Perempuan di Bibir Dermaga

Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan yang hendak mengakhiri hidupnya di bibir dermaga karena patah hati. Seorang nelayan melihatnya dan ...

Seorang perempuan berwajah sendu berdiri di bibir dermaga. Ia menatap ke permukaan laut. Meskipun pantulan wajahnya tak tampak di sana, ia tak mengalihkan pandangan sedetik pun dari gelombang-gelombang kecil yang menabrak-nabrak tiang penyangga dermaga itu.

Ada burung camar di atas awan. Tongkang nelayan baru saja menepi di pantai. Jauh di seberang ada sebaris bukit tempat matahari bakal terbenam. Laut, bukit, dan matahari terbenam adalah pemandangan yang kerap jadi buruan. Bahkan sebab perpaduan tiga unsur itu, banyak fotografer yang mengabadikannya atau pelukis-pelukis yang membentangkannya di selembar kanvas. Jika sore hari cuaca cerah dan berangin, banyak anak pantai mencari kerang dan lokan.

Cerpen Perempuan di Bibir Dermaga

Sekilas tidak ada yang aneh dari dari perempuan di bibir dermaga itu. Rambutnya yang sama hitamnya dengan malam dipermainkan angin laut. Dress setinggi lututnya pun terberai-berai seperti hendak menyentuh langit, mempertontonkan pahanya yang seputih susu. Namun, segala yang disuguhkan pantai baginya tak cukup memberikan impresi, kecuali kedalaman laut yang berwarna kebiruan itu. Matanya tak beranjak dari sana.

Seorang nelayan berwajah tiga puluhan mendadak melihat sesuatu yang janggal ketika perempuan itu mengangkat salah satu kakinya. Nelayan itu buru-buru menambatkan tongkangnya, membetulkan letak jaring dan caping di kepalanya yang sedikit miring. Lalu, ia bergegas mendekati perempuan itu.

"Jangan mendekat atau aku akan melompat!" pekik perempuan itu. Nah, betul dugaannya. Perempuan itu hendak bunuh diri.

Nelayan itu tersentak. Kaos belel dan celana longgar itu terlihat seperti ikan yang digarami, kaku dan lusuh. Ia cepat berpikir, bagaimana cara menghentikan Nona itu sementara ia tak boleh mendekat.

Alas dermaga terbuat dari papan. Beberapa sudah tampak lapuk direndam musim dan cipratan air laut. Sejujurnya, ia tak heran melihat seseorang berdiri di bibir dermaga untuk kemudian menjatuhkan tubuhnya ke kedalaman laut. Agaknya hidup mereka terlalu rumit. Semua permasalahan itu berawal dari satu hal, cinta.

"Ini semua gara-gara dia!" Yup! Tebakannya benar.

Semenyebalkan itukah seseorang yang dipanggil dia? Nelayan itu mungkin tak akan paham, sebab ia sendiri pun masih lajang. Ia tak pernah merasakan sakitnya patah hati. Mungkin itu adalah salah satu alasannya masih setia dengan ombak dan angin laut. Baginya, mencintai seorang perempuan itu sungguh perkara rumit.

Dari banyaknya manusia putus asa di dermaga itu, sebagian dapat diselamatkan. Sebagian lagi berhasil melompat, tapi tak tenggelam. Hanya saja tubuh mereka luka memar dan sayatan kecil akibat tertusuk batu karang.

Nelayan itu sejujurnya juga tak begitu cemas. Jika ia melompat ke laut pun, ia tak akan tenggelam karena siang menjelang sore hari laut surut dan dangkal. Betapa dungunya manusia patah hati itu sampai-sampai tak memedulikan logika.

Angin laut masih jalang menarik-narik dress mininya. Setelah salah satu kakinya diangkat, ia kemudian merentangkan tangan. Mirip adegan film "Titanic".

"Dulu di dermaga ini, dia memelukku dari belakang." Suara isak tangisnya kemudian terdengar. Air garam di pipinya berkilatan. 

"Dulu, itu dulu." Ia mencondongkan badannya, siap memeluk air laut.

"Selamat tinggal, kenangan."

Byur! Air laut terempas ke udara.

Gila! Ia benar-benar melompat. Nelayan berwajah lugu tergopoh-gopoh mendekat sampai-sampai capingnya terlepas. Kini, ia hanya menunggu perempuan itu meminta pertolongan. Konon, banyak hiu kecil di tepi laut. Ia pasti akan segera berteriak, menampar-namparkan tangannya di permukaan air, sambil meminta tolong. Itu, kan, pemandangan biasa, pikirnya.

Ketinggian laut sore hari di dermaga hanya sepinggang. Perempuan itu tak mungkin tenggelam. Sudah jadi kepastian kalau sesaat kemudian, nelayan itu akan melihat gelembung-gelembung muncul ke permukaan. Sebentar lagi, kepala perempuan, dan teriakan minta tolong. Akan tetapi, dugaannya tak sesuai. Perempuan itu malah bebas berenang seolah-olah tak punya rasa takut dengan lautan. Dan yang paling mencengangkan bagi keduanya adalah nelayan itu melihat ekor ikan yang sangat besar. Perempuan itu juga lekas menyadari kalau dirinya bukan lagi manusia, melainkan seekor duyung!

Keduanya terperangah. Nelayan segera mengambil jaring, tapi duyung itu segera berenang menjauhi dermaga. Mungkin memang daratan bukanlah tempatnya. Ia lebih memilih menyerahkan tubuh pada lautan dan gelombang. Ia melepaskan segala ingatan akan daratan; angin, senja, dermaga, dan tentu saja cintanya.

Selanjutnya, tak ada yang tahu di mana duyung itu. Namun, nelayan yang naif itu masih menunggunya di bibir dermaga.

"Dungu banget, sih!" rutuk salah seorang remaja perempuan selepas mendengar cerita dari Kek Nuh. "Maksudku, kalau ia tahu bahwa perempuan itu tak akan pernah datang, kenapa ia masih menunggu? Toh, banyak perempuan lain di bumi ini. Lagian, bagaimana perempuan itu bisa tahu kalau lelaki yang baru dijumpainya itu menyukainya? Penjelasan yang sesederhana apa pun tak akan masuk akal karena perempuan itu, kan, baru putus cinta. Ia tak mungkin percaya lagi dengan cinta secepat itu. Duh, udah, ah! Kesel!"

Kek Nuh tersenyum getir. Tiga remaja perempuan itu cemberut, menyayangkan tindakan sang nelayan, kenapa dulu ia tak mencegahnya dengan paksa. Akan tetapi, tiga remaja perempuan itu kemudian tersenyum dan beranjak.

"Terima kasih ceritanya, ya, Kek. Besok cerita lagi?"

"Boleh, Neng."

Mereka bertiga memang terbiasa mendengar cerita-cerita dari Kakek sambil belajar menyulam jaring untuk tugas Prakarya.

Sore harinya, mereka turun ke pantai untuk mencari kerang, siput, dan ikan kecil yang tersangkut di karang setelah laut surut. Senja itu pun segera mengundang Kek Nuh untuk merapat ke bibir dermaga. Pantulan cahayanya begitu silau. Percikan ingatan berlarian seiring ombak datang menabrak dermaga yang lengang.

Kek Nuh memandang jauh ke tempat matahari itu bakal terbenam.

"Andai dulu aku tak membiarkanmu tenggelam. Dasar perempuan aneh!" gumamnya. Ia pun sejujurnya tahu, selama apa pun ia menunggu, duyung itu tak akan pernah datang kembali.

Lampung, 07 Juni 2023

Firman Fadilah

Biodata Penulis:

Firman Fadilah adalah seorang penggemar sastra klasik dan penikmat seni. Beberapa karyanya bisa ditemui di media online dan cetak/buku antologi. Ia bercita-cita ingin tetap konsisten menulis dan ingin agar karya-karyanya bisa jadi bahan ajar di sekolah.

© Sepenuhnya. All rights reserved.