Surat Cinta Seorang Pelaut

Cerpen ini mengisahkan tentang seseorang yang menyaksikan seorang tukang cerita tua membacakan surat dari masa lalu di tengah kerumunan.

Kejadiannya sekitar tiga bulan yang lalu. Saat itu aku berada di antara kerumunan ketika salah seorang dari kerumunan meminta tukang cerita yang sudah tua itu untuk menceritakan sebuah kisah yang memesona. Namun, tukang cerita itu justru mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Kertas surat itu telah begitu cokelat, seolah berasal dari suatu zaman yang telah begitu lama, mungkin beratus-ratus tahun lamanya.

“Sebuah surat?” tanya salah seorang yang lain.

“Inilah kisah yang memesona,” jawab tukang cerita itu seraya tersenyum ke arah orang-orang yang mengerumuninya.

Surat Cinta Seorang Pelaut

Lantas tukang cerita itu mulai membacakan isi surat yang berada di tangannya. Dan beginilah isi surat itu:

Mira...

Malam telah turun di sini, di lautan. Malam di sini membuat ingatanku melayang-layang, mengembara ke berbagai penjuru mencari-cari dirimu. Namun, aku sedang di tengah lautan. Hanya ada ombak, dan segalanya adalah ombak. 

Malam memang hitam dan gelap. Tapi malam tetaplah malam, selalu bisa diraba dan dirasakan. Sunyinya sepinya sendunya kelamnya dan muramnya akan selalu, dan memang tetap selalu menjadi tanggungan nasib masing-masing manusia. Tak terkecuali diriku tentunya. Apakah aku menginginkan hari segera jadi pagi? Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa malam memiliki waktunya sendiri yang akan segera berlalu, dan setiap manusia memerlukan pangkuan malam untuk memejamkan mata setelah lelah seharian menatap riuh ricuh kehidupan.

Tapi malam juga memiliki keindahan yang terkadang membuat mata sulit terpejam. Mungkin mata itu merasa sayang jika melewatkan begitu saja apa yang dinamakan keindahan. Atau, memang ada mata yang sulit terpejam meski malam telah datang? Aku tidak tahu. Tapi aku tahu bahwa memang terkadang malam turun bersama bintang-bintang yang berkeredap dan bulan purnama yang purna. Kepurnaannya memancarkan sinar yang keperakan, memberikan penerangan paling terang yang menenangkan, yang membuat manusia lupa akan perasaannya yang rawan. Dan itulah yang kurasakan sekarang, ketika aku menatap cakrawala malam dari geladak kapal, meski terombang-ambing ombak di tengah lautan.

Dalam-dalam aku menatap cakrawala malam. Itu membuatku bertanya-tanya. Mengapakah keindahan semacam ini turun ketika kebanyakan manusia telah terlelap dalam mimpi-mimpi dan harapan-harapan? Untuk siapakah keindahan semacam ini diciptakan? Tidakkah sia-sia Tuhan menciptakan keindahan semacam ini jika pada akhirnya tiada yang menyaksikan? 

Apa dikau tahu jawabannya Mira? Bisakah dikau beri tahu aku? Hmmm. Kurasa aku bisa menebak jawabanmu. Sama persis ketika itu tentu. Jawabanmu pastilah bahwa tiada satu pun ciptaan Tuhan dalam kesia-siaan. 

Termasuk juga cinta Mira? Adakah sebuah cinta yang berakhir pada kesia-siaan? Bisakah dikau memberi tahu jawabanmu? Tapi lagi-lagi kurasa aku bisa menebak jawabanmu. Sama persis ketika itu tentu. Ketika kita merasa dunia seolah hanya ada untuk kita berdua. Ketika kita berdua dalam kekhusyukan mendengarkan kepak sayap burung-burung yang terbang yang berputar-putar di cakrawala, debur ombak yang menghempas karang, dan desah pohon nyiur yang melambai-lambai. Ketika kita berdua khusyuk berpeluk mesra di dermaga, dalam rengkuhan senja yang perlahan meremang, semakin meremang, lalu perlahan menggelap, dan semakin menggelap.

“Tidak ada cinta yang sia-sia, apa yang disebut cinta selalu memberi makna,” katamu ketika itu. 

“Meski harus dalam penantian berkepanjangan?” 

“Iya, penantian yang bermakna.”

Aku masih menatap dalam-dalam cakrawala malam. Hanya ada kesunyian di tengah lautan yang hitam, tetap hitam, meski bintang-bintang berkeredap dan bulan purnama yang purna memberikan penerangan yang paling terang. Hanya ada angin yang berhembus perlahan membawa dingin.

Tiba-tiba aku memikirkan angin. Apa yang dibawa angin selain dingin? Apa dikau bisa memberi tahu jawabanmu Mira? Tentu dikau akan menjawabnya setelah menerima surat ini. Tapi di sini akan kuuraikan jawabanku sendiri agar dikau bisa turut serta memikirkannya.

Bukankah angin selalu mengembara dari ruang ke ruang dari waktu ke waktu? Itu membuat angin membawa suatu kenangan dari tempat yang entah seberapa jauhnya dan dari waktu yang entah sejak kapan lamanya. Barangkali hal inilah yang membuatku selalu dapat mengingatmu. Meski aku telah jauh dari negeri itu, dari dermaga itu, darimu. Jauh, semakin jauh, dan masih akan lebih jauh lagi. Entah seberapa jauh lagi dan seberapa lama lagi aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa aku telah begitu lama mengembara dari laut ke laut, dari pelabuhan ke pelabuhan, dari dermaga ke dermaga. 

Meski terkadang aku merasa begitu ketakutan berada dalam penantian panjang tak berkesudahan. Terkadang aku merasakan sebuah ketakutan apabila saat aku kembali ke negeri itu untukmu yang entah kapan, aku akan menjumpai kesia-siaan. Terkadang aku merasakan keraguan terhadap apa yang dinamakan cinta. Barangkali ternyata dikau sudah bersuami dan beranak pinak di negeri itu sekarang, Mira? Apa kalimat: penantian yang bermakna, yang pernah dikau ucapkan di dermaga itu masih dapat kupercaya? Kalimat yang entah telah berapa tahun lamanya.

Dalam segala keraguan itu terkadang aku berpikir untuk tidak pernah kembali ke negeri itu, ke dermaga itu. Apa yang dapat diperoleh dengan melihat kembali tempat yang menjadi awal dari sebuah penantian berkepanjangan yang tak kunjung menjumpai kepastian? Apa yang dapat diperoleh darinya, selain bahwa kesadaran akan terbawa pada sebuah masa yang tinggal dalam kenangan dan ingatan? Itulah yang membuatku terkadang ingin sejauh mungkin meninggalkan negeri itu, dermaga itu, dan terus menerus mengembara dari laut ke laut. Menjauhkan kesadaranku dari segala hal tentang dirimu. Tapi angin mengembara dari ruang ke ruang dari waktu ke waktu, membawa segala macam kenangan dan ingatan: kebahagiaan, duka, pertemuan, perpisahan, dan tentu penantian.

Aku masih menatap cakrawala malam. Kemudian kualihkan mataku ke arah lautan yang hitam dan kelam. Ada bulan purnama yang purna yang juga terang dan keperak-perakan. Aku tahu bahwa bulan itu tiada lain adalah bayang-bayang bulan yang sebenarnya, bulan yang di atasku. Tapi mengapa meski hanya sebagai bayang-bayang, bulan itu tampak lebih indah daripada bulan di atasku? Seolah bulan itu membawa dunia sendiri di kedalaman lautan yang tak akan pernah bisa ditafsirkan.

Bayang-bayang? Apakah penantian akan selalu disertai bayang-bayang, dan bayang-bayang itulah yang selalu berkelibat dan akhirnya memberi makna pada penantian? Apakah begitu Mira? Apakah itu yang dikau maksud sebagai penantian yang bermakna? Penantian yang disertai bayang-bayang.

Tapi bayang-bayang selalu menyesakkan. Sebab dengan melihat bayang-bayang, itu membuat mata dapat melihat pula sumber bayang-bayang, meski sumber bayang-bayang itu juga ada sebagai bayang-bayang. Dan aku ingin penantian tanpa bayang-bayang. Bisakah demikian? Adakah penantian semacam itu? Mungkinkah ada sebuah dunia yang tanpa bayang-bayang? Aku tidak tahu. Oleh sebab itu terkadang aku merasa penasaran dan ingin mencari tahu dengan mengembara dari laut ke laut, semakin jauh dari negeri itu, dermaga itu, darimu. Namun di sini, di tengah lautan yang hitam dan kelam pun ternyata masih ada bayang-bayang. 

Memang hanya ada bayang-bayang yang timbul tenggelam bersama buih-buih di lautan. Di sini. Di bawah cakrawala malam, bintang-bintang yang berkeredap, dan bulan purnama yang purna. Di antara deru mesin kapal dan deru ombak lautan yang hitam dan kelam yang saling bersahut-sahutan. Dan aku merasa berada dalam sebuah dunia yang sama sekali tak kuketahui di bagian mana darinya aku berada. 

Aku masih di geladak kapal, di tengah lautan. Sendirian dan kesepian. Terbebani hutang kerinduan yang entah kapan terbayarkan.

Mira...

Begitulah isi dari surat itu. Dengan mata yang sembab dan tangan yang sedikit gemetaran, tukang cerita yang sudah tua itu memasukkan surat itu kembali ke dalam tasnya. Suasana sejenak hening. Tukang cerita itu lantas memberikan copyan surat tersebut kepada orang-orang yang mendengarkannya sedari tadi. Tak terkecuali, aku pun mendapatkannnya.

“Lalu, siapa sebenarnya pelaut itu? Di manakah pelaut itu sekarang? Bagaimana akhir dari penantian pelaut itu? Bagaimana akhir kisahnya? Dan Mira, siapa dia dan bagaimana sosoknya?” rentetan pertanyaan seketika keluar dari mulutku sebab sejak di pertengahan surat rasa penasaran menyesak-nyesak ke dalam benakku.

“Siapa pelaut itu, di mana ia sekarang, bagaimana akhir kisahnya, siapa itu Mira dan bagaimana sosoknya, itu semua tidaklah penting.”

“Lho, kenapa tidak penting?” tanyaku lagi. 

“Memang tidak penting. Yang terpenting adalah bagaimana orang-orang memikirkannya,” jawab tukang cerita yang sudah tua itu seraya tersenyum kepadaku. Namun, masih terlihat jelas olehku matanya yang sembab itu.

Apakah jangan-jangan pelaut itu adalah dirinya sendiri? Dan surat itu adalah saksi bisu perjalanan hidupnya dari waktu ke waktu yang senantiasa dalam penantian, menantikan Mira?

Aku tidak tahu pasti dan masih memikirkannya sampai hari ini.

Juli-Oktober, 2024

FAW Nugroho

Biodata Penulis:

FAW Nugroho lahir dan tinggal di Pati, Jawa Tengah. Tulisannya berupa opini, puisi, dan cerpen dimuat di sejumlah media online dan cetak.

© Sepenuhnya. All rights reserved.