Hujan malam ini membuat sikapnya semakin dingin, semakin hari rasanya semakin yakin, senang menanti yang tak pasti, dan suka menyakiti diri sendiri dengan menjadi tak tahu diri.
Aku adalah seorang pengagum senja yang terkurung oleh perasaannya sendiri. Menjadi pria yang sekan bahagia padahal menyimpan beribu luka. Aku adalah siswa dari SMA Harapan, sesuai dengan namanya sekolah ini menyimpan beribu harapan yang terkubur di dalamnya.
Hari ini mendung, semendung perasaanku ketika melihat Rina bersama pria lain. Rina adalah teman dekatku sedari SMP, bak perangko seperti itulah aku dan Rina yang hampir tak pernah terlepas sewaktu di sekolah. Tetapi semenjak datangnya Robby yang notabene adalah ketua organisasi yang Rina ikuti, sejak itulah hubunganku dengannya semakin jauh.
Suatu ketika, di tengah riuhnya hujan aku melihat Rina bersama Robby sedang memakan Bakso berdua, 'apakah mereka pacaran?', hati kecilku bertanya.
Seketika banyak pertanyaan yang berlalu lalang dalam kepala, pertanyaan yang mungkin takkan pernah ada jawabannya. Tanpa berpikir lama aku pun langsung pergi meninggalkan mereka. Aku berlari sekuat tenaga menghadang hujan yang sedang deras-derasnya.
Gemuruh petir tak menggoyahkanku untuk berhenti, tangisanku lebur seiring dengan jatuhnya hujan. 'aku tak akan mau berteman dengan siapapun!!' ucapku dalam hati dengan penuh emosi.
Halte bus terlihat dari kejauhan, kuhampiri dengan jalan yang tak beraturan.
"Tin tin", suara klakson bus memecahkan lamunanku kala itu.
Dengan basah kuyup aku pun masuk ke dalam bus. Kupandangi sudut kota sepanjang jalan. Sesampainya di rumah, dengan terburu-buru aku pun bergegas menuju kamar. Lama-kelamaan akhirnya aku pun terlelap dengan keadaan yang masih basah kuyup.
Bunyi alarm membuatku terbangun, "ah, sial ternyata masih pukul 9 malam", gumamku.
Aku yang sudah terlanjur kesal, akhirnya memutuskan untuk keluar mencari angin malam. Detik demi detik telah kulalui, hembusan angin kian menghampiri, tak terasa kali ini aku hanya sendiri, ditemani sepi. Kupandangi setiap pohon yang seakan menari-nari.
Malam yang sepi ini, biarlah menjadi pemilik si patah hati.
"Kring... kring." telfonku berbunyi, dengan malas aku pun melihat handphone.
"Ah... sudah kuduga pasti Rina." gumamku.
Sesampainya di rumah aku pun langsung tertidur.
"Kukuruyuk..." Ayam berkokok menandakan pagi telah datang, kepalaku terasa berat, badanku seperti disiram air beku, pertanda sakit melanda. Aku pun melanjutkan mimpi yang takkan pernah jadi nyata.
Keesokan harinya, di perjalanan menuju sekolah, aku melihat Rina bersama lelaki itu, ya benar itu Robby. Aku pun menaikan kecepatan motorku, berniat untuk menghadang mereka berdua, tetapi sial bensinku habis di pertengahan jalan.
Sesampainya di sekolah, aku memilih untuk tidak duduk dengan Rina, tak lama Rina pun langsung menghampiriku, seraya berkata "Hai, apa kabar" ucapnya, aku tak menghiraukannya, "Kau sakit ya?" ucapnya lagi.
Baru ingin menjawab, "Aku sudah resmi pacaran dengan Robby, tak apa kan?" sautnya dengan nada gemetar.
"Oh baik, semoga bahagia ya" ucapku dengan senyum penuh kepalsuan.
Dengan rasa kecewa aku pun memutuskan untuk menjauh, 'aku harus bagaimana?' pikirku.
Aku pun memutuskan untuk meminta izin pulang, tak mungkin jika aku mengikuti pelajaran dengan kondisi emosi yang sedang tidak stabil. Hari-hariku sudah tak seindah dulu lagi. Kian hari kian sepi, seiring dengan jauhnya dia pergi.
Kita pernah sama-sama berjuang, memulai hubungan dengan kasih sayang, sebelum akhirnya dia membawamu hilang.
Biodata Penulis:
Agung Haziz Indramanto saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN Saizu.