Aku merasa bahagia. Pulang dari tujuh harian meninggalnya Pak Lurah dengan membawa satu sisir pisang kepok untuk si Kacer dan Kenari. Apalagi di perjalanan melihat Aditya—anakku—bermain gobak sodor di lapangan bulu tangkis bersama teman-temannya.
Dengan gesit, Aditya melewati dua penjaga dan masuk ke dalam garis finis. Selagi menunggu Aditya pulang, aku memberikan makan si Kacer dan Kenari. Satu jam kemudian Aditya pulang dengan rambut dan baju yang basah oleh keringat.
Betapa senangnya ia melihat bungkus pecel ayam di meja makan. Sebelum tidur ia bercerita bahwa tak sabar ingin bertemu dengan temannya besok di sekolah. Mendengar itu aku tersenyum dan menuntunnya membaca doa tidur.
Entah mengapa dalam benakku timbul sebuah perasaan yang kurang mengenakkan. Namun, aku mencoba menyanggah perasaan itu karena tidak ada waktu. Pagi buta, aku harus pergi berbelanja bahan-bahan untuk berdagang bakso.
***
Aku berumur lima tahun ketika orang tuaku diambil pada tengah malam. Sebenarnya, saat itu aku belum mengerti maksud “diambil” karena dengar kata “meninggal” saja aku belum mengerti.
Jendela kamarku menghadap langsung ke sebuah tanah lapang tempat anak-anak bermain. Sore bermain bola dan malam bermain batu tujuh. Terlihat begitu menyenangkan. Namun, semenjak kedua orang tuaku diambil pada tengah malam. Semuanya berubah.
Aku tidak lagi diizinkan oleh teman-temanku ikut bermain. Teman-temanku menyebut aku keturunan “kafir” dan tetanggaku menuduh orang tuaku adalah pengkhianat. Dalam kekalutan aku bertanya kepada diriku sendiri.
Kemana perginya orang tuaku? Mengapa orang-orang membenciku? Membenci orang tuaku? Membenci keluargaku? Apa karena orang tuaku meninggalkanku dan tidak pernah kembali?
“Aku benci Ayah dan Ibu! Karena mereka tidak pernah kembali, aku selalu dihina oleh teman-temanku.” Kakek memelukku dengan ikut menangis tersedu-sedu.
Kakekku bercerita bahwa orang tuaku itu seniman. Ayah adalah anggota Lekra dan ibu seorang penari di Gerwani. Aku tidak tahu Lekra, yang aku tahu hanya paklik Rajimin—adik dari ayah. Dan aku tidak tahu Gerwani, aku tahunya bude Warni—kakak dari ibu. Mendengar cerita itu hanya membuat kubenci kepada mereka semua. Paklik Rajimin, Bude Warni, dan lain-lain.
***
Menginjak usia remaja, aku tumbuh dengan keterasingan dan kepercayaan diri yang rendah. Aku tidak bersekolah dan tidak punya teman sebaya untuk bercerita.
Melihat aku yang kesepian paklik Rajimin membawaku ke Jakarta. Ia mempunyai kenalan yang memberikanku pekerjaan sebagai kuli bangunan. Di Jakarta, aku selalu-selalu berpindah tempat tinggal karena tergantung di mana proyek yang harus kukerjakan.
Beberapa tahun di Jakarta, aku mendapatkan pekerjaan tetap menjadi satpam di daerah Blok M. Mendapatkan pekerjaan tetap dan gaji bulanan ternyata sangat menyenangkan. Tidak lupa kukirimi sebagian kecil gajiku ke paklik Rajimin.
Meskipun hanya menjadi satpam, rasa percaya diriku tumbuh. Aku mulai berkenalan dengan banyak orang dan bertemu seorang lelaki bernama Supri. Ia mengajakku bergabung ke sebuah komunitas bernama Presisi.
Menurutnya kata ‘presisi’ itu berarti ketepatan. Ia juga menjelaskan presisi adalah ukuran seberapa dekat serangkaian pengukuran satu sama lain. Aku hanya menganguk-anguk saja walaupun sebenarnya aku tidak mengerti.
Aku tahunya kata ‘prei’ yang berarti libur dan kata ‘sisi’ yang mungkin berarti letak. Apakah komunitas ini berarti letak libur? Aku yang tidak pernah sekolah, bingung sendiri mengartikan kata ‘presisi’.
Setelah bergabung dengan Komunitas Presisi, aku mendapatkan banyak teman yang mempunyai masalah keterasingan. Jono—si kutu buku—mempunyai teman imajiner. Aku sering melihatnya berbicara dan tertawa sendiri di pojok ruangan.
Ia juga bercerita tentang teman imajinasinya yang bernama Sri, membisikkan dirinya untuk melakukan bunuh diri. Untung saja, Supri mampu membuat Jono kembali berpikir secara logis.
Lalu ada Timan—si gitaris—yang tidak bisa tidur karena suara bising yang mengganggu kepalanya. Namun suara itu juga membantunya menciptakan melodi yang indah dalam gitarnya.
Supri dan Jono akhirnya menjadi sahabat, sekaligus teman curhatku. Supri selalu memberikan solusi terbaik saat aku dan Jono mempunyai masalah. Begitupun Jono yang sangat nyaman dijadikan tempat untuk bersandar.
Sebenarnya masih ada banyak teman-temanku yang berjenis kelamin laki-laki. Namun, aku rasa cukup. Di Komunitas Presisi juga ada seorang perempuan.
Namanya Surti, dua tahun usianya lebih tua dariku. Orang tuanya juga tak pernah kembalikan ke rumah setelah “diambil” tengah malam. Karena persamaan nasib, aku menjadi sering mengobrol dengannya dan akhirnya kita pun menjalin hubungan asmara.
***
Di toilet umum pasar, aku sudah akrab dengan bau pesing, bau karat air keran, dan sampah bekas sampo. Ketika keluar dari toilet, aku langsung menuju musala terdekat karena azan subuh sudah berkumandang.
Selesai salam, perasaan yang kurang mengenakkan datang menghampiriku. Aku pun mencoba meraba-raba perasaan itu dan seketika kenangan masa laluku sudah merayap-rayap di hati dan pikiranku.
Aku membayangkan seisi kamarku yang juga bekas kamar orang tuaku. Ada lemari baju, meja belajar, lampu teplok, dan gitar. Semenjak umur tujuh tahun aku mulai menggambar wajah ibuku dengan perubahan detailnya di setiap tahunnya.
“Amin.”
“Amin.”
“Amin.”
Orang sibuk berdoa, pikiranku malah merayap ke masa lalu. Di penghujung doa, bayangan wajah Ibu dengan setiap detailnya merayap ke raut muka Surti. Gambar wajah yang sering kuajak bicara kalau aku rindu.
Wajah ibu tenggelam. Timbul wajah Jono yang mengingatkanku pada lemari bajuku yang sering kutumpah dengan isi hatiku yang kacau. Lalu timbul wajah Supri yang mengingatkanku pada meja belajar dan lampu teplok. Supri yang selalu memberikan solusi-solusi terbaiknya.
“Shallallahu ‘ala Muhammad.” Dalam hatiku aku berjanji akan menceritakan cerita ini kepada istriku, kecuali tentang Surti. Karena aku hanya akan menceritakan hubungan asmaraku dengan Surti pada Timan.
Aku bangkit. Lalu berjalan menuju tempat penggilingan bakso.
Biodata Penulis:
Muhammad Ridwan Tri Wibowo saat ini aktif sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta (angkatan 2022).