Pada ujung Desember, ia baru tahu kalau dirinya hanya sebatas tokoh cerita dalam hidupnya sendiri. Ia tak bisa memilih, tetapi masih bisa merencanakan meskipun hal-hal yang bakal terjadi kelak bukan dari kehendaknya sendiri dan yang direncanakannya itu tak selamanya menjadi kenyataan. Walaupun jadi kenyataan pun itu entah kapan.
Bertahun-tahun sejak lulus SMA, ia masih mengucapkan 'selamat datang' dan 'selamat tinggal' bagi para pengunjung toko, tersenyum ramah, meski sebenarnya ada sesuatu yang lebih penting dari tersenyum, yaitu kebahagiaan dan prioritas hidupnya. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali ia tersenyum kepada dirinya sendiri, meskipun setiap hari ia terpaksa tersenyum untuk orang lain tanpa mendapat balasan senyum dari siapa pun.
Sebentar lagi tahun baru. Bulan ini akan banyak kembang api. Toko-toko di seluruh kota pun meriah berhias balon dan lonceng jingga. Pegawai-pegawai banyak yang mengambil cuti untuk merayakan natal atau liburan akhir tahun.
Pada ujung Desember, ia tahu dari bertahun-tahun yang lalu bahwa semuanya akan berganti baru. Semua hal akan dilupakan, baik yang pantas atau tidak, seperti sebuah pertemuannya dengan seorang lelaki yang membalas senyumannya. Mendadak rona mukanya merekah seperti bunga sakura. Dialah manusia yang pertama kalinya membalas senyum itu. Lelaki berbibir halus, berkarisma, hingga ia terkesima. Lalu, jantungnya seperti ingin menyampaikan sesuatu yang hangat, sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh hati. Cinta.
Ah, cinta. Ia datang dan pergi, kemudian Desember akan segera menghapusnya. Akan tetapi, hal itu terlalu sia-sia untuk dilupakan, meskipun dirinya kini seperti seorang pendaki yang kehilangan jejak, entah suatu waktu ia akan kembali atau tidak. Ia tak pernah tahu.
Meskipun begitu, ia masih tetap tersenyum kepada pengunjung toko. Barangkali salah satu di antaranya adalah lelaki itu, lelaki yang pernah merekahkan pipinya sedemikian rupa.
Hari-hari berkelebat cepat, tahu-tahu kalender akan segera digulung. Sementara itu, ia tak tahu, apa yang harus dicatat untuk tahun-tahun yang akan datang seperti tahun lalu ia sempat menulis berbagai resolusi, tetapi gegas ia tahu tak semuanya jadi kenyataan. Dari puluhan daftar yang harus dicapai, hanya beberapa yang tercentang dan itu melulu terulang. Selebihnya, ia tak suka bertaruh.
"Selamat datang tahun baru," ucapnya kepada rekan-rekan yang telah lebih dahulu mengambil cuti, sementara dirinya masih setia berdiri di sisi meja kasir. Tangan yang putih piawai menghitung dan memasukkan barang ke dalam keranjang.
Sesekali ia menilik ke luar jendela. Langit malam terlalu luas untuk dijelajahi, bahkan dengan bantuan teleskop sekalipun, tetapi ia merasa begitu tenang dan damai. Agaknya ketenangan hanya ada pada malam hari, ketika ia menyusuri jalan dan mantel kasmir dirapatkan dalam dekapannya.
Lampu-lampu begitu terang, kerlap-kerlip mengundang ngengat kecil dan siapa saja yang butuh kehangatan. Berpasang-pasang kekasih tengah menanti hitungan jam, lalu gegas ke menit dan detik sebelum pergantian masa paling agung. Tak terbayangkan betapa riuhnya. Terompet bersahutan melengkingkan kerinduan. Kembang api melukis malam hingga ribuan mata yang memandangnya ikut berbinar-binar penuh bahagia, tapi lebih dominan risau sebab catatan yang akan datang akankah sekelam tahun lalu?
Dalam senyumnya, ia juga merisaukan sesuatu. Apa akan ada cerita baru tahun ini? Cerita yang barangkali lebih berarti dari sekadar penjaga toko, cerita yang ingin dirinya menjadi seseorang yang dimiliki. Di sisi lain, cerita tentang dirinya hanya selesai di kepala dan segala catatan itu hanya dirinyalah yang tahu dari titik-titik kosong, kemudian muncul tanda tanya tanpa jawaban pasti.
Pada ujung Desember, akhirnya ia tahu bahwa dirinya hanya tokoh yang tak lebih dari sekadar budak sutradara tanpa adanya kekuatan untuk memilih skenario yang bukan hanya sebaris kehampaan. Adegan-adegan yang datar, senyum yang datar, dan catatan-catatan yang datar.
Ia tahu kalu satu cerita tanpa dirinya hanya akan jadi kisah-kisah yang rumpang, jadi ia masih memilih untuk tetap tersenyum, membahagiakan dirinya sendiri sambil menunggu adegan-adegan istimewa yang akan diperankannya yang entah kapan adanya.
Catatan hanyalah kata-kata yang rentan, seperti mimpi yang sengaja dilukiskan pada nyenyat malam dan akan terhapus bila cahaya fajar telah memijar. Begitulah hari demi hari, dari bulan ke bulan, dan tahun ke tahun rasanya kian sama yang hanya berupa pengulangan-pengulangan yang monoton.
Ia masih berdiri di sebalik kaca bening sebuah toko yang sepi pada malam tahun baru sebab kebanyakan orang memilih untuk tak melewatkan pergantian usia Bumi yang makin tua. Kembang api bermekaran di langit malam yang makin ramai dan bergemerlapan. Namun, seterang apa pun cahaya itu menyala, ia tetap memilih redup sebab tak selamanya kebahagiaan mesti dirayakan. Kecemasan-kecemasan kembali datang menghinggapi dinding kepala.
Perasaan dilema, ragu yang simpang siur setelah mengucapkan 'selamat tahun baru' bagi pengunjung terakhir toko antara segera pulang untuk melepas penat atau berhenti sebentar di pendopo kota di hadapannya itu untuk ikut tenggelam di dalam kegelapan malam tahun terakhir bagi beberapa mimpi yang tak digapainya.
Ah, tampaknya seru. Ia ingin segera ikut dalam keriuhan itu. Akan tetapi, belum sempat dipadamkannya lampu, seorang lelaki mendorong pintu kaca dengan senyum yang dulu dan sekarang masih sangat dikenalinya. Itu dulu, dulu sekali, tapi tetap tatapan itu seperti sengatan listrik yang mengagetkan. Jantungnya berdebar. Satu debar yang mengikrarkan perasaan untuk tak ingin kehilangan dua kali.
"Masih buka?" tuturnya. Lalu, selekuk senyum yang berbeda. Senyum yang seperti ingin menyelami ke dasar paling tak tersentuh.
Dan di antara riuh kembang api, sepasang manusia itu ikut tenggelam merayakan tiap harapan-harapan meskipun terasa asing dan terlalu indah, tetapi tetap saja, ia dan mungkin manusia-manusia lainnya hanyalah tokoh dalam kehidupannya sendiri. Ia tak bisa memilih, tetapi masih bisa merencanakan.
Dan pertemuannya lagi dengan lelaki itu ternyata tidak ada dalam daftar resolusi tahun ini. Lalu seterusnya dan selamanya, kehidupan hanyalah sekumpulan kisah misteri.
Tanggamus, 06 Desember 2022
Biodata Penulis:
Firman Fadilah tinggal di Lampung. Ia aktif menulis di grup literasi Facebook. Karyanya berupa puisi dan cerpen pernah dimuat di berbagai media cetak dan daring.
Firman merupakan salah satu Penulis Terpilih dalam Payakumbuh Poetry Festival (2023) dan Penulis Terpilih Bung Hatta Anti Corruptions Award (2023).
Buku Cerpennya "Red Bus Menuju London Eye" (2023). Penulis bisa disapa di Instagram @firmanfadilah_00.