Menjadi Baik

Cerpen ini mengisahkan perjalanan Fina, seorang dosen berusia 28 tahun yang menjadi narasumber dan motivator berkat pengalamannya sebagai santri ...

Ratusan orang sudah menempatkan kursi-kursi yang berjajar dengan rapi. Sang moderator memanggil namaku, aku pun berjalan ke depan diiringi tepuk tangan yang sangat meriah oleh penonton. Aku masih tidak menyangka apa yang aku raih untuk saat ini, mendapatkan undangan untuk menjadi narasumber dan motivator adalah hal yang sering aku dapatkan.

Namaku Fina, umurku 28 tahun. Saat ini aku bekerja menjadi dosen di Universitas Islam Negri Walisongo Semarang. Aku benar-benar tidak menyangka apa yang aku raih saat ini. Menjadi Khafidzoh dan sering mengikuti semaan Al-Quran adalah hal yang sering aku lakukan. Dari apa yang aku raih, aku sering mendapat undangan untuk menjadi narasumber di sebuah acara.

Aku sangat berterimakasih kepada kedua orang tuaku karna dahulu telah memaksaku untuk masuk pondok pesantren. Walaupun dulu aku tidak berminat sama sekali untuk belajar di sana.

Dahulu, saat lulus Sekolah Dasar, tanpa sepengetahuanku aku sudah didaftarkan di pondok pesantren Al-Ihsan Jawa Timur oleh orang tuaku.

Menjadi Baik

“Kemarin ayah sudah mendaftarkanmu untuk masuk pondok pesantren. Kamu harus belajar di sana karna ayah ingin anak ayah pintar agama.”

Rasanya ingin sekali meneteskan air mata saat itu, aku tidak pernah membayangkan masuk di pondok pesantren. Aku tidak mau hidup susah dan jauh dari orang tua.

“Intinya Fina ga mau masuk pesantren!” jawabku.

“Ini demi kebaikanmu” jawab ayah.

Apa boleh buat, keputusan ayah sudah benar-benar bulat. Mau bagaimanapun aku menentang aku pasti tetap dikirim ke pesantren.

Waktu pertama kali datang ke pesantren aku diantar oleh ayah dan ibuku. Aku menangis sepanjang perjalanan. Aku benar-benar takut saat itu.

“Jangan sedih, tenang aja pasti di sana kamu punya banyak teman” kata ayah.

“Yang benar ya nak di sana, jadi anak solehah” kata ibu.

Aku menghiraukan perkataan mereka, rasanya kacau sekali. Bayangkan saja, di kota orang dan jauh dari orang tua, apalagi membayangkan peraturan pesantren yang super ketat dan menyebalkan itu.

Karna di pesantren bukan kemauanku sendiri, aku pun menjadi santri yang nakal, sering melanggar peraturan. Aku benci peraturan di sana, aku sama sekali tidak suka dikekang. Karna dari awal aku tidak niat untuk hidup di pesantren.

“Kamu lagi-kamu lagi, ga kasihan kamu sama orang tua yang udah cape-cape biayain kamu” Sering sekali kata-kata itu muncul dari pengurus keamanan pesantren yang menghukumku.

Takziran pun sering aku lakukan karna sebuah pelanggaran yang aku dapatkan. Aku sama sekali tidak kapok dengan sebuah hukuman. Aku selalu menghiraukan kata-kata dari pengurus pesantren yang sering menasehatiku, aku anggap angin lalu perkataan mereka. Ini hidupku, aku tidak suka diatur-atur.

Tiga tahun menjadi santri yang nakal, menjadi buronan pengurus, sering mendapatkan takziran aku pun mulai sadar, mengapa aku begitu mudahnya menyia-nyiakan waktuku di sana, mengapa tidak menjadi seorang yang rajin dan menaati peraturan di pondok, apa gunanya menjadi seorang yang nakal dan pemalas. Aku pun mulai berubah.

Aku pun benar-benar menyesal, 3 tahun aku gunakan untuk hal yang sia-sia dan tidak berguna. Apa susahnya menaati peraturan pondok, Aku pun mulai sadar.

Setelah lulus dari Madrasah Tsanawiyah, aku melanjutkan Madrasah Aliyah-ku di sana. Aku gunakan sisa waktuku di pesantren untuk hal yang berguna, aku tidak mau menyia-nyiakannya lagi. Hatiku bergerak, aku sangat ingin menjadi seorang penghafal Qur'an, aku utarakan niatku ini kepada teman-teman dan pengurus. Respon mereka buruk, semua tidak menyangka.

“Ini serius kamu berniat menjadi santri khufad?”

“Hafalan itu susah loh, aku ga percaya kamu mampu”

“Kamu ini santri yang pemalas, menghafal Quran itu harus rajin”

Begitulah responya, awalnya nyaliku menciut karna perkataan mereka, tetapi aku tetep bertekad aku harus bisa, meskipun dulunya aku bukan seorang santri yang penurut dan rajin.

Hari-hariku lalui dengan menjadi santri yang rajin. Begitu banyak godaan dan rintangan saat menghafal Al-Quran. Terkadang aku ingin menyerah, tapi aku ingat perjuangan ibu dan bapak untuk membiayaiku. Aku tidak ingin menyia-nyiakannya. Aku sangat menyesal dengan perbuatanku, mengapa aku dulu menjadi santri yang nakal dan pemalas.

Biodata Penulis:

Mita Alisah Tazkiyah saat ini aktif sebagai mahasiswi di UIN Prof. KH. Saifuddin Zuhri Purwokerto.

© Sepenuhnya. All rights reserved.