Broken Home bukan Akhir dari Segalanya

Cerita ini mengisahkan Fira, seorang anak tengah dari tiga bersaudara yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang broken home. Fira sering mengalami ..

Ini adalah kisah seorang anak yang haus akan perhatian dari orang tuanya. Seorang anak bernama Fira, anak tengah dari tiga bersaudara selalu mendapat perlakukan tidak adil dari orang tuanya, dibanding-bandingkan dengan anak yang lain, selalu dimarahi setiap kesalahan yang dia perbuat, sehingga dia tumbuh menjadi anak yang keras kepala.

Menjadi anak broken home tidaklah mudah, Fira melewati masa kecilnya dengan penuh suka duka. Dengan berlatar belakang ayahnya seorang mantan preman membuat Fira terdidik dengan keras. Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, Fira pernah diguyur air oleh ayahnya ketika dia sedang tidur siang.

"Fira bangun!! Sudah jam dua siang! Kamu ngaji kan!!" terdengar suara ayahnya, namun Fira tetap tidur. Karena Fira tidak peduli dengan perkataan ayahnya, dan tetap tidur, ayahnya mengambil satu gayung air kemudian disiram kepada anaknya itu.

Fira terbangun dan menangis, tidak ada yang tahu akan kejadian itu bahkan ibunya sekalipun. Sungguh anak yang malang, usia yang seharusnya dipenuhi dengan kasih sayang, namun berbeda dengan anak ini. Anak sekecil itu sudah mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari ayahnya.

Broken Home bukan Akhir dari Segalanya

Di sekolah, Fira banyak mengikuti lomba mewakili sekolahnya. Dia berbakat di bidang musik, olahraga, bahkan akademik. Dengan suaranya yang merdu, dia berhasil menjadi juara ketiga Lomba Macapat tingkat Kabupaten. Selain itu, Dia juga pernah menjadi juara harapan satu Lomba Menari tingkat Kabupaten. Dan yang paling membanggakan ketika Ujian Nasional dia mendapat Nilai tertinggi tingkat Kecamatan, hingga sekolahnya mendapatkan bantuan pembangunan dari Pemerintah. Ini membuat Fira diterima di sekolah favorit saat itu.

Di balik kisah kelamnya, Fira sebenarnya anak yang berprestasi. Namun, dia tidak pernah mendapat dukungan dari orang tuanya. Ketika dia SMP, tepatnya kelas 8, ini adalah waktu ketika Fira menjadi anak yang nakal karena terbawa temannya saat itu. Fira menjadi anak yang malas, suka kabur dari sekolah, tidak pernah mengerjakan tugas, bahkan membolos satu minggu hingga guru BK sekolahnya datang ke rumah Fira. Alhasil saat kenaikan kelas, Fira hampir tidak naik kelas karena nilainya jelek dan jarang berangkat sekolah.

Semenjak itu, Fira berkeinginan untuk memperbaiki nilainya dan akan belajar sungguh-sungguh di kelas 9. Saat kelas 9, Fira masuk kelas C yang terkenal dengan anak-anaknya yang nakal, padahal sebelumnya Fira masuk kelas favorit tapi itu bukan alasan bagi Fira untuk bersedih dan tidak bersemangat dalam menuntut ilmu.

Suatu hari, Fira ditunjuk untuk mengikuti lomba POPDA cabang atletik oleh Pak Isro salah satu guru olahraga di SMP-nya saat itu. Tanpa berfikir panjang, Fira menyetujui permintaan Pak Isro. Setiap pulang sekolah, Fira berlatih bersama para atlet lainnya di Lapangan sekolah.

Setelah berlatih keras, Fira bersama temannya mendapat juara 1 Lomba Atletik Cabang estafet. Bahkan teman satu sekolah Fira yang menjadi perwakilan Lomba juga banyak yang mendapat juara, sehingga mereka membawa nama baik sekolah hingga masuk Koran Banyumas. Fira bersyukur karena dia bisa bermanfaat untuk sekolahnya dan mendapat medali emas.

Setelah kejadian itu, Fira pulang ke rumah dan ingin bercerita kepada orang tuanya atas prestasi yang telah diraih Fira, namun seperti biasa tidak ada yang tertarik dengan cerita Fira. Fira sedih tapi bagi dia hal seperti itu sudah biasa jadi untuk apa dia sedih tidak ada gunanya.

Setelah 3 tahun melewati masa SMP, hingga di titik akhir Fira Lulus dengan nilai pas-pasan karena kurangnya motivasi dan dukungan belajar dari orang tuanya.

Ketika anak lain sibuk memilih sekolah mana yang akan dipilih, Fira tidak didukung untuk melanjutkan pendidikannya dan disuruh untuk bekerja karena tidak ada biaya untuk sekolah. Fira sedih dan hanya bisa menangis bahwa dirinya tidak bisa sekolah lagi.

Namun, karena bantuan dari Nenek Fira, dia bisa melanjutkan SMA. Fira sangat senang, dia bisa melanjutkan sekolahnya dan berkomitmen akan semangat belajar. Jarak rumah Fira ke sekolah cukup jauh, sehingga dia harus berangkat pagi setiap harinya. Berangkat menggunakan Angkutan Umum membuat dia terlambat dan pernah dihukum karena terlambat. Walaupun begitu, dari kelas 10 hingga kelas 12 dia selalu mendapat ranking paralel di kelasnya.

Setelah melewati masa SMA 3 tahun, akhirnya Fira lulus dengan mendapat pujian Lulusan Terbaik di sekolahnya. Setelah lulus SMA, seperti biasa, Fira dibuat bingung oleh keadaan. Di satu sisi, Fira ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, namun lagi-lagi tidak ada yang mendukung pilihannya itu. Tidak ada satu pun yang mendukung Fira, bahkan neneknya sekalipun.

Hampir ingin menyerah, Fira tidak pernah didukung dalam hal apapun bahkan pendidikan juga dianggap tidak terlalu penting. Fira hanya bisa iri terhadap teman-teman Fira yang didukung oleh orang tua mereka sehingga bisa melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi tanpa harus memohon-mohon.

Fira sadar dia memang bukan seperti anak-anak pada umumnya. Fira bukan anak orang kaya, dia juga bukan anak satu-satunya. Dia memiliki satu kakak dan satu adik yang pastinya banyak yang harus ditanggung oleh orang tuanya.

Fira tidak bisa melakukan apapun selain berdoa kepada tuhan agar bisa kuliah di Universitas yang dia inginkan. Dengan ridho Allah SWT, Fira didukung neneknya untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Fira Sangat senang atas jawaban doanya. Dia berjanji akan menjadi anak yang sukses di masa depan dan akan membalas kebaikan neneknya dan orang-orang yang sayang dengan Fira.

Biodata Penulis:

Nasywa Hidayatul Azkiya lahir pada tanggal 11 September 2003. Saat ini ia sedang menempuh semester 2 Program Studi Pendidikan Agama Islam di UIN Saifuddin Zuhri Purwokerto.

© Sepenuhnya. All rights reserved.