Arga si Pemulung yang Bermimpi Menjadi Guru Tanpa Pernah Bersekolah

Cerpen ini mengisahkan perjalanan hidup Arga, seorang anak pemulung yang menemukan makna hidupnya melalui sebuah buku sobek yang ia temukan di ...

"Nama gue Arga. Umur gue 30 tahun. Dan sejak kecil, sahabat gue bukan manusia—tapi buku."

Gue inget banget pertama kali kenal huruf waktu nemu buku sobek di tumpukan kardus bekas saat usia gue baru 6 tahun. Waktu itu sekitar jam 4 sore, gue tadi mampir di masjid untuk sekadar salat. Setelah salat, gue langsung lanjut mulung. Nah, entah kebetulan atau gimana, gue ngelewati sebuah tempat sampah yang banyak sekali tumpukan kardus-kardus bekas. Gue orak-arik semua kardus di situ sampai gue nemu satu harta karun yang sangat berharga dan berjasa di hidup gue. Yap, itu adalah buku berjudul Cepat Membaca untuk Anak TK. Sampul bukunya sudah kekuningan dan gue bisa nebak kalau buku ini sudah agak lama dibuang dan sempat kena hujan juga karena bukunya sedikit basah tapi nggak sampai netesin air. Baunya apek banget, tapi entah kenapa... gue nggak pengen lepasin. Gue jalan pulang nenteng plastik sampah di tangan kiri dan pegang buku itu di tangan kanan. Gue baca pelan-pelan, sambil nyocokin huruf-huruf di situ sama spanduk atau tulisan di jalan.

Sejak hari itu, gue mulai suka sama yang namanya belajar. Tapi gue nggak pernah punya seragam. Nggak pernah punya buku pelajaran baru. Yang gue punya cuma tangan kotor, baju bolong, dan tumpukan buku bekas yang gue pungutin tiap sore.

Biasanya ketika sampai di rumah setelah mulung, gue langsung menuju ke dapur untuk makan siang karena gue tahu bahwa ibu selalu memasakkan makanan setiap gue pulang dari mulung. Dan yap, ternyata memang benar kalau di meja makan sudah ada telur dadar dan sambal. Makanan yang sangat sederhana, bukan? Tetapi gue nggak pernah marah-marah ke ibu gue soal makanan yang tiap hari itu-itu aja. Gue bersyukur sekali kalau pulang dari mulung ada aja makanan untuk ngisi perut. Tetapi kali ini beda. Gue bukannya langsung ke dapur untuk makan, malah pergi ke rumah pohon depan rumah gue untuk baca buku itu.

Lampu Petromaks di Balik Jendela
Diilustrasikan dengan ChatGPT

Gue naik ke rumah pohon sederhana dari pohon ketapang depan rumah gue dan nyari posisi yang pas buat membaca buku itu. Gue juga sudah nyiapin sebuah koran bekas yang beritanya sudah lama banget, sekitar 3 tahunan. Kali ini tujuan gue bukan mau lihat-lihat gambar di koran, tetapi untuk mencocokkan kata yang ada di buku itu dengan tulisan-tulisan yang ada di koran itu. Gue ingat banget, kalimat pertama yang gue bisa baca adalah "Mobil Bekas". Yap, itu kedengaran sangat sederhana, bukan? Tetapi yang membuat kalimat itu istimewa bagi gue adalah karena itu hasil belajar gue sendiri. Gue terus belajar mencocokkan kata di buku dengan di koran sampai-sampai gue tak sadar bahwa langit sudah berwarna oranye (senja).

Nah, ketika masih asyik belajar membaca itulah ibu gue teriak dari dalam rumah, "Argaaa!" Sumpah gue kaget banget lagi asyik-asyiknya membaca malah diteriakin. Gue sahutin tuh ibu gue, "Apa, Bu?" dan ibu gue nyaut lagi, "Kenapa telurnya nggak dimakan?" Gue jawab yang simpel aja, "Udah makan tadi, Bu, dikasih sama orang." Nah, akhirnya ibu gue diam selama beberapa menit. Eh, tiba-tiba dikagetin lagi sama suara ngaji dari toa masjid yang memang arah toanya pas banget ke arah rumah gue. Dalam hati gue berkata, "Gini amat cobaan buat menjadi lebih baik." Dan akhirnya gue memutuskan untuk stop dulu membaca buku itu dan pergi mandi lalu salat magrib.

Nah, lanjut lagi nih. Pas gue sudah selesai salat magrib, karena buku itu gue letakkan di meja kayu tepat di samping tempat gue salat, jadinya setelah salat magrib gue nggak beranjak dari tempat salat. Bukan untuk berzikir, bukan untuk berdoa, namun untuk belajar membaca.

Nggak kerasa banget belajar membacanya, tiba-tiba kedengaran lagi suara ngaji dari toa masjid yang menunjukkan sebentar lagi azan isya. Yaudah, gue stop membaca buku dan berbaring sebentar di tempat salat itu dan menatap langit-langit rumah gue yang ada bolongnya. Nah, dari situlah tiba-tiba terbesit keinginan untuk menjadi seorang guru. Awalnya gue langsung beristigfar karena merasa tak mungkin gue bisa menjadi guru, sedangkan gue nggak sekolah. Namun keinginan itu tak kunjung hilang. Ketika gue sedang khusyuk salat isya, tiba-tiba keinginan itu muncul lagi, bahkan ada suara yang berkata seperti ini, "Kejarlah keinginanmu itu, Arga. Kamu pasti bisa!" Gue sedikit terkejut karena suara itu seperti benar-benar memaksa gue buat nurutin dia. "Yaudah deh, ikutin aja," kata gue dalam hati sambil salat. Setelah selesai salat isya, gue pun merasa lapar dan mutusin untuk ke dapur barangkali telur tadi sore masih ada. Dan ternyata benar, masih ada. Gue pun langsung makan dengan lahap karena sebenarnya gue bohong ke ibu kalau gue sudah makan dikasih orang. Mungkin karena keasyikan membaca buku itu, makanya gue nekat bohong.

Setelah selesai makan, gue pun merasa ngantuk banget karena nggak ada tidur siang. Jadinya gue mutusin untuk langsung ke kamar buat tidur. Nah, pas gue sudah rebahin badan di kamar, gue tuh natap ke langit-langit rumah lagi dan terbayang-bayang gue di masa depan lagi mengajar anak sekolah sambil berpakaian seragam guru hingga gue pun ketiduran.

Nah, di malam inilah gue mendapatkan mimpi bertemu dengan almarhum ayahku dan beliau berkata, "Arga anak Ayah, Ayah ingin sekali melihat Arga menjadi seorang guru dan bisa memberikan manfaat untuk orang lain. Ayah doain semoga Arga bisa menjadi guru di masa depan." Dan gue pun mengaminkan dari dalam mimpi.

Nah, keesokan harinya gue bangun dan tanpa sadar mata gue berkaca-kaca karena teringat kata dari almarhum Bapak di dalam mimpi tadi malam. Gue pun menangis karena teringat kata-kata beliau. Gue pun berencana merahasiakan mimpi gue tadi malam ke ibu dan tak berniat menceritakannya karena takut nanti membuat ibu merasa bersalah karena tak mampu menyekolahkan gue. Gue pun beranjak dari tempat tidur menuju WC untuk mandi. Gue lewat di depan kamar ibu dan tanpa sengaja melihat ibu sedang duduk termenung sambil memegang foto almarhum Bapak. Gue merasa ikutan sedih, namun langsung pergi menuju WC karena takut dilihat oleh ibu.

Nah, setelah gue keluar dari WC, gue melihat ibu sedang menggorengkan 2 telur untuk gue dan untuk ibu. Setelah gue pakai baju, gue pun langsung menuju dapur dan duduk di meja makan bersama ibu dengan 2 piring yang sudah diisi nasi dan telur. Kami pun makan sama-sama. Nah, setelah makan gue pun langsung pamit ke ibu buat mulung. Ibu pun mengantarkanku sampai ke depan pintu. Gue pun perlahan berjalan menjauh dari pintu. Dan ketika sudah ada sekitar 10 meter antara gue dengan ibu, ibu pun berteriak dari jauh, "Semangat yaa!" Aku pun menoleh ke belakang dan menatap wajah ibu yang tersenyum sangat bahagia, seolah-olah tahu dengan mimpiku tadi malam dan berniat menyemangati. Gue pun senyum ke ibu dan melambaikan tangan lalu pergi.

Nah, akhirnya gue pun sampai di TPS (Tempat Pembuangan Sampah) di daerah gue. Gue langsung masuk dan mulai mencari-cari botol-botol plastik bekas dan kardus-kardus bekas dan juga berharap mendapatkan buku-buku bacaan bekas untuk gue baca-baca di rumah. Setelah cukup lama gue mulung, alhamdulillah hasilnya memuaskan. Botol plastik gue dapat banyak, kardus bekas juga dapat banyak. Namun gue merasa seperti tak mendapatkan apa-apa karena tujuan utama gue adalah mencari buku-buku bekas dan selama gue mulung tadi, nggak ada satu pun buku bekas yang gue temuin. Gue pun merasa sedih dan memutuskan untuk keluar dari TPS dan mencari tempat sampah lain.

Nah, pas gue sudah sampai di gerbang TPS dan hendak pergi, tiba-tiba gue lihat ada bapak-bapak bawa kresek kuning besar yang setelah gue amati dalam-dalam, ternyata itu adalah buku-buku bekas. Gue tahu bahwa buku-buku itu akan dibuang, jadinya gue merasa senang banget dan langsung nyamperin si bapak.

"Permisi Pak, mau nanya. Ini buku-bukunya mau dibuang kah, Pak?" tanya gue.

Si bapak jawab, "Eh iya, Dek. Ini buku bekas anaknya Om yang SD, barusan naik kelas, jadinya buku-buku ini mau dibuang."

Nah, terus tuh gue bilang, "Pak, buku-bukunya boleh buat saya aja nggak, Pak? Buat belajar di rumah?" ucap gue dengan penuh harap.

Si bapak jawab, "Alhamdulillah, ternyata ada yang mau baca buku-buku bekas ini," kata bapak itu.

Gue pun tersenyum riang. "Hehe iya Pak, buat baca-baca aja di rumah," ucapku sambil tersenyum.

Dan alhamdulillah akhirnya si bapak bersedia ngasih buku-buku bekas itu dan kalian pasti tahu lah seberapa besar kebahagiaan gue waktu itu. Harta karun yang gue cari-cari di tempat sampah namun tak ketemu, eh pas mau pindah spot malah lewat bapak-bapak random yang mau buang buku-buku itu.

Tanpa pikir panjang, gue pun langsung pulang ke rumah untuk membaca buku-buku itu, padahal jam masih menunjukkan pukul 11 siang saat kulihat di dinding warung makan yang kulewati. Yap, masih sangat jauh dari jam biasa gue pulang mulung. Tapi karena harta karun yang gue cari-cari sudah ketemu segepok, yaudah lah ya, langsung aja pulang ke rumah.

Akhirnya setelah gue sampai di rumah, gue pun langsung meletakkan hasil mulung beberapa jam tadi di tempat pengumpulan barang bekas rumahku dan langsung menuju ke kamar untuk membongkar buku-buku apa saja yang ada di kresek kuning itu. Ibuku pun masuk ke kamarku dan bertanya,

"Loh Arga, kok cepat sekali sudah pulang?" tanya ibu gue.

"Ini, Bu. Arga tadi dikasih satu kresek besar sama bapak-bapak. Isinya buku-buku anaknya yang barusan naik kelas, makanya buku-bukunya mau dibuang. Terus tuh Arga minta deh," jawabku sambil mengeluarkan buku-buku di dalam kresek kuning itu.

Ibu pun berkata, "Arga, maafin ibu ya, Nak, karena nggak bisa nyekolahin kamu. Sampai-sampai kamu harus memulung buku-buku bekas untuk belajar," ucap ibuku dengan suara pelan.

Gue pun menatap ibuku dengan tatapan kasihan. "Nggak kok, Bu. Ibu nggak salah. Memang sudah takdirnya begini, Bu. Lagi pula Arga masih bisa belajar kok, Bu, walaupun dengan buku-buku bekas yang terkadang halamannya hilang beberapa lembar," jawabku dengan sedikit senyuman meyakinkan.

Ibuku pun memelukku dan meneteskan air mata di pundakku...

Ibu berbisik di telingaku, "Arga, nanti kalau kamu sudah besar, kamu jangan lupa ya dengan bumbu untuk kamu belajar."

Gue merasa bingung apa maksudnya bumbu untuk belajar, lalu gue bertanya kepada ibu, "Bumbu untuk belajar itu apa, Bu?" tanyaku dengan penuh keheranan.

Ibu menjawab, "Bumbu untuk kamu belajar adalah buku-buku bekas yang kamu dapat dari sampah, Nak," kata ibuku.

Dan ibu melanjutkan, "Maksud ibu adalah, ketika nanti Arga sudah besar, jangan pernah membuang-buang buku atau bahkan membiarkan buku dimakan rayap. Karena itulah yang membuat hidup kamu berarti."

Gue terdiam dengan perkataan ibuku dan berusaha untuk selalu mengingat perkataannya.

“Pak Arga..." Suara itu datang dari bangku belakang. Seorang muridku—Fajar—angkat tangan pelan sambil menatapku penasaran.

“Iya, Jar?”

“Buku pertama yang Bapak temuin waktu kecil itu... masih ada nggak, Pak?”

Gue senyum. Pelan. Lalu menatap rak tua di pojok ruang kelas.

“Masih,” jawab gue.

Lalu gue berjalan ke rak itu, mengambil sebuah buku usang yang ujungnya mulai menguning. Di sampul depannya tertulis: Cepat Membaca untuk Anak TK.

Gue angkat buku itu, lalu gue bilang, “Ini ‘bumbu’ yang bikin hidup saya dulu punya rasa. Dan hari ini... saya bagiin bumbu itu ke kalian, satu per satu.”

Penutup

“Ingat ya... Kamu nggak harus lahir dari keluarga kaya untuk jadi orang hebat. Kamu nggak harus punya seragam mahal buat bisa belajar. Yang kamu butuhin cuma satu: kemauan.

Karena kalau kamu punya kemauan, dunia ini akan berubah jadi tempat belajar. Dan kamu bisa jadi apa pun yang kamu mau... bahkan kalau kamu lahir dari tumpukan sampah sekalipun.”

—Pak Arga—

Biodata Penulis:

Dimas Andrean bisa disapa di Instagram @lizeryn8

© Sepenuhnya. All rights reserved.