"A-ku disekap. A-ku disetrum dan disetrika!"
Itu kesaksian seorang perempuan berusia dua puluhan di acara talkshow yang biasa mendatangkan bintang tamu berprestasi, unik, dan viral. Akan tetapi waktu itu, mereka mengundang perempuan korban human trafficking yang akan dikirim atas iming-iming pekerjaan dengan gaji besar di sejumlah wilayah Asia Tenggara.
Ia mengaku disiksa, bahkan saat diwawancarai, ia terduduk di kursi roda. Kakinya cacat. Tubuhnya lebam penuh luka. Itu masih satu orang. Kabarnya, masih ada ratusan korban penipuan lainnya yang belum diselamatkan.
Perempuan itu terisak, memohon-mohon kepada ratusan pasang mata yang menonton, di hadapan puluhan kamera untuk membantu menyelamatkan rekan-rekannya. Pemerintah agaknya lambat turun tangan. Beruntung, seorang pemimpin yayasan kemanusiaan Light of Mercy, Dr. Elvano Surya datang bak pahlawan.
Organisasi non-profit yang tersebar di lebih dari dua puluh negara itu tercatat telah menyelamatkan banyak nyawa, mulai dari anak gelandangan, yatim piatu, korban trafficking, sampai korban bencana. Dr. Elvano banyak dihujani pertanyaan. Jurnalis muda dari media independen Gerilya Rakyat bernama Putra Arta, turut ambil bagian.
Dr. Elvano memang lihai bertaktik. Ia dipanggil dengan sebutan malaikat penyelamat karena menolak semua penghargaan negara dan hidup sederhana. Banyak desas-desus tentang bantuan kemanusiaan yang gagal tepat sasaran. Juga tentang pengakuan salah satu keluarga korban yang kehilangan anggota keluarga secara misterius setelah diselamatkan oleh tim Light of Mercy. Tak ada kabar, tak ada jenazah, raib begitu saja.
“Katanya, mereka tergulung badai laut saat perjalanan ke Indonesia. Nggak ada satu pun yang selamat,” kata seorang ibu dengan mata merah.
Sebagai seorang jurnalis, Putra selalu berpikir skeptis. Ia segera mengajukan proposal investigasi pada redaksinya. Meski ditentang karena terlalu berisiko, ia nekat melakukan liputan bawah tanah. Ia bergerilya menyusup dalam misi penyelamatan bencana gempa di negara tetangga, berpura-pura sebagai relawan dokumentasi.
Orang-orang mungkin tak akan percaya kalau Dr. Elvano menyimpan banyak rahasia. Itulah tugasnya untuk mengungkap sebuah alibi yang dibungkus rapi dengan pencitraan.
Hari kedua di lokasi bencana, Putra hampir kehilangan akal sehatnya. Medan yang berat, suhu udara yang ekstrem, pasokan logistik lambat, dan aroma mayat yang mulai membusuk akibat tertimbun gedung membuat banyak relawan muntah dan jatuh sakit.
Ada satu hal yang mengusik pikirannya. Ia selalu merasa diawasi. Bukan oleh warga lokal atau wartawan asing, melainkan oleh sesama relawan dari Light of Mercy yang mengenakan rompi berwarna army. Beberapa relawan medis bahkan menolak berbicara kepadanya. Satu-satunya yang bersedia membuka percakapan pun terlihat gugup dan segera diam ketika seseorang dari tim Dr. Elvano lewat.
Pada malam ketiga, Putra pura-pura tertidur di barak relawan, lalu menyelinap keluar menjelang dini hari. Ia mengikuti dua orang berseragam Light of Mercy yang membawa brankar ke luar zona evakuasi, menuju sebuah gedung tua di pinggiran kota yang sudah porak-poranda.
Gedung itu seharusnya tidak digunakan lagi, bahkan tak ada penerangan. Akan tetapi, dari celah jendela yang pecah, Putra melihat seberkas cahaya temaram dari dalam dan selarat suara. Terdengar seperti teriakan dan ocehan dalam bahasa yang tak dikenalnya. Terdengar lirih tersayat-sayat, seolah-olah menggema dari dasar tanah.
Putra gegas menyalakan kamera tersembunyi yang menyembul dari kancing bajunya. Perlahan ia mendekat, menyelinap di antara reruntuhan. Saat ia sampai di jendela dan mengintip ke dalam, darahnya tiba-tiba terasa seperti membeku.
Di dalam gedung itu, puluhan tubuh manusia terbaring tak bergerak di atas ranjang besi yang berderet-deret. Ada yang masih hidup, matanya terbuka lebar menatap langit-langit, mulut mereka bergerak-gerak seperti mencoba bicara, tapi tak bersuara. Beberapa dipasangi selang dan alat medis, tapi itu bukan seperti di ruang ICU. Potret itu lebih menyerupai eksperimen.
Di tengah ruangan berdiri Dr. Elvano, mengenakan jas putih. Di belakangnya, berdiri seorang asisten dengan setelan senada. Dr. Elvano berbicara kepada salah satu tim yang membawa brankar. Suaranya datar dan dingin.
“Subjek ke-72. Jangan terlalu banyak dosis penenang. Kita butuh mereka sadar saat proses transplantasi.”
Transplantasi?
Putra hampir terpelanting di antara tumpukan sampah medis. Ia mundur perlahan, jantungnya berdentum keras di dada. Namun, sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, seseorang memegang bahunya dari belakang.
Suara pelan berbisik di telinganya, “Kau tak seharusnya melihat ini!”
Putra mencoba bersikap setenang mungkin. Ia meraba-raba saku celana untuk menunjukkan ID card bahwa dirinya seorang relawan. Namun, rencananya itu berubah ketika ia tak sengaja melihat tongkat besi. Ia raih dan hantamkan ke perut orang itu seketika, lalu memutar tubuh dan menendang bagian vitalnya sekuat tenaga.
“ARGHHH!”
Penjaga itu roboh menahan nyeri. Putra langsung melesat ke arah reruntuhan. Jantungnya meledak-ledak. Ia berlari tanpa arah, hanya mengandalkan insting untuk tetap hidup.
Putra menunduk, menyelinap melewati celah bangunan, memanjat tembok beton setengah runtuh, dan meluncur ke arah kanal air yang berbau anyir. Ia melompat ke dalamnya tanpa ragu. Lumpur menjilati tubuhnya, tapi itu lebih baik daripada ditangkap. Lalu, ia sampai di sebuah tempat.
Ia sangat yakin bahwa itu adalah salah satu markas Light of Mercy yang tersembunyi, ia melihat langsung kamar-kamar steril, meja operasi darurat, dan sebuah kontainer berpendingin yang bukan berisi makanan, tapi organ manusia!
Sungguh mengerikan bagaimana organ dipisahkan dan disimpan dalam toples kaca. Raga yang hilang nyawa itu kemudian dikubur secara masal. Inikah rahasia itu? Dr. Elvano benar-benar gila! Dengan tangan cekatan ia harus mengambil gambar yang presisi untuk menunjukkan bahwa dokter itu bukan malaikat, tapi iblis.
Nahas, Putra nyaris tertangkap saat mencoba merekam aktivitas itu, tapi ia berhasil melarikan diri dengan rekaman mentah. Esoknya, Putra dan beberapa rekannya kembali ke Indonesia dengan perasaan tak karuan. Ia paham bahwa masa depannya tak akan sama.
Setelah kembali ke Jakarta, semua berubah menjadi mimpi buruk. Kantor Gerilya Rakyat digerebek dini hari. Semua perangkat disita. Rekan-rekannya ditahan atas tuduhan penyebaran hoaks dan pencemaran nama baik. Dalam dua hari, situs mereka diretas. Saat Putra mencoba menghubungi kantor hukum, semua nomor menghilang dari jaringan kantornya. Ia diawasi, diikuti, bahkan rumah orang tuanya digerebek dan digeledah.
Putra bersembunyi. Telepon tak bisa digunakan. Orang asing terus membuntuti. Tiap malam, ia mendengar suara langkah kaki di luar pintu kosan yang ia sewa memakai identitas palsu. Ketika ia membuka, tak ada siapa-siapa, hanya secarik kertas yang ditulis dengan darah.
"Kalau kau terus menggali, kami akan menguburmu hidup-hidup!"
Putra mulai kehilangan kewarasan. Ia dihantui bayangan tubuh tanpa organ. Ia bermimpi Dr. Elvano menatapnya dari layar televisi sambil tersenyum, lalu layar itu berdarah. Dalam tidurnya, ia merasa ada seseorang menyuntikkan sesuatu ke lehernya.
Ia tak tahu apakah paranoia atau nyata. Yang jelas, hari itu ia harus mendekam di ruang psikolog untuk mendapatkan rehabilitasi saat bayang-bayang organ dibredel paksa dari tubuh korban yang katanya hendak diselamatkan selalu menghantui.
Di layar kaca televisi itu, Dr. Elvano memberikan kesaksian lagi dengan seorang disabilitas yang diselamatkan.
"Kami bekerja untuk menyelamatkan manusia, bukan sebaliknya. Itu semua hoaks!"
Audiens bertepuk tangan, tapi Putra menangkap satu keganjilan. Korban yang sehat tak pernah kembali karena organ-organ itu masih baik, sementara yang cacat tak laku. Setan!
Sampai seorang wanita misterius menemuinya di ruang psikiatri. Aveline, perempuan yang mengaku saudara jauh Dr. Elvano. Ia memberitahukan satu informasi bahwa Dr. Elvano bukan dalang tunggal. Di baliknya ada jaringan gelap. Pejabat tinggi, rumah sakit besar, bahkan bantuan dari organisasi dunia.
Operasi Elvano dilindungi oleh proyek pemerintah bernama Proyek Kesehatan Nasional. Melalui proyek itu, organ dari korban bencana dan trafficking yang seharusnya diselamatkan, dialokasikan ke pasien VVIP, pejabat, tokoh militer, bahkan orang-orang asing dari negara maju. Rumah sakit-rumah sakit besar menerima organ dengan sertifikat donasi sukarela. Semua legal tercatat di atas kertas!
"Keluargaku telah menjalankan bisnis iblis ini bertahun-tahun lalu. Aku tak ingin jadi iblis!" sergah Aveline.
Kantor Gerilya Rakyat memang tetap beroperasi, tapi redaksinya terbatas. Putra dan Aveline menyusun rencana berbahaya untuk menyebarkan semua data ke darknet, whistleblower internasional, dan forum jurnalis.
"Aku tak yakin ini akan berhasil," Aveline berceloteh. Tatapannya dingin, mirip Elvano.
"Kau tahu banyak tentang iblis itu, kan? Ini akan mudah."
“Elvano itu cuma satu pion dalam papan catur yang besar. Jangan kira dengan membongkarnya, sistemnya akan hancur,” kata Aveline dengan mata nyalang.
Tak ada guna berdebat. Putra harus segera beraksi. Meskipun pesimis, Aveline turut menyusun semua data, rekaman mentah tanpa sensor, dokumen internal dari Aveline, nama rumah sakit tempat praktik, dan catatan jaringan penerima organ. Ia sadar, menerbitkan di media lokal tidak akan berhasil dan rawan dibredel. Maka mereka sepakat untuk menyebarkan semuanya ke platform whistleblower global, dan forum-forum digital underground dengan fake account. Dalam satu malam, berita itu mengguncang dunia maya, terutama di platform X.
Video tanpa sensor segera menarik atensi masyarakat global. Dr. Elvano tampak dengan cekatan membedah korban. Ruangan dengan aroma tajam campuran alkohol, daging mentah, dan darah. Beberapa tubuh terikat di ranjang logam, dengan kulit pucat dan mata membelalak. Putra sangat yakin mereka adalah korban yang masih sehat. Mereka yang sudah cacat tidak laku dipasaran, meskipun organ dalamnya mungkin masih bagus. Ah, itulah sisi cerdik Light of Mercy. Mereka yang cacat banyak mengundang iba.
Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja operasi penuh darah dengan baskom baja di sampingnya. Seorang korban, mungkin wanita usia dua puluhan, terbaring telanjang, tubuhnya hanya ditutupi kain tipis dari dada ke panggul. Wajahnya gemetar, matanya basah menatap lampu di atasnya.
Dr. Elvano melangkah masuk, memakai sarung tangan lateks. Tangannya begitu cekatan bagai seorang seniman. Tak ada getar, tak ada ragu.
Asistennya mengikat pergelangan tangan dan pergelangan kaki pasien. Mesin mulai berbunyi. Layar monitor menampilkan detak jantung.
“Kita mulai dari ginjal,” katanya.
Pisau bedah mengiris kulit. Perlahan dan panjang. Darah mengucur, menghitam di bawah sorot lampu. Wanita itu mengerang, tapi mulutnya dibekap kain kasa tebal. Matanya bergerak liar. Dia sadar. Sepenuhnya.
Bibirnya berkedut, mencoba berteriak. Ini gila! Apa Dr. Elvano tak memberikan anestesi?
“Subjek 73 terlalu banyak bergerak. Tambah tekanan di sabuk dada!” gertak Dr. Elvano.
Seseorang berjubah biru dan bermasker mengencangkan sabuk logam di atas tulang rusuk korban hingga berbunyi klek. Jeritannya berubah jadi lirih, kemudian menghilang.
Putra menahan napas. Tangannya gemetar mencengkeram kamera. Ia ingin berlari, tapi kakinya seolah-olah terpaku ketakutan. Apa yang ia lihat lebih buruk dari berita kriminal manapun. Hal yang bukan sekadar perdagangan manusia, tapi lebih mengarah kepada panen organ manusia hidup-hidup.
Dr. Elvano dengan cekatan mengangkat ginjal korban, dimasukkan ke dalam kantong plastik es dengan label barcode. Di sebelahnya, ada enam kantong lain. Semua masih berdarah. Masih hangat.
“Kita butuh dua hati lagi malam ini. Kiriman VIP besok siang,” kata Dr. Elvano sambil mencuci tangan di baskom darah.
Boom!
Berita itu viral. Komite HAM internasional turun tangan. Skandal itu pun pecah. Wawancara, demo, investigasi besar-besaran mulai dilakukan di depan gedung dewan. People power menuntut keadilan. Anehnya, ketika semua sorotan mengarah ke Dr. Elvano, ia menghilang tanpa jejak. Tidak ada yang tahu ke mana ia pergi. Bahkan Aveline tak bisa menemukannya.
Berbulan-bulan setelah skandal besar itu pecah, dunia masih dalam kekacauan moral. Komite HAM, organisasi dunia, bahkan polisi internasional ikut turun tangan. Banyak rumah sakit internasional yang ditutup paksa dan ratusan pejabat terjerat skandal perdagangan organ itu dihukum berat. Beberapa negara bahkan mengumumkan keadaan darurat kesehatan.
Putra mendadak menjadi simbol keberanian jurnalistik. Wajahnya muncul di banyak forum, tapi ia tak pernah tampil di publik. Ia tetap bersembunyi. Aveline pun memohon agar wajahnya tak ditampilkan di forum mana pun. Mereka berdua mengaku banyak menerima teror.
Organisasi kesehatan dunia gegas berusaha menyusun ulang sistem donor organ. Revisi undang-undang, penyelidikan terbuka, hingga pengawasan ketat dilakukan. Semua tampak menuju titik terang.
Sementara itu, di sebuah pulau pribadi yang tidak tertera dalam peta dunia, seorang pria tua mengenakan jubah laboratorium putih sedang menyiram bunga. Ia memandangi lautan luas, dikelilingi oleh pagar tinggi dan satelit pengawas. Ia tersenyum sinis.
Di tangannya, tergenggam tablet digital berisi daftar pasien donor. Nama-nama dari berbagai negara. Lengkap dengan foto dan status organ. Konon, ia dengan tim akan kembali beraksi di daerah konflik Afrika.
“Dunia butuh pahlawan, tapi mereka juga butuh iblis untuk menyeimbangkannya.”
Ia mengangkat wajah, menatap layar monitor yang sedang memantau dari kejauhan.
“Putra, kau belum menang.”
Layar monitor kemudian meremang. Tulisan muncul perlahan.
"Subject is being tracked. Kill Putra Arta!"
Lampung, 23/04/2025
Biodata Penulis:
Firman Fadilah tinggal di Lampung. Baginya menulis adalah salah satu cara untuk menyeberangi kesendirian. Bisa ditemui di @firmanfadilah_00.