Bayang Bilik Suara

Cerpen ini mengangkat tema skeptisisme terhadap janji politik, perubahan sosial, dan peran aktif warga dalam memajukan desa.

Hujan rintik menyelimuti pagi di desa kecil bernama Tamanjaya. Desa itu tampak lebih sibuk dari biasanya. Di balai desa, warga berkumpul dalam antrean panjang, menunggu giliran memasuki bilik suara. Pemilu kali ini istimewa; untuk pertama kalinya, desa mereka menjadi perhatian calon pemimpin daerah yang berjanji membawa perubahan.

Bayang Bilik Suara

Di sudut balai desa, seorang pemuda bernama Adnan duduk sambil memandangi selebaran kampanye yang baru saja diberikan seorang relawan. Wajah di selebaran itu adalah Arman Saputra, seorang calon bupati yang gencar berbicara soal pemberdayaan desa. Adnan membaca janji-janji yang tercetak tebal: "Kesejahteraan untuk semua", "Pembangunan berkelanjutan", dan "Transparansi pemerintah".

“Janji lagi, janji lagi,” gumamnya dengan nada skeptis.

“Kenapa, Dan? Nggak percaya sama janji politik?” tanya Sari, sahabatnya yang duduk di sebelah.

Adnan mengangkat bahu. “Aku udah capek dengerin janji. Dari dulu mereka datang waktu pemilu, kasih sembako, bendera, terus pergi. Apa yang berubah? Sawah kita masih banjir kalau musim hujan, jalan ke pasar rusak parah. Nggak ada yang peduli sama desa ini.”

Sari terdiam. Ia paham skeptisisme Adnan. Desa Tamanjaya sudah lama terpinggirkan. Hanya ada satu sekolah dasar, tak ada puskesmas, dan anak-anak muda seperti mereka lebih sering merantau daripada tinggal di kampung.

Namun, Sari punya keyakinan. “Tapi kalau kita terus apatis, kapan kita bisa lihat perubahan? Mungkin kali ini beda.”

Adnan menatap Sari, mencoba memahami optimismenya. Tapi sebelum ia sempat menjawab, suara petugas memanggil nama Sari. Ia masuk ke bilik suara, meninggalkan Adnan dengan pikirannya.

***

Beberapa Minggu Sebelumnya

Arman Saputra datang ke desa itu dengan iring-iringan mobil mewah. Warga berkerumun menyambutnya, berharap membawa pulang sekadar kaos atau bingkisan. Adnan melihat dari kejauhan, berdiri di dekat warung kopi. Ia mengamati Arman yang berdiri di atas panggung kecil, berbicara dengan suara lantang.

“Saya berjanji, jika terpilih, Desa Tamanjaya akan menjadi prioritas utama. Jalan-jalan akan diperbaiki, irigasi sawah dibangun, dan puskesmas akan didirikan!” ucap Arman, disambut tepuk tangan riuh.

Adnan mendengus. “Semua politisi selalu punya janji besar. Tapi setelah menang, kita yang disuruh lupa.”

Seorang pria tua di dekatnya, Pak Rahman, menyahut. “Kamu masih muda, Dan. Kalau nggak percaya sama mereka, kenapa nggak kamu saja yang maju jadi pemimpin?”

Adnan tertawa kecil. “Saya cuma orang biasa, Pak. Politik bukan buat orang seperti saya.”

“Tapi kamu peduli, kan? Itu langkah pertama jadi pemimpin,” jawab Pak Rahman, lalu beranjak pergi. Kata-katanya meninggalkan kesan mendalam di benak Adnan.

***

Kembali ke Hari Pemilu

Setelah merenung cukup lama, giliran Adnan dipanggil masuk ke bilik suara. Ia berdiri di depan kertas suara, memandangi deretan nama dan wajah. Pilihan itu terasa berat. Haruskah ia percaya pada Arman? Atau memilih kandidat lain yang tak pernah menyentuh desanya?

Tiba-tiba, ia teringat ucapan Pak Rahman. “Kalau kamu peduli, itu langkah pertama.”

Adnan sadar bahwa politik bukan hanya soal siapa yang terpilih, tapi juga bagaimana rakyat memastikan janji ditepati. Ia mencoblos dengan harapan yang samar—bukan untuk percaya sepenuhnya, tapi untuk memberi kesempatan. Setelah keluar dari bilik suara, ia memandang langit yang mulai cerah.

***

Setahun Kemudian

Jalan utama di Desa Tamanjaya penuh debu, tapi kali ini bukan karena rusak—melainkan karena alat berat yang sedang bekerja memperbaikinya. Proyek pembangunan akhirnya dimulai. Sawah-sawah mulai dilengkapi saluran irigasi, dan balai desa kini dipenuhi aktivitas karena program pemberdayaan baru diluncurkan.

Namun, perubahan ini bukan datang begitu saja. Setelah pemilu, Adnan dan beberapa pemuda desa mendirikan kelompok warga yang fokus mengawasi janji-janji kampanye. Mereka rutin mengirim surat ke kantor bupati, mendokumentasikan kondisi desa, dan bahkan beberapa kali mendatangi kantor pemerintah daerah untuk menyampaikan keluhan.

Di salah satu pertemuan dengan perwakilan pemerintah, Arman Saputra, yang kini sudah menjabat sebagai bupati, sempat berbicara langsung dengan Adnan.

“Kamu ini siapa, Adnan?” tanya Arman dengan nada setengah bercanda. “Kenapa begitu gigih?”

“Saya cuma orang biasa, Pak,” jawab Adnan tegas. “Tapi saya nggak mau desa saya terus dilupakan.”

Arman terdiam, lalu tersenyum kecil. “Semoga lebih banyak orang seperti kamu di luar sana.”

Yusriman

Biodata Penulis:

Yusriman adalah seorang penulis kelahiran Sumatera Barat, Pasaman Barat, Sungai Aur.

© Sepenuhnya. All rights reserved.