Perempuan Bermata Teduh

Cerpen ini mengisahkan Arjuna, seorang siswa yang diam-diam menaruh hati pada Siti, teman sekelasnya yang hidup sederhana dan selalu membantu ...

Siti mengernyitkan dahi ketika kuungkapkan perasaan yang sesungguhnya. Apa salahnya? Siti terpaku sesaat. Lalu, tawanya meledak.

"Kamu sehat?" Tanyanya di sela tawa yang meruah ke segala ruangan. Kelas telah kosong. Semua rekanku telah pulang. Tinggal aku dan Siti. Sengaja aku pulang terlambat agar bisa menyatakan perasaan itu.

Selepas bel pulang berdengung, Siti tak langsung pulang. Kalau tak ada tugas tambahan, ia segera pergi ke pojok sekolah untuk membantu Ibu Kantin merapikan mangkok, mengelap meja, dan apa saja yang sekiranya perlu dibereskan. Siti melakukan itu semata-mata untuk mendapat uang jajan tambahan. Nahas, baru-baru ini kutahu, ternyata Siti sudah tak memiliki seorang Ayah.

Aku jadi merasa sangat bersalah. Kuingat betapa buruk selama ini perlakuan jahilku kepadanya. Siti sering tidur di kelas. Kadang, seragamnya lusuh. Banyak noda dan bekas tumpahan saus sambal. Tubuhnya pun kadang beraroma sabun cuci.

Perempuan Bermata Teduh

Siti jarang memerhatikan pelajaran di kelas. Sebab itu, nilainya selalu bermasalah. Ia sering mendapat teguran dari guru untuk memperbaiki nilai. Namun, toh, Siti tetap tak acuh. Pikirannya selalu menuju ke kantin untuk mencuci piring. Barangkali, pikirnya, sekolah yang penting lulus.

"Aku serius!" Ucapku, menatap Siti dalam-dalam. Siti masih tertawa, tetapi nadanya mulai lirih. Tatapannya juga tampak kikuk.

"Aku memang cantik tapi tak menarik!" Tuturnya. Ia membenahi letak jilbab yang miring. "Kamu salah pilih orang, Juna!" Pekiknya sambil menuntaskan tawa. "Sudahlah! Aku mau pulang! Besok ujian."

Siti melenggang pergi, sementara aku diam berdiri dengan perasaan hampa.

***

"Sejak kapan? Kok, kamu nggak pernah cerita?" Roma tentu sangat terkejut mendengar kata hatiku sampai-sampai es jeruk di cangkirnya hampir tumpah. Aku suka sama Siti!

"Entahlah. Aku juga nggak tahu."

"Ya, memang. Kadang cinta tumbuh karena saling benci."

"Konyol sekali!"

Kami berdua tertawa.

Roma mengingatkan kejadian-kejadian di mana Siti selalu menjadi objek kejahilan kami. Pernah suatu ketika kuikatkan tali sepatu Siti dengan pohon palem, mengerek tasnya di tiang bendera, menyembunyikan buku tulisnya, dan mengganggu tidurnya di dalam kelas. Kami tak pernah bosan, pokoknya sampai Siti marah. Aku ingin melihatnya marah kepadaku. Akan tetapi, ia tak pernah marah. Ia hanya mendecak dan mendesis. Katanya, "Tak ada guna ngurusin bocah edan kayak kalian! Cih!"

Lama-lama, aku nyerah. Siti memang bukan tipe orang yang gampang marah. Ia selalu santai ketika menghadapi sesuatu. Seperti ketika ia ditegur saat tidur di kelas. Siti hanya menjawab, "Maaf, Bu. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Tentu saja keesokan harinya, ia mengulanginya lagi.

Aku menyerah ketika kusadari ternyata Siti sudah yatim sejak lahir. Ibunya tak ingin menikah lagi dan ia kerja siang dan malam untuk menghidupi Siti dan kakak laki-lakinya yang tuna netra. Barangkali cinta ini tumbuh sebab ada rasa kasihan dan iba. Namun, kusadari juga, senyum Siti kalau dilihat-lihat ternyata sangat manis. Sialan! Aku kepincut.

"Itu namanya senjata makan Tuan!" Roma mengejek.

"It's okay, Bro. We're friends. Aku dukung tiap keputusan yang terbaik menurutmu."

Aku dan Roma beranjak meninggalkan kantin sesaat setelah bel masuk berdentam-dentam. Sepertinya, baru saja istirahat. Tidak terasa bel masuk mengganggu mataku yang tengah khusyuk memandangi Siti. Sepertinya, baru kemarin aku menginjakkan kaki di sekolah ini sebagai orang asing yang tak mengenal siapa-siapa. Tau-tau, aku sudah kelas tiga dan ujian kelulusan sudah di depan mata.

Di kelas ini pun, aku mulai mengenal cinta. Bila diibaratkan, cinta itu seperti memandangi senja yang seolah-olah minta dipeluk, tapi tak boleh dimiliki. Cinta itu ibarat menyerahkan nyawa pada seorang perampok, tapi jangan sampai ada luka yang tergores. Cinta pula ibarat mengagumi purnama, meski aku bukan satu-satunya yang menyukai itu. Ah, rumit!

Ujian di Bulan Mei yang basah. Mendung yang letih itu akhirnya tumpah juga. Tempiasnya menerobos celah-celah jendela. Lalu, aroma tanah kering yang berbaur dengan air hujan merajai ruangan. Suasana jadi tenang. Aroma itu seketika mengantarkanku kepada Siti. Ia duduk di bangku paling belakang. Sebelum masuk ruangan, aku tak sengaja melihat secarik kertas yang diselipkan di buku catatannya.

إنَّ مَعَ الْعُسرِ يُسرًا 

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

***

Tulisan itu ditulis seakan mantap bahwa ia akan sukses dalam ujian ini. Aku jadi khawatir. Ke mana akan pergi setelah ini? Aku bahkan belum menuntaskan cinta yang menggantung ini. Persis setelah ujian dan pengumuman kelulusan, kami tak pernah bertegur sapa lagi. Meskipun ada berapa rekan yang tergabung dalam satu grup WhatsApp, tetapi tidak ada Siti di sana. Berkirim pesan pun cuma sekenanya. Sekadar menanyakan kabar dan kesibukan saat ini.

Tak banyak kegiatan yang kulakukan. Selepas lulus, aku mendaftar di salah satu kampus swasta. Aku tak pernah ikut kegiatan di kampus. Sekadar kuliah pulang dan mencari jajan tambahan sebagai pekerja lepas.

Banyak kutemui gadis cantik di sini. Namun, mereka semua membosankan. Tiap kali berkumpul melulu membahas tentang hal-hal yang tak penting. Terlebih ketika membahas tentang grup boyband yang semua penyanyinya berwajah pucat. Aku tak habis pikir mengapa mereka menyukai itu. Whatever!

Tak kutemui perempuan seperti Siti di sini. Perempuan yang memiliki mata teduh dan senyum sederhana. Perempuan yang selalu memprioritaskan hal-hal penting. Andai aku jadi prioritasnya, pasti sekarang ia tengah duduk di sana, bersama orang-orang yang menyaksikan prosesi wisuda. Lalu, kami pun berfoto bersama. Ah, andai saja.

***

"Aku yakin itu Siti!" Pekikku lantang pada Roma.

Selepas lulus kuliah, aku bekerja di salah satu kantor perpajakan. Sore itu menjelang petang, aku menunggu angkot di pinggir jalan raya dan ekor mataku tak sengaja menangkap seorang perempuan bermata teduh itu. Siti!

Aku amat yakin, itu Siti. Aku tak mungkin salah lihat. Ia masih sama seperti dulu. Hanya saja, kini, ia lebih pandai mengenakan riasan di pipinya.

"Lantas, kau mengejarnya?" Ujarnya setengah terkejut.

Sayangnya, Siti hilang begitu saja. Aku memutuskan untuk menunda kepulangan. Kucari-cari Siti hingga aku sampai di depan sebuah klinik yang berseberangan dengan warung nasi Padang. Sudah terlalu larut untuk mencari.

Sambungan telepon dengan Roma terputus. Mungkin Siti masih ada di sini. Kakiku masih enggan pergi. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang yang mampu ditangkap oleh mataku. Siapa tahu, salah satu orang yang lalu-lalang itu adalah Siti.

Tubuhku terasa pegal-pegal setelah bekerja seharian. Perutku belum terisi pula. Aku memutuskan untuk menyeberang menuju warung nasi. Akan tetapi, tiba-tiba dari arah belakang, dua orang pemuda menggaet tasku dengan paksa. Aku terperanjat. Salah satu dari dua pemuda itu dengan sigap menghunuskan belati di bagian perut sebelah kanan. Argh! Darah berdesakan dari dalam bajuku yang berwarna cokelat.  Pandanganku kabur melihat dua pemuda itu menjauh. Rasa sakit ini seolah-olah segera menghendaki untuk mati, tapi aku tak ingin mati secepat itu.

***

Ruangan serba putih dan aroma obat menjelaskan di mana kini aku berada. Ruangan sesak yang amat kubenci. Lamat-lamat kutatap seorang perempuan yang memunggungiku. Aku tak tahu pasti siapa dia, tetapi bibirku sekonyong-konyong menyebut namanya.

"Siti?"

Ia menoleh. Aku terkesiap.

"Duh, Arjuna, jangan gerak dulu!" Rutuknya. Aku merasa amat lega. Perempuan yang menyelamatkan nyawaku adalah Siti. Mimpikah ini? Aku buru-buru menggeser posisi rebah tubuhku. Seketika rasa nyeri menjalar. Benar, ini bukan mimpi.

"Argh! Sakit!" Pekikku.

"Jangan gerak dulu! Lukamu sudah kubebat, tapi tentu masih terasa sakit."

"Terima kasih, Siti."

Siti diam. Lantas kuraih tangannya yang tengah membereskan sisa kain kasa.

"Empat tahun setelah kita lulus. Apa masih ingat kata-kataku?"

Siti tampak linglung.

"Aku cinta kamu, Siti. Tolong jangan pergi lagi."

"Loh, siapa yang pergi!" Siti malah tertawa.

"Kau kira selama ini aku hanya diam saja? Aku yakin, kalau sepasang kekasih sudah dijodohkan oleh Yang Kuasa, suatu saat pasti akan bersatu. Tak peduli waktu dan jarak yang memisahkan."

"Kau, tahu, Siti. Aku selalu menyebut namamu dalam doa."

Malam itu seakan menjodohkan kami berdua. Suara hujan yang retih ke tubuh Bumi juga tahu kalau cinta bisa mengalahkan rasa sakit. Suara ingar bingar kendaraan, sayup-sayup angin membelah malam di luar tak terdengar lagi.

Sejurus kemudian, suara langkah kaki tergopoh-gopoh memecah suasana. Ayah dan Ibu datang menjenguk dengan raut muka cemas. Roma juga datang dengan paras khawatir, kemudian terkejut ketika mendapati aku dan Siti dalam satu ruangan.

Kelak kutahu, ternyata Siti juga menyukaiku sejak lama. Sajak saat itu, hidupku benar-benar berubah setelah Ayah dan Ibu merestui hubungan kami.

Malam sunyi, 8 Juni 2022

Firman Fadilah

Biodata Penulis:

Firman Fadilah tinggal di Lampung. Beberapa karyanya berupa cerpen dan puisi tayang di media cetak dan online.

© Sepenuhnya. All rights reserved.