“Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk bermimpi dan mewujudkan impiannya.”
Riuhnya kelas mengiringi suasana kelulusan SMA Negeri Pelita Bangsa tahun ini. Semua bersorak gembira, saat telunjuk mereka menunjuk nama siswa yang lulus tahun ini di papan pengumuman. Wajah lega, berbalut haru tampak di wajah manusia yang sebentar lagi menjadi pengangguran, pekerja atau mahasiswa.
“Gimana hasil ujian lu, Fa? Nilai lu pasti bagus, sementara, lu kan anak paling pinter se-jagat SMA Negeri Pelita tercinta ini.” tanya Rina, teman karib Syafa.
Syafa tak bergeming, tak berucap satu kata pun. Ia melewati Rina tanpa sepatah kata. Yang ada di otaknya saat ini, hanyalah tentang orang tuanya. Semua hal tentang orang tuanya terlintas seketika itu di otaknya. Bagaimana kelanjutan pendidikannya? Apakah orang tuanya mampu? Apakah tidak memberatkan keduanya? Ah, semuanya berenang-renang di kepala Syafa. Semrawut.
Syafa, Syafanda Ayu Lestari lengkapnya. Perempuan cerdas, sopan, nan lugu lengkap dengan kacamata kotak yang menjadi ciri khasnya. Tingginya semampai, tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek. Dia adalah satu dari banyak siswa di SMA Negeri Pelita Bangsa yang lulus tahun ini.
Syafa lahir dari keluarga yang sederhana, bisa dibilang pas-pasanlah. Orang tuanya hanyalah seorang buruh tani yang menggantung hidup dari sepetak tanah. Hampir tidak mungkin untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, jika melihat kondisi orang tuanya saat ini. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, orang tuanya harus pontang-panting ke sana kemari. Memutar otak supaya terus hidup.
“Bruk.!” suara buku jatuh itu, memecah lamunan Syafa.
Syafa yang tengah membawa tumpukan buku itu, tanpa sengaja menabrak seorang wanita asing di depannya.
“Maaf, Ka.” ucap syafa gugup sambil membereskan buku-bukunya yang tercecer di lantai.
”It's okay. Are you fine?”
Tatapan Syafa seketika terpaku pada wajah seseorang yang ada di hadapannya. Ia hampir tak percaya, bahwa wanita cantik yang ada di hadapannya itu adalah Kak Anisa, salah satu alumni SMA Negeri Pelita yang terkenal cantik, cerdas, penuh inspirasi dan prestasi. Cerita tentang keberhasilannya tak pernah absen dari majalah dinding yang terpampang jelas di halaman sekolah.
“Kamu baik-baik saja, kan? Bukunya ngga ada yang rusak, kan?” tanya Kak Anisa penuh tanda tanya.
“Oh iya, nama kamu siapa?” lanjut Kak Annisa.
Syafa pun memperkenalkan dirinya. Di tengah obrolan, Syafa mulai bercerita tentang pikirannya semrawut akhir-akhir ini karena kelanjutan pendidikannya.
“Semua orang mengenal kaka sebagai seseorang yang sukses. Tapi tidak semua orang tahu tentang proses bagaimana kaka mencapai itu semua.” celetuk Kak Anisa di sela obrolan.
“Banyak pengorbanan dan hal pahit yang harus kaka rasakan untuk menggapai ini semua. Kalo kata pepatah si, tidak ada kemenangan tanpa peperangan, dan tidak ada peperangan tanpa rasa sakit. Begitu juga kesuksesan, yang tidak bisa digapai tanpa pengorbanan. Jangankan pengen sukses, pengen doi ngerti perasaan kita aja, juga butuh pengorbanan kan? Hahaha.” lanjut Kak Nisa sambil meledek Syafa yang tegang setengah mati.
Seketika suasana menjadi penuh canda dan tawa. Syafa pun mulai tersenyum, tak lagi memasang muka murung bak kanebo kering. Kata-kata dari Kak Anisa seakan membangkitkan dan membakar semangat perempuan berkacamata kotak itu. Ia harus mau berjuang lebih, harus tetap semangat dan optimis menggapai impiannya.
Tak selang beberapa lama Syafa dan Kak Anisa berpisah. Syafa yang kala itu sudah sangat letih pun beranjak pergi dan pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah.
“Assalamu’alaikum, Pak. Bu, Syafa pulang”
“Wa’alaikumussalam” saut Ibu Syafa.
Syafa duduk dan meletakkan tasnya, lalu meneguk air putih yang telah disiapkan Ibu untuknya.
“Bu, Syafa lulus. Alhamdulillah nilai Syafa juga bagus, Bu.”
“Alhamdulillah Nak, semoga ilmu yang kamu punya bermanfaat ya.” jawab Ibu, sambil tersenyum bangga.
“Amin, Bu. Makasih ya, Bu, Ibu dan Bapak selalu berusaha memberikan yang terbaik buat Syafa.”
“Sama-sama, Nak,” jawab Ibu sambil memeluk Syafa.
Suasana hening sesaat.
Syafa sempat ragu, darimana ia memulai obrolan dengan ibunya mengenai keinginannya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ia takut jika orang tuanya akan terbebani dengan keinginannya. Takut jika keinginannya itu, tidak disambut baik oleh kedua orang tuanya. Namun, seketika itu Syafa teringat perkataan Kak Anisa, tidak ada kemenangan tanpa peperangan. Akhirnya, Syafa pun memberanikan diri untuk mengutarakan keinginanya pada ibunya. Diterima atau tidak, itu urusan nanti.
“Bu, kira-kira Syafa lanjut engga ya?” tanya Syafa pada Ibu dengan nada penuh harap.
Ibu hanya menghela nafas dan diam sejenak.
“Kita bicarakan nanti ya, Nak. Kalau bapakmu sudah pulang.” jawab Ibu.
Hati Syafa seketika seperti gelas kaca yang jatuh dari ketinggian. Hancur, berkeping-keping. Cemas, tidak tenang, menanti Bapak yang belum kunjung pulang menggarap sawah.
Saat hari mulai gelap, laki-laki paruh baya bercamping dengan langkah yang mulai melemah datang untuk pulang.
“Assalamu’alaikum.” suara Bapak, sambil membuka pintu.
“Wa’alaikumussalam, Mas.” saut Ibu pada Bapak
Bapak masuk ke dalam rumah dan mulai membereskan alat taninya. Kemudian, menuju ke kamar mandi untuk membersihkan badannya yang penuh dengan lumpur.
Hari semakin petang, sehabis shalat Maghrib, Bapak memanggil Syafa.
“Syafa...” undang Bapak pada Syafa.
Syafa makin tak karuan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Segala bayang-bayang buruk tentang jawaban dari keinginannya muncul dan memenuhi otak Syafa.
“Dalem, Pak.”
“Gimana kelulusanmu? Lulus, Nak?” tanya Bapak.
“Alhamdulillah, Syafa lulus, Pak,”
“Alhamdulillah, Ibumu tadi matur ke Bapak, katanya kamu pengin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, ya, Nak?”
“Nggeh Pak, Syafa ingin kuliah Pak, Syafa pengin jadi guru, supaya Syafa bisa mengabdikan diri Syafa untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, Pak.” jelas Syafa.
Bapak menghela napas, matanya mulai berkaca-kaca. Seakan memberi isyarat ketidakmampuan dan keinginannya membahagiakan Syafa, berbanding terbalik. Seperti ingin memberikan pengertian akan ketidakmampuannya, namun takut mengecewakan putri kebanggaannya itu.
“Kalau Bapak dan Ibu belum mampu nda papa. Syafa ngga usah kuliah pak, Syafa nda papa Pak, Bu. Mungkin belum rejeki Syafa lanjut kuliah, Pak” jawab Syafa pasrah.
Seketika jawaban Syafa membuat air mata kedua orang tuanya pecah. Hatinya hancur karena tidak bisa membahagiakan anak satu-satunya, yang selalu menjadi kebanggaan keluarga dengan segudang prestasinya.
“Maafkan Bapak Ibumu ya, Nak, belum bisa mewujudkan keinginanmu itu, Bapak belum punya cukup uang untuk membiayai kuliahmu. Sepetak tanah yang kita punya, itu satu-satunya sumber penghidupan kita, tidak mungkin jika harus menjualnya.” jelas Bapak pada Syafa.
Air mata Syafa pecah, hatinya remuk. Impiannya kandas, hilang dan seperti tak ada lagi harapan. Ibunya memeluknya, sambil menguatkan. Berbisik dengan lembut pada Syafa.
“Maafkan Ibu, ya, Nak, belum bisa jadi Ibu terbaik untuk kamu. Tapi doa Ibu selalu menyertai langkahmu dan terus jadi anak baik yang menjadi kebanggaan Ibu-Bapak, ya, Nak.” doa Ibu pada Syafa.
Tangisnya semakin menjadi. Bisikan itu, terus terngiang di telinga Syafa. Akhirnya Syafa memutuskan untuk kembali ke kamarnya, entah apa yang ia dengar tadi, seperti pukulan tanpa obat, tamparan menyakitkan, yang mengubur dalam segala impiannya.
Malam itu, di sepertiga malam. Syafa terbangun dan mulai mengadu pada Tuhan. Ia percaya bahwa segala yang telah ditakdirkan Tuhan penuh alasan dan kebaikan. Dalam sujud, Syafa tak kuat menahan isak tangisnya.
Syafa mulai menunduk penuh tangis dan berdoa.
“Ya Allah, apapun yang Engkau takdirkan untuk Syafa, Syafa terima, karena Engkaulah sebaik-baiknya perencana. Niat Syafa baik, Syafa hanya ingin mengabdikan diri Syafa, untuk mengajarkan agama-Mu. Syafa ingin melihat kedua orang tua Syafa bangga dan bahagia. Berilah kemudahan untuk menggapai itu semua, ya Rabb. Permudahkanlah segala langkah dan usaha Syafa, Amin ya Rabbal’alamin.” ucap Syafa penuh isak tangis.
Syafa yang lelah dengan tangis, tertidur pulas di atas sajadahnya. Hingga mentari pagi, membangunkannya dari malam yang penuh dengan kesedihan itu.
Pagi itu, tidak ada gairah hidup atau semangat di diri Syafa. Segalanya seperti terhenti dan tak berarti lagi.
“Kring…Kring” dering gadget Syafa berbunyi.
Syafa pun meraih gadget-nya. Dan ternyata, itu hanyalah alarm pengingat untuknya bergegas ke sekolah. Setelah mematikan alarmnya, Syafa membuka beberapa media sosial untuk mengobati kebosanannya. Siapa sangka, secara tidak sengaja ia menemukan informasi tentang beasiswa kuliah yang menjadi harapan besar untuknya. Syafa mulai menggali informasi dan mendaftarkan dirinya di seleksi beasiswa tersebut.
Syafa tersenyum dan bersorak gembira.
“Bu, Pak, Syafa ada kabar gembira.” sorak Syafa penuh semangat.
“Ada apa, Nak?” tanya Bapak dan Ibu pada Syafa.
“Syafa dapat informasi pendaftaraan beasiswa kuliah Pak-Bu.”
“Alhamdulillah, ya Allah, semangat ya, Nak. Belajar yang giat supaya kamu bisa lolos seleksinya, doa Ibu-Bapak selalu menyertai kamu.” lanjut Bapak.
“Amin Pak, Bu. Syafa janji, Syafa akan bersungguh-sungguh belajar supaya Syafa bisa lolos dan bisa membahagiakan Bapak Ibu.”
“Amin ya rabbal’alamin, jangan lupa doa. Kamu harus ingat, doa tanpa usaha itu kosong, usaha tanpa doa itu sombong. Semangat nggeh, Nak.” tutur Ibu pada Syafa.
Hari demi hari, Syafa terus belajar dengan giat. Tak lupa ia juga berlatih soal-soal seleksi beasiswa tahun tahun sebelumnya. Di sepertiga malam, ia juga selalu menyempatkan diri untuk mengadu pada Tuhan dan memohon kemudahan dalam segala usahanya mencapai cita-citanya.
4 April 2022
Sampailah pada hari dimana seleksi beasiswa dilaksanakan. Syafa menyambut hari ini dengan semangat dan optimis. Tak lupa ia meminta doa restu pada orang tuanya untuk kelancaran seleksinya. Satu-persatu soal ia kerjakan dengan penuh keyakinan. Hingga akhirnya...
“Waktu mengerjakan ujian telah habis. Silahkan lembar jawab bisa dikumpulkan ke depan.” ujar pengawas ujian.
Syafa menghela napas dan mulai berjalan ke depan mengumpulkan lembar jawabannya.
11 April 2022
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari pengumuman. Rasa cemas, khawatir campur aduk dalam benak Syafa. Namun ia percaya, berbekal doa dan restu orang tuanya mampu mengantarkannya pada keberhasilan.
“Bismillahirrahmanirrahim,” ucap Syafa saat akan membuka pengumuman seleksi beasiswa itu.
“Semoga mendapat hasil yang maksimal ya, Nak.” ucap Ibu.
“Amin ya rabbal’alamin. Makasih ya Bu atas semua doa yang Bapak Ibu panjatkan buat Syafa.”
Suasana kamar Syafa seketika hening, doa Ibu Bapak di samping Syafa pun terus dipanjatkan, hingga akhirnya...
“Alhamdulillah, Syafa lolos Pak, Bu!” sorak Syafa penuh bahagia.
“Alhamdulillah, ya Allah” ucap Bapak penuh haru sambil bersujud.
“Alhamdulillah, selamat dan semangat ya, Nak, semoga kamu bisa menggapai segala impianmu di masa yang akan datang,” ujar Ibu.
“Makasih ya Pak Bu, atas segala dukungan dan doa dari Bapak Ibu, doakan Syafa ya, supaya Syafa bisa membahagiakan Ibu Bapak, bisa menjadi kebanggaan Ibu Bapak, dan suatu saat Syafa bisa menjadi anak yang sholehah dan bermanfaat bagi sesama.”
“Amin ya rabbal’alamin” saut Ibu dan Bapak.
Akhirnya, Syafa bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan dengan berbekal doa dan usaha juga dukungan dari orang tua yang luar biasa.
Orang tua menjadi seseorang yang paling berharga dalam hidup seorang anak. Doa dan segala dukungannya menjadi kekuatan terbesar seorang anak untuk melangkah dan menggapai mimpinya. Tanpa doa dan kasih sayangnya, anak bukanlah apa-apa. Inilah kisahku tentang Aku, Doa dan Usaha.
Biografi Penulis:
Isma Rosiana Dewi lahir pada tanggal 4 April 2003 di Cilacap. Ia adalah mahasiswi aktif program studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan di UIN Prof. KH. Saifuddin Zuhri Purwokerto.
Isma Rosiana Dewi tergabung di Komunitas Rumah Bahasa Pendidikan Agama Islam. Hobinya adalah menyanyi. Selain itu, Isma Rosiana Dewi juga suka menulis puisi.
Cerpen Antara Aku, Doa dan Usaha ini berangkat dari pengalaman hidupnya untuk bisa duduk di bangku perkuliahan saat ini, banyak sekali tantangan dan rintangannya kala itu. Namun dengan kekuatan doa dan usaha, hari ini ia mampu duduk dan mulai merajut asanya menjadi seorang guru yang mampu digugu dan ditiru di masa yang akan datang.