Anak Bungsu

Cerpen ini menceritakan kisah Andi dan Riko yang harus menghadapi kehilangan orang tua setelah kecelakaan tragis.

Oleh Ahmad Imdad Ahzam Jazuli

Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit seperti menahan napas; fajar tak kunjung datang. Angin menyelinap lewat sela-sela pintu, menusuk kaki Andi yang duduk di teras rumah. Secangkir kopi yang tadi hangat kini dingin, tak tersentuh. Di atas kepalanya, bintang-bintang meredup, seolah ikut menahan sesuatu.

Cerpen Anak Bungsu

Andi mendongak ke langit. Pikirannya riuh, meski malam begitu sunyi.

"Kenapa aku selalu begini? Kenapa baru sadar ketika semuanya terlambat?" Gumamnya dalam hati.

Ia mengusap wajah, namun kegelisahan tak ikut terhapus. Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, ia selalu merasa masih punya waktu untuk belajar banyak hal. Nyatanya, hidup tidak pernah menunggu.

Hari itu genap seminggu sejak dunia Andi berubah total.

Malam itu, ia sedang menonton televisi ketika ponselnya bergetar panjang.

“Halo, apakah ini keluarga Pak Samin dan Bu Ilmas?” suara seorang dokter terdengar tegang.

“Ya, saya anaknya. Ada apa ya, Dok?”

“Kami dari Rumah Sakit Prima Sejahtera. Orang tua Anda baru saja dilarikan ke ruang ICU setelah mengalami kecelakaan di jalan raya. Keadaannya kritis.”

Andi terdiam sejenak. Lalu tubuhnya lunglai, napasnya pecah.

“Ke… kecelakaan? Dok… bagaimana bisa?” suaranya tercekat.

“Saat ini kami sedang melakukan penanganan. Mohon segera datang.”

Telepon terputus. Andi meraih jaket dengan tangan gemetar. Ia menelepon kakaknya, Riko, dengan suara serak.

“Kak… ayah sama ibu… kecelakaan. Mereka kritis…”

Hening sesaat. Lalu Riko menjawab cepat, “Tunggu di rumah sakit. Kakak otw.”

Lorong rumah sakit malam itu terasa panjang dan dingin. Lampu neon memantul di lantai, menciptakan bayangan yang bergerak setiap kali seseorang lewat. Andi berlari menyusuri lorong menuju ruang ICU.

Seorang dokter berdiri di depan pintu, wajahnya serius.

“Nak Andi? Kondisi orang tua Anda cukup berat. Mereka mengalami pendarahan hebat dan gegar otak akibat benturan keras.”

Riko tiba tak lama kemudian, napasnya memburu. Ketika pintu digeser, aroma obat dan suara mesin monitor menyergap mereka berdua.

Ayah dan ibu mereka terbaring di dua ranjang berbeda. Hampa. Hanya suara mesin yang menunjukkan bahwa mereka masih berjuang.

Andi menggenggam tangan ibunya yang dingin.

“Kami di sini, Bu…” bisiknya.

Keesokan paginya, perlahan mata ayahnya terbuka. Ibunya menyusul beberapa menit kemudian. Wajah mereka pucat, napas pendek, namun senyum kecil berusaha muncul.

“Nak…” suara ayahnya lemah, hampir tak terdengar. “Kalian harus belajar hidup mandiri. Saling bantu. Jangan saling menjauh lagi.”

Andi menggeleng berkali-kali. “Ayah jangan bicara begitu… Andi masih butuh ayah.”

Riko memeluk ayahnya, bahunya bergetar. “Kalau nanti aku kesulitan… siapa yang bisa aku tanya, Yah?”

Ibu mereka menatap keduanya dengan mata yang basah. “Kami bangga pada kalian. Tapi hidup akan terus berjalan. Kalian harus kuat dan saling menjaga.”

Andi mencengkeram tangan ibunya lebih erat. “Andi belum siap ditinggal. Ibu jangan pergi…”

Ibu tersebut mengusap kepala anak bungsunya perlahan, seakan ingin menyimpan sentuhan itu sebagai kenangan terakhir.

“Kami bersyukur bisa melihat kalian tumbuh besar,” ucapnya lirih. “Setelah ini… jalan kalian akan kalian temukan sendiri.”

Lalu suara monitor tiba-tiba berubah.

“Ti—ti—tiiiiiiiiit!”

Garis lurus memanjang di layar. Satu, lalu satu lagi.

Tangis pecah. Riko jatuh berlutut, Andi menjerit memanggil ayah dan ibunya, namun tubuh yang terbaring itu tak lagi merespons.

Malam itu, dunia mereka runtuh.

Beberapa hari kemudian, Andi kembali duduk di teras yang sama kopi dingin yang sama, langit malam yang sama tetapi hidupnya sudah tidak sama.

Tiba-tiba sebuah tepukan ringan mendarat di bahunya.

“Andi…” suara Riko lembut tetapi tegas. Ia baru pulang kerja, mengenakan seragam putih yang masih berbau obat rumah sakit. “Kalau kamu terus seperti ini, ayah dan ibu justru ikut sedih.”

Andi mengusap matanya yang basah. “Aku menyesal, Kak. Aku belum sempat memberi mereka apa-apa…”

Riko duduk di sampingnya, menatap langit yang sama kelamnya. “Kita tidak bisa mengulang waktu. Yang bisa kita lakukan adalah mendoakan mereka… dan menjalani hidup seperti yang mereka harapkan.”

Andi menunduk, suara tangisnya pecah pelan. “Bagaimana kalau aku gagal, Kak? Bagaimana kalau aku tidak sekuat itu?”

Riko merangkul bahunya. “Tidak ada yang kuat sendirian. Kita jalani berdua. Kita support satu sama lain… seperti pesan mereka.”

Malam yang dingin itu tiba-tiba terasa sedikit lebih hangat.

Andi menatap langit, menarik napas panjang, dan untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia tidak merasa sendirian.

“Mari ambil wudhu,” kata Riko pelan. “Kita doakan mereka.”

Andi mengangguk. Untuk kedua orang tua mereka dan untuk hidup yang harus mereka teruskan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.