Sebuah Doa

Cerpen ini mengisahkan Naira, seorang gadis remaja yang merasa kecewa dan tertekan ketika ayahnya memaksanya untuk masuk pesantren, sementara ...

“Keputusan Ayah sudah bulat Naira! Kamu harus masuk pesantren!” bentak ayah.

“Ini pertama kalinya ayah bentak Naira. Naira kecewa sama ayah!” Naira masuk ke kamar sambil menangis.

Naira rasa dia sudah besar dan bisa ambil keputusan yang menurutnya benar, tetapi ayahnya tidak setuju dengan pilihannya. Ketika teman-teman Naira mendaftar di SMA favorit di kotanya, Naira berbeda. Ayahnya menginginkan Naira untuk masuk ke pesantren. Naira pikir ia tak pernah melakukan kesalahan. Prestasinya tidak menurun. Ia bisa menyeimbangkan antara sekolah dengan ekstrakurikuler dan lomba-lomba yang ia ikuti.

“Sayang ikuti saja ya apa kata Ayah. Ayah tau yang terbaik buat Naira” bujuk Bunda.

“Apa menurut ayah dan bunda jauh dari kalian adalah hal yang baik Bun? Baik dari segi mana? Pokoknya Naira tidak mau ke pesantren!” tolak Naira.

Setelah mendapat penolakan dari Naira, Ayah dan Bunda tak pernah membahas hal itu lagi. Suatu hari, tiba-tiba ayah pingsan dan dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Sebuah Doa

“Bapak terlalu banyak pikiran Bu, tolong jangan bebani bapak dengan masalah yang berat-berat dulu” jelas dokter.

Naira berpikir, apakah ini karena ia tak menuruti kata Ayah untuk masuk pesantren? Tapi Naira sangat tidak ingin tinggal di sana. Pasti di sana kotor, ramai orang, dan banyak hal lain yang sangat Naira hindari jika bersama banyak orang.

“Bunda maafin Naira ya, karena Naira Ayah jadi sakit” sesal Naira.

“Ini bukan salah Naira kok, mungkin Ayah lagi kecapekan” kata Bunda.

Saat Naira menunggu Ayah di rumah sakit, Naira berpikir akan menyetujui untuk masuk ke pesantren.

“Ayah, Naira akan ikuti perintah Ayah untuk masuk pesantren. Jika memang itu yang terbaik menurut Ayah dan Bunda Naira akan ikuti” kata Naira.

“Naira serius? Naira mau masuk pesantren?” tanya ayah.

“Iya yah, selama itu bisa membuat Ayah dan Bunda senang Naira akan ikuti” kata Naira.

“Alhamdulillah, tunggu Ayah sehat ya sayang. Nanti Ayah dan Bunda akan antar Naira ke pesantren” kata ayah.

“Iya Ayah” kata Naira.

3 hari setelah itu, ayah sudah pulih dan bisa pulang dari rumah sakit. Ayah dan Bunda sangat semangat mempersiapkan kebutuhan Naira selama di pesantren, mengingat seminggu lagi Naira akan berangkat. Segala perlengkapan mandi, makan, selimut, baju, jilbab, dan masih banyak barang bawaan lainnya.

Lalu tibalah hari keberangkatan Naira. Setelah bertemu dan berbincang sebentar dengan pengasuh pesantren, Naira diajak membawa barang bawaannya ke kamar barunya. Satu kamar berisi 4 orang dengan ranjang bertingkat. Naira pun berkenalan dengan teman-teman kamarnya.

“Hai Naira! Aku Salsa, ini Fani, dan ini Restu. Kita juga baru di sini, salam kenal ya!” ucap Salsa.

“Hai salam kenal juga, semoga kita bisa berteman dengan baik ya” kata Naira.

“Pastinya!” seru Fani dan Restu.

Tak terasa sudah seminggu Naira tinggal di pesantren. Walaupun ia sering menangis karena ingin pulang, tapi ia tahan. Ini demi Ayah dan Bunda, katanya.

Dua bulan, enam bulan, setahun telah terlewati. Ternyata segala pemikiran Naira tentang pesantren salah besar. Pesantren adalah tempat ternyaman untuk menuntut ilmu, banyak teman yang mengajak kebaikan, solidaritas yang kuat, dan banyak hal lain yang tidak terduga.

Masa kelulusan sudah dekat. Dan mereka akan berpisah untuk menggapai impian masing-masing. Naira, Salsa, Fani, dan Restu saling berpelukan.

“Pokoknya kalau kita berpisah jangan sampai lupa ya kita pernah bersama!” seru Salsa.

“Pasti! Persahabatan kita nggak akan terlupakan” tambah Naira.

Setelah diwisuda Naira menghampiri Ayah dan Bunda.

“Terimakasih Ayah Bunda, berkat kalian Naira bisa tahu banyak ilmu, maafkan Naira belum bisa membanggakan kalian” kata Naira.

“Tidak sayang, Naira adalah adalah terhebat Ayah dan Bunda. Semoga ilmu yang Naira dapat bisa bermanfaat terutama untuk diri Naira sendiri dan juga bisa bermanfaat bagi orang lain” kata Ayah.

“Aamiin, terimakasih atas doa dari Ayah dan Bunda” kata Naira.

“Sama-sama sayang” kata Ayah dan Bunda.

Ternyata tidak semua yang kita anggap tidak baik selamanya tidak baik. Adakalanya itu adalah hal yang paling baik untuk kita. Begitu juga sebaliknya, tidak selalu yang baik itu terbaik untuk kita. Jadi, jangan hanya memandang sebelah mata tanpa kita tahu yang sebenarnya.

Biodata Penulis:

Ika Mustika Ratri saat ini aktif sebagai mahasiswi di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.

© Sepenuhnya. All rights reserved.