Arti Sebuah Percaya

Cerpen ini mengisahkan perjalanan hidup Sabrina, seorang gadis kecil yang tinggal bersama ibunya yang sakit di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

“Ada satu hal yang tidak akan lepas dari dalam diri manusia dan membuatnya tetap hidup, betapapun Tuhan mengujinya. Itu adalah rasa percaya.”

Dari jendela, terlihat salju menyelimuti jalanan. Membuat semua yang ada di bawah sana hanya berwarna putih. Cuaca di London belakangan ini memang sudah memasuki musim dingin. Orang-orang bergegas kembali ke apartemennya sebelum malam tiba, lebih memilih menghabiskan malam di dalam sana daripada menghadapi risiko kedinginan ketika berada di luar.

Hal yang sama juga berlaku bagiku. Aku kini hanya duduk menikmati pemandangan di balik jendela. Secangkir teh hangat mengepulkan aroma yang enak. Dari jendela apartemen yang berada di lantai 3 ini, samar-samar terlihat bangunan tinggi yang bertuliskan 'University of London'.

Arti Sebuah Percaya

Suara takbir bergema. Diiringi dengan suara klakson yang bertalu-talu; kemacetan khas Ibukota. Malam takbiran selalu menjadi momen yang ramai. Orang-orang kembali ke kampung halamannya untuk menyambut hari kemenangan. Anak-anak berlarian di dalam masjid, beberapa anak yang lebih besar menabuh bedug. Menambah suasana menjadi sangat gempita.

Hal berbeda dirasakan oleh seorang anak kecil yang kini terduduk di rumah kontrakan kecilnya. Di depannya terbaring tubuh yang lemas, matanya terpejam menahan sakit.

“Ibu...” anak kecil itu memanggil dengan lembut. Matanya kini berkaca-kaca melihat satu-satunya keluarga yang ia miliki terbaring tidak berdaya.

Ia masih terlalu kecil untuk menghadapi kenyataan hidup. Usianya baru delapan tahun. Saat anak-anak lain memiliki waktu bermain sepulang dari sekolah, ia memilih untuk membantu ibunya mengais rupiah. Tapi ia anak yang sangat pintar. Cita-citanya adalah menggapai pendidikan sampai ke negeri seberang. Ia tetap memiliki rasa percaya itu, meskipun di tengah kondisi ekonomi keluarganya, hal itu amat mustahil terjadi.

“Uhuk... uhuk” Si ibu kini batuk, disertai dengan cairan merah yang keluar dari mulutnya.

“Ibu! Bangun, bu... Ibu...” ia kini menangis tersedu. Tidak tahu harus berbuat apa. Yang ia tahu, ia harus pergi dan meminta bantuan.

Di tengah perjalanannya, samar-samar ia melihat sebuah benda. Ia menyeka air matanya. Benda itu terlihat jelas sekarang, berada di tengah jalan di antara riuhnya orang-orang yang sedang berjalan kaki. Ia mendekati benda itu. Dugaannya benar, itu adalah sebuah dompet kulit berwarna hitam. Orang-orang tidak menyadarinya karena sibuk dengan urusannya masing-masing. Di pelataran masjid, ia semakin bingung. Benda itu kini sudah berada di tangan kecilnya. Di sisi lain, ia harus segera meminta bantuan untuk membawa ibunya ke dokter. Tiba-tiba, ia mendengar seorang anak kecil berteriak.

“Ayah... Ayah. Itu dompet ayah!” Seorang anak kecil perempuan, mungkin seusianya, kini berjalan menghampirinya. Seorang perempuan yang menggandengnya turut mempercepat langkahnya.

“Iya, ini 'kan dompet ayah. Lihat, Yah. Bener, 'kan?” Perempuan usia tiga puluhan yang cantik itu mengambil dompet hitam yang sedari tadi ada di tangannya.

“Tadi dompet Ayah hilang waktu kita di tengah kerumunan orang. Terus Ayah ngrasa ada yang ngambil dompetnya dari saku celana Ayah, 'kan?” kata perempuan itu. Matanya kini menaruh curiga padanya.

“Enggak, Bun...” Laki-laki yang kini sudah berdiri di depannya itu menjawab singkat. Badannya tinggi dan tegap. Tampilannya sangat rapi. Entah mengapa, matanya memancarkan ketenangan.

“Tapi ini buktinya dompetnya ada di anak ini, Yah. Sudah ada di tangannya. Tadi kita nyari di sepanjang jalan juga tidak ada. Kamu ngambil dompet suami saya, 'kan?!” Perempuan itu berbicara setengah berteriak. Ia hanya bisa menangis. Pikirannya kalut, ia memikirkan ibunya yang sedang sakit. Kini ia harus menerima tuduhan sebagai pencuri dompet.

“Sudah, Bun. Dia hanya anak kecil” Laki-laki itu kini berbicara.

“Tapi, Yah, gak boleh dibiarin. Kalau kecilnya sudah jadi pencuri, gimana gedenya nanti?! Ayo kamu ngaku saja!” Ibu itu kini memegang lengannya.

“Tidak... Tidak, Bu” Ia kembali menangis. Pandangannya tertunduk, pasrah. Sungguh, ia hanya anak kecil yang mengkhawatirkan ibunya. Tidak mampu menjelaskan hal yang sebenarnya mudah untuk dijelaskan.

“Astaga, Mira. Sudahlah. Kembali ke mobil sekarang” kata laki-laki itu tegas.

“Tapi, Yah...” kata perempuan itu.

“Kembali ke mobil sekarang” Laki-laki itu berkata. Nadanya datar. Ekspresinya menunjukkan keseriusan, tapi matanya masih sangat teduh. Perempuan itu pun tidak lagi menjawab. Ia membalikkan badannya, menggandeng anak perempuan itu dan berjalan menuju mobil.

Ia masih menunduk. Tidak berani menatap wajah laki-laki yang kini ada di hadapannya. Ia tidak tahu apa yang akan menimpanya. Apakah laki-laki pemilik dompet hitam ini akan memarahinya? Atau melaporkannya ke ketua RT setempat?

“Siapa namamu?” Laki-laki itu bertanya. Selain matanya, suaranya pun sangat menenangkan. Berwibawa, sekaligus meneduhkan. Ia kini mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk. Matanya beradu pandang. Ada satu hal yang ia lihat. Laki-laki tegap ini juga memiliki rasa percaya itu. Bukannya menanyakan tentang dompet yang ia temukan, laki-laki ini justru menanyakan namanya. Bahkan kelak sama sekali tidak pernah menanyakan perihal dompet itu untuk selamanya. Tersadar akan pertanyaan yang dilontarkan, ia segera menjawab.

“Brin. Sabrina” Jawabnya.

Ia bergegas kembali ke kontrakan kecilnya, buru-buru membuka plastik putih berisi obat-obatan sesampainya di sana. Ibunya masih memejamkan mata. Berkali-kali ia mengucap syukur karena ibunya masih bernapas. Ucapan syukur itu rasanya akan selalu ia ucapkan karena laki-laki tegap nan baik itu menjelma sebagai hadiah dari Tuhan. Ya, laki-laki itulah yang berbaik hati memberikan uang untuk membeli obat. Tidak sampai di situ. Keesokan paginya, seorang dokter mendatangi kontrakan kecilnya untuk memeriksa ibunya. Laki-laki itu juga hadir. Tangannya menyodorkan sesuatu; sebuah rekening.

“Jangan khawatirkan hidupmu mulai sekarang” ucap laki-laki itu.

Benda itu kemudian membuat ia dan ibunya hidup bertahun-tahun setelahnya. Ia dapat bersekolah, dan tentunya dapat menghidupkan mimpinya untuk mengenyam pendidikan yang tinggi. Rasa percaya itu semakin menemukan titik terangnya. Seperti laki-laki itu yang mempercayainya tanpa syarat, kini ia juga harus percaya bahwa mimpinya pasti bisa ia wujudkan. Laki-laki yang bahkan tidak mengenalnya, tetapi memiliki keyakinan akan gadis kecil yang tidak sengaja bertemu dengannya di malam takbiran.

Salju semakin menebal. Teh yang tinggal setengah cangkir itu sudah tidak lagi mengepulkan aroma yang hangat. Ya, gadis kecil itu adalah aku. Gadis kecil yang memiliki keyakinan bisa belajar hingga ke negeri seberang.

Pada kenyataannya, aku pergi sangat jauh sampai melintasi benua. Ini adalah tahun ketigaku berada di London. Pertanyaan mengenai kejadian malam takbiran itu masih sering terlintas. Mengapa laki-laki itu sangat berbaik hati kepada kami? Siapa sebenarnya ia? Sampai kini pun, aku tak tahu siapa namanya. Ia pernah berkunjung ke rumah, ketika aku lulus dari SMA. Kini aku sudah cukup dewasa. Kurasa sudah saatnya aku bertanya. Aku sudah merencanakannya; ketika pulang ke Jakarta nanti, aku akan bertanya.

Selama ini kami hanya mengira bahwa ia adalah malaikat berwujud manusia yang sengaja Tuhan kirimkan bagi keluarga kami. Apapun kebenarannya, ia akan selalu menjadi malaikat bagi kami. Aku bertekad untuk belajar dengan sungguh-sungguh agar kepercayaan yang laki-laki itu beri tidak menghasilkan sesuatu yang sia-sia. Siapa sangka, sebuah percaya memiliki arti yang sangat besar kepada hidup seorang manusia. Arti sebuah percaya sudah mengantarkanku mewujudkan apa yang selama ini aku impikan; belajar hingga ke negeri seberang.

Sudah hampir tengah malam. Liburan musim dingin akan tiba kurang dari dua minggu lagi. Aku menatap langit-langit kamar. Aku sangat bersyukur, dan bagaimanapun, aku juga akan mendapatkan jawaban mengenai laki-laki itu sebentar lagi. Aku akan terbang ke Jakarta. Untuk pulang, untuk menerima jawaban.

Rifana Saputri

Biodata Penulis:

Rifana Saputri lahir pada tanggal 24 Februari 2003 di Purbalingga. Ia kini sedang berkuliah di UIN K.H. Saifuddin Zuhri program studi Pendidikan Agama Islam.

Rifana Saputri suka menyanyi dan menanam. Ia tertarik pada kegiatan sosial terutama yang bersifat outdoor. Ia memiliki keyakinan bahwa menjadi manusia adalah tentang menjadi bermanfaat bagi orang lain.

© Sepenuhnya. All rights reserved.