Akan Kucuri Hatimu dari Kenanganmu

Cerita ini menggambarkan kisah cinta yang rumit antara seorang wanita dan suaminya, yang menikah karena keadaan, bukan karena cinta.

Perahu melaju menyongsong pagi. Angin menerpa, dan kita makin beku dalam kebisuan. Kau yang berada di depanku, sama sekali tak tertarik memancing obrolan. Kau hanya akan menyahut seadanya kalau aku melayangkan pertanyaan.

Waktu terus mengulur, tetapi kita tetap saja begini. Aku menginginkanmu, tetapi kau tidak menginginkanku. Aku mau sentuhanmu, pelukanmu, ciumanmu, dan selebihnya, tetapi kau malah ogah. Aku sepertinya tak akan memiliki ragamu selama gagal menaklukkan hatimu.

Tetapi kau tidak semestinya menyepelekan keberadaanku, seolah aku tak berarti. Kau seharusnya memperlakukan aku dengan sikap yang hangat. Memancing tawaku, menatap mataku, dan menyentuh tubuhku dengan cinta, sebagaimana suami memperlakukan istrinya.

Namun anganku akan hubungan yang membahagiakan seperti itu, mungkin tak akan jadi kenyataan. Atau barangkali, aku cuma butuh waktu lebih lama lagi untuk merengkuh cintamu. Tetapi kapan? Aku sungguh tak sabar untuk kau perlakukan secara layak.

Cerpen

Aku mengerti kalau kau tak pernah mengharapkan pernikahan kita. Kau ingin menikah dengan perempuan lain. Tetapi semua telah terjadi. Dua bulan yang lalu, kita telah resmi menjadi suami-istri. Karena itu, kita mestinya saling mencintai dan menyatu untuk membangun rumah tangga.

Akhirnya, tak ada yang kuharapkan selain kesadaranmu untuk realistis bahwa perempuan yang engkau idamankan telah meninggal dunia. Ia mati tertabrak mobil yang dikemudikan seorang pemabuk, empat hari sebelum hari pernikahan kalian. Istrimu bukanlah dia, melainkan aku.

Maka dari itu, sudah semestinya kau membiasakan diri menerima kenyataan dan bersyukur atas keberadaanku di sampingmu. Apalagi, aku telah berjuang keras untuk menghidupkan cintaku untukmu. Aku telah merelakan diriku menjadi wanita pengganti untuk calon istrimu itu.

Sudah seharusnya kau berbelas kasih kepadaku. Seharusnya kau menginsafi kalau aku adalah peri penolong untukmu. Demi menjaga muruah keluargamu dengan mengupayakan agar kau tetap menikah sesuai jadwal undangan, aku mengiklaskan diri untuk menjadi pasanganmu.

Tentu aku memahami kalau kau butuh waktu untuk merelakan kekasihmu. Aku memahami kalau tak mungkin kau menobatkan aku sebagai ratu di hatimu dalam sekejap waktu. Apalagi, sebelum menikah, kita hanyalah kenalan biasa sebagai anak dari dua orang ibu yang bersahabat baik.

Tetapi seiring waktu, kau semestinya berlajar menerima keberadaanku secara perlahan. Mulailah dengan berhenti menganggap aku seperti orang asing. Bagaimanapun, pernikahan kita telah dilangsungkan atas saran dari keluarga besar kita, dan kita melakoninya tanpa paksaan.

Pun, seyogyanya, sebagai tanda terima kasih, kita mesti mempersembahkan keturunan untuk keluarga kita yang telah membukakan jalan jodoh kita. Orang tua kita pasti berharap menimang cucu. Namun, ya, itu jelas mustahil kalau kau tak juga sudi memperlakukan aku layaknya istri.

Akhirnya, aku berpasrah atas sikapmu. Yang kulakukan hanyalah terus berbakti sebagai seorang istri untukmu. Dengan begitu, kukira, suatu saat, kau pun akan berubah karena iba melihat pengorbananku yang telah menyelamatkanmu dari keterpurukan hati yang membahayakan.

Tetapi dari gelagatmu, kurasa, menunggu kesadaranmu sendiri untuk menghargaiku, akan butuh waktu yang sangat lama, atau bahkan selamanya. Aku pun tak sabar. Karena itu, aku nekat mengambil langkah untuk mencuri hatimu dari kenanganmu bersama gadis pujaanmu.

Atas rencana besarku itu, pagi ini, aku lantas memintamu untuk mengikutkan aku ke atas perahumu saat kau hendak pergi melaut. Keinginanku berdasar, sebab sepupu laki-lakimu yang merupakan partner kerjamu saat melaut, tiba-tiba demam, sehingga kau tak punya pembantu.

Beruntung, kau mengangguk-anggukan saja permintaanku. Seperti biasa, kau malas mengeluarkan kata-kata untukku kalau kau bisa menyampaikan pesanmu dengan isyarat gerakan. Meski begitu, dari raut wajahmu, aku paham kalau kau menerima tawaranku dengan baik.

Dan akhirnya, setelah beberapa lama, kita pun mengapung di atas laut yang tak jauh dari pesisir pantai. Dengan bantuanku, kau akan mengapai dan mengangkat perangkap-perangkap yang telah kau pasang. Kita pun akan mengumpulkan ikan-ikan yang menjadi bekal penghidupan kita.

Sesaat berselang, kau lantas memberikan instruksi, "Pegang kuat-kuat."

Aku pun mengangguk, menyanggupi. "Baiklah."

Akhirnya, kita pun menarik perangkap itu secara bersamaan pada sisi pegagan yang berbeda. Lalu, atas kehendakku untuk menaklukkan hatimu, aku pun meyakinkan diriku kalau aku telah berapa pada momen yang tepat untuk melancarkan siasatku.

Maka, dengan gerakan tiba-tiba, aku memelesetkan kakiku dan membuang diriku ke dalam laut. Seperti yang telah kurencanakan, aku pun menenggelamkan diri seperti batu, seolah-olah aku tak bisa berenang. Aku menyelam makin dalam, sembari berharap kau lekas menggapaiku.

Benar saja. Kau menghampiriku segera, seolah kau punya kepedulian yang besar terhadapku di balik sikapmu yang dingin. Dan untuk pertama kalinya, kau pun mendekap tubuhku. Kau lantas mengangkatku ke atas permukaan air, kemudian menunjangku ke atas perahu.

Tetapi aku tak ingin sebatas pelukanmu. Aku ingin lebih. Karena itu, aku pura-pura kehilangan kesadaran. Aku seolah-olah semaput. Hingga akhirnya, aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Untuk kali pertama, kau mencium bibirku dengan maksud memberikan napas buatan untukku.

Atas ciumanmu itu, aku lalu pura-pura menunda kesadaranku. Dengan begitu, bibirmu pun menjamah bibirku berulang kali dalam durasi yang lama. Hingga akhirnya, kala bibir kita masih beradu, aku membuka mata, dan kau jadi tampak kelabakan.

Aku lantas berlagak malu dan pura-pura memuntahkan air di tepi perahu, agar aktingku makin sempurna.

"Maaf, aku terpaksa melakukannya," katamu, memberi penjelasan.

"Untuk apa minta maaf? Bukankah memang seharusnya begitu?" tanggapku, sembari menatap matamu yang segan.

Kau mengangguk. "Ya. Memang tak ada hukum yang menyalahkan ciuman yang terpaksa untuk menyelamatkan nyawa seseorang," timpalmu, polos.

Seketika, aku kesal karena kau salah membaca maksudku, hingga aku menyergah, "Bukan itu yang kumaksud…!" Aku lalu menatap wajahmu dengan perasaan yang penuh hasrat.

Kau balas menatapku, tetapi lekas berpaling.

"Maksudku..." Aku tak sanggup merampungkan penjelasanku. Akhirnya, aku menerangkannya dengan mencium bibirmu.

Kau mematung saja. Jelas tak menduga.

Setelah sekian detik, aku pun menarik ciumanku. "Maksudku, bukankan seharusnya kita seperti ini?"

Untuk pertama kalinya, kau memandangiku dengan tatapan tajam dan tampak penuh gairah. Tanpa berkata-kata, kau lalu balas menciumku.

Bibir kita pun beradu. Perlahan-lahan, tangan kita saling meraba. Dan akhirnya, tubuh kita saling mendekap erat. Kita terus memadu kasih di atas perahu dan melupakan ikan-ikan yang menunggu untuk diangkat.

Bulan yang memudar di atas langit, dan matahari yang menyala di tepi cakrawala, kini menjadi saksi kalau aku telah berhasil meruntuhkan benteng hatimu.

Ramli Lahaping

Biodata Penulis:

Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com).

© Sepenuhnya. All rights reserved.