Ta'dim dan Tirakat sebagai Kunci Seorang Santri

Cerpen ini menceritakan tentang Fatimah, seorang santriwati yang rajin, sopan, dan dihormati di Pondok Pesantren Putri Al-Jamil.

Fatimah merupakan salah satu santriwati Pondok Pesantren Putri Al-Jamil yang terdapat di wilayah Purwokerto Timur. Di samping mondok, ia juga bersekolah di Madrasah Aliyah. Ia sangat rajin dalam segala hal. Sifatnya yang baik hati, sopan, dan jujur menjadi ciri kepribadiannya, sehingga membuatnya mempunyai banyak teman. Fatimah sangat disegani banyak orang. Dia bisa membagi waktunya untuk mengaji dan belajar, karena dia sebagai santri dan pelajar.

Sebagai seorang santri, Fatimah sangat menghormati gurunya. Ia diajari bahwa adab lebih utama daripada ilmu. Dia sangat patuh terhadap gurunya. Apa pun yang diperintahkan oleh gurunya akan dia lakukan, selagi hal itu bertujuan baik dan tidak melenceng dari aturan.

Suatu hari, waktu menunjukkan pukul 15.30, pertanda waktu Asar telah tiba. Semua santri bergegas menuju ke masjid untuk menunaikan jamaah Asar. Setelah melaksanakan salat Asar berjamaah, dilanjutkan dengan pengajian yang diisi oleh Bapak Ustaz Ja'far sekaligus sebagai imam salat Asar tadi.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh,” ucap Ustaz.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh," balas Fatimah dan semua santri dalam pengajian tersebut.

Ta'dim dan Tirakat sebagai Kunci Seorang Santri

Pengajian sudah dimulai. Saat itu mengaji kitab Ta'lim Muta'alim. Semua santri memperhatikan bapak ustaz yang sedang menyampaikan isi tentang materi yang sedang dibahas. Fatimah mendengarkan apa yang disampaikan oleh ustaz tersebut, kemudian dia mencatatnya agar bisa dipelajari kembali.

“Tolong dengarkan baik-baik, orang yang mencari ilmu itu harus didasari dengan priyatin dan tirakat. Tujuannya adalah agar kita mendapatkan cahaya di akhirat kelak. Jika santri mencari ilmu tidak mau priyatin, maka ilmu itu tidak akan bermanfaat. Sebagai santri, harus selalu berbuat baik kepada semua makhluk Allah, serta menjalani hubungan sosial yang baik. Mencari ilmu itu harus konsisten.”

“Selanjutnya adalah tentang bagaimana cara mendapatkan rezeki. Dalam kitab Ta’lim Muta’alim, dijelaskan bahwa ada tiga cara untuk kita mendapatkan rezeki, yaitu shodaqoh, bangun tidur pagi-pagi sekali untuk belajar dan hafalan, dan memperbaiki kalimat atau ucapan.”

Pengajian berlangsung dengan khidmat. Tak terasa waktu sudah sore, dan pengajian akan diakhiri.

"Apakah ada pertanyaan?" tanya Ustaz.

"Tidak, Ustaz," Semua santri menjawab.

"Baik, kalau begitu saya cukupkan pengajian pada hari ini, kiranya ada salah kata saya mohon maaf. Sekian, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh." Riuh balasan salam bergema di dalam masjid, menutup acara pengajian kali ini.

Fatimah menutup buku catatannya seraya mengucapkan hamdalah. Mengikuti santri lain, dia bergegas keluar dari masjid. Sore itu, langit terlihat membiru. Mata Fatimah menyipit sebab silau, sementara bibirnya membentuk senyum tipis penuh syukur.

Menjadi santri adalah suatu nikmat yang sangat ia syukuri. Tidak semua orang dapat merasakan manisnya menjadi santri, entah karena enggan atau berbagai halangan. Kelak ketika Fatimah tak lagi mondok di sini, ia berjanji untuk tetap mengemban segala ilmu yang ia pelajari, lantas mengajarkannya pada setiap muslim yang mau belajar. Fatimah meyakini bahwa ilmu akan semakin bermanfaat bila ia menyebarkannya pada masyarakat.

Sesampainya mereka di halaman asrama putri, Fatimah dan teman-temannya dikejutkan dengan suara anak burung yang mencicit seakan meminta tolong. Mata mereka sontak terarah pada sumber suara. Fatimah tersentak mendapati anak burung yang terkapar di bawah pohon. Mendadak, ia teringat pada dawuh Ustaz saat di masjid tadi.

“Teman-teman, ayo kita tolong. Sebagaimana dawuh Ustaz, kita harus berbuat baik pada semua makhluk Allah. Tidak hanya manusia, tapi pada hewan juga, 'kan?” ajak Fatimah.

Ketiga teman Fatimah yang mengerubungi burung itu kompak menyetujui ucapan perempuan itu. Bersama-sama, mereka meraih anak burung yang tidak berdaya itu dan menaruhnya kembali ke sarang di dahan yang tidak terlalu tinggi. Senyum mereka mengembang setelah memastikan burung itu aman di sana.

Fatimah menghela napas lega. Sekarang ia mengerti, bahwa ilmu akan jauh lebih bermanfaat bila ia dapat mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dunia akan terasa lebih damai jika cahaya ilmu terus menyala bersama adab yang mendampinginya.

Biodata Penulis:

Tri Hidayatul Septiana (biasa dipanggil Septi) lahir pada tanggal 16 September 2002 di Sambirata. Ayahnya bernama Soderi dan Ibunya bernama Siti Mahyati. Ia merupakan anak ketiga atau terakhir, kakaknya bernama Imam Syahrul Ramadhan dan Fikri Mubarok.

Pendidikan yang telah ditempuh, antara lain: TK Pertiwi Sambirata. SD Negeri 1 Sambirata, 2015. SMP Negeri 2 Cilongok, 2018. MAN 1 Banyumas, 2021.

Septi saat ini sedang melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri Prof. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI).

Selain itu, pendidikan pesantren juga ditempuh antara lain Pondok Pesantren Putri Al-Jamil asuhan Bapak Muhammad Ja’far dan Pondok Pesantren Ath-Thohiriyah asuhan Abuya KH. Mohammad Thoha 'Alawy, AH.

© Sepenuhnya. All rights reserved.