisi Areksa saat masa terakhirnya. Aslan bersimpuh di depan Arunika, mengusap lembut punggung tangan gadis itu guna menenangkan sang adik yang keadaannya semakin kacau.
"EKSA! EKSA KELUAR SEKARANG! AKU TAU KAMU BELUM MENINGGAL. EKSAYANG!" Arunika memekik keras hingga suaranya tak tertahan lagi. Mata gadis itu mengedar dan mengerang frustasi. Hatinya enggan untuk menerima ini. Batinnya terus mengatakan jika Areksa masih berada di sisinya, masih berada di dunia ini menunggu kedatangannya.
"Ika, tenang. Dengerin penjelasan kakak." Kemudian wajah Arunika tertunduk menatap sang kakak yang masih bersimpuh di hadapannya. Ada rasa sakit saat menatap Aslan yang begitu serius, tak ada raut bercanda dari sorot mata pria itu. Ini semua bukan prank.
"Areksa meninggal setelah mendonorkan ginjalnya untuk kamu. Setelah kalian berantem dan kamu mengalami kecelakaan, Areksa ada di tempat kejadian saat itu. Dia berusaha mengejar kamu untuk menjelaskan kesalahpahaman antara kalian, tapi Areksa tahu saat itu keadaan kamu sangat kacau. Jadi dia hanya mengikuti untuk memastikan kalau keadaan kamu baik-baik aja. Dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat kondisi kamu tergeletak di jalanan. Dia yang membawa kamu ke rumah sakit." Suara Aslan terhenti sejenak saat Arunika menangis sesenggukan mendengar ceritanya. Susah payah Aslan menelan saliva dan menguatkan Arunika sebelum akhirnya suara berat dari pria itu terdengar kembali di telinga Arunika.
"Dokter menyatakan kalau ginjal kamu rusak dan segera membutuhkan donor ginjal untuk menyelamatkan hidup kamu. Kamu tahu? Areksa adalah orang pertama yang menyerahkan diri untuk mendonorkan ginjalnya untuk kamu. Dia bahkan gak peduli sama keadaannya, yang terpenting bagi dia adalah keselamatan kamu, Ika." Suara Aslan semakin parau, membuat Arunika yang mendengar itu bergetar hebat. Rasa bersalah kemudian menyelimuti gadis itu. Banyak kata seandainya yang muncul dalam benak Arunika. Seandainya ia tidak pergi saat itu, seandainya ia tidak marah pada Areksa, dan seandainya ia tidak nekat pulang saat itu. Semua ini mungkin tidak akan terjadi.
"Sebelum meninggal, Areksa bilang semua kejadian antara kalian berdua ke kakak. Perempuan yang saat itu kamu lihat, dia Ayara, adik tiri Areksa. Areksa bilang saat itu dia sedang menenangkan Ayara karena ada masalah di keluarganya. Dia mau menjelaskan ini semua tapi kamu lebih dulu membuat kesimpulan sendiri dan marah sama dia."
"Kenapa Areksa gak bilang kalau dia dan Ayara saudara tiri?"
"Dia terlalu memikirkan kebahagiaan untuk kamu. Yang dia pikirkan hanya bagaimana cara membahagiakan kamu. Karena Areksa pun merasa terpukul saat tau kalau ayahnya mau menikah lagi dengan ibu Ayara. Dia gak mungkin kuat untuk menceritakan semua ini ke kamu."
"Kenapa?"
"Karena dia gak mau terlihat lemah di depan kamu."
Runtuh. Atmosfer pada tubuh Arunika terasa begitu dingin seketika. Jemarinya bergetar hebat dan air matanya tumpah sejadi-jadinya. Gadis itu tidak bisa menyalahkan siapapun kecuali dirinya. Arunika marah pada dirinya sendiri. Kecewa dengan sikapnya yang egois dan terlalu cepat menarik kesimpulan. Rasa cemburunya lebih besar hingga menutup rasa percayanya terhadap Areksa.
Arunika Zeanne Queensha telah kehilangan sosok berharga dalam hidupnya, Areksa Biru Algara bersama kenangan yang telah mereka lewati sebab scrapbook pemberian dari Areksa sudah ia buang saat itu.
Biodata Penulis:
Wardani Lutfi Atiqoh adalah seorang Mahasiswa di UIN Syaifuddin Zuhri Purwokerto.