Lampu Petromaks di Balik Jendela (Part 1)

Cerpen ini mengisahkan Damar, seorang remaja 15 tahun yang hidup di desa tanpa listrik, namun memiliki semangat besar untuk belajar dan bermimpi ...

Namaku Damar. Umurku lima belas tahun. Dan tiap malam, cahaya petromaks adalah satu-satunya hal yang menyalakan harapanku.

Rumahku berada di kaki bukit, jauh dari tiang listrik terakhir yang berdiri di ujung desa. Ketika malam datang, orang-orang menyalakan lilin, sebagian menyalakan lampu dari aki bekas, tapi aku... aku punya satu lampu petromaks peninggalan almarhum kakek, yang selalu kusulut tiap pukul tujuh malam. Bukan untuk menerangi ruang tamu, tapi untuk menemaniku membaca buku-buku pinjaman dari sekolah. Di balik jendela bambu rumahku, aku belajar mengeja dunia—sambil bermimpi suatu hari, semua rumah di desa ini akan terang karena aku.

Lampu Petromaks di Balik Jendela
Diilustrasikan dengan ChatGPT

Setiap pagi, aku harus mengayuh sepeda ontel peninggalan almarhum kakekku sejauh 10 KM untuk sampai ke sekolah. Aku selalu berangkat pukul 06.00 pagi sehingga tak pernah telat sampai ke sekolah. Namun sebenarnya, bukan pukul keberangkatanku ke sekolah yang membuatku tak pernah telat, tapi semangatku... keinginanku... dan mimpiku untuk bisa menerangi desa ini suatu saat nanti.

Aku biasanya sampai di gerbang sekolah pukul 07.05 dan langsung menuju ke kelasku. Dan biasanya, ketika aku masuk ke kelas... boom! Teman-temanku pasti langsung mengejekku. Mereka berkata aku bau minyak, bau arang, dan segala macam bau-bauan. Tapi aku tak pernah sakit hati, bahkan sedih, ketika mendengar ejekan mereka. Justru itulah yang membuatku tambah bersemangat, karena bagiku, ejekan adalah sebuah bahan bakar roket untuk membawaku ke angkasa yang tinggi.

Ketika jam sudah menunjukkan pukul 07.15, maka bel sekolah akan berbunyi. “Ting, ting, ting...” dan teman-temanku yang masih bermain di lapangan pun langsung buru-buru masuk ke kelas. Hanya selisih satu menit dari suara bel, pasti akan masuk seorang guru yang sangat aku kagumi, sayangi, dan aku idolakan. Dialah Bu Wiyah.

Bu Wiyah adalah seorang guru mutasi dari kota. Beliau mengajar mata pelajaran IPA di sekolah kami. Setiap hari, hanya ada dua guru yang masuk ke kelas kami: jam pertama diisi oleh Bu Wiyah, dan jam kedua oleh Pak Akbar yang juga mengajar mata pelajaran IPS. Mereka berdua adalah satu-satunya guru di kampung kecil kami. Setiap ada permasalahan, kami selalu mengadu kepada mereka—mau itu permasalahan keluarga, pribadi, bahkan permasalahan sosial.

Nah, balik lagi ketika Bu Wiyah masuk ke kelas. Beliau masuk dan langsung menuju ke meja beliau. Semua mata menunduk karena takut kepada Bu Wiyah. Bu Wiyah adalah guru yang galak kepada anak-anak yang bandel dan suka tidak mengerjakan PR. Teman-temanku selalu dimarahi setiap pagi oleh Bu Wiyah. Alasannya cuma satu: nggak ngerjain PR, dan beralasan yang masuk akal namun membuat Bu Wiyah kesal, yaitu:

“Kan kalau malam gelap atuh, Bu, nggak ada lampu,” ucap mereka ketika dimarahi Bu Wiyah.

Jujur, aku pun kesal ketika mendengar alasan mereka adalah karena gelap. Padahal, aku setiap malam selalu rela gelap-gelapan belajar dan mengerjakan tugas. Sementara mereka, dengan santainya berkata, “Gelap.”

Namun, tak ada satu pun teman di kelasku yang aku musuhi. Aku memang jarang bermain dengan mereka, tetapi aku tak menyimpan rasa tidak suka kepada mereka. Aku lebih suka menyendiri, membaca buku, dan berkhayal menjadi seorang insinyur listrik. Yap, itulah cita-citaku—insinyur listrik yang kelak mengubah desa yang gelap ini menjadi desa yang terang. Tentunya, dengan cita-cita seperti itu, justru membuat Bu Wiyah bersikap sangat lembut kepadaku. Beliau tak pernah memarahiku karena aku selalu mengerjakan PR yang beliau berikan. Aku pun mendapatkan pelajaran khusus setiap pulang sekolah. Ketika teman-temanku sudah bermain di tanah lapang, aku justru masih di kelas, duduk berdua dengan Bu Wiyah yang mengajariku tentang listrik lebih dalam.

Aku selalu pulang satu jam lebih lambat dari teman-temanku. Mungkin di antara mereka ada yang sudah makan, mandi, main, bahkan ada yang sudah tidur. Aku tak pernah menyesal karena waktu bermainku dipakai untuk belajar. Aku merasa bahwa belajar adalah mainan bagiku. Namun sebaliknya, mainan bukanlah belajar bagiku. Nah, setiap aku melewati tiang listrik terakhir di desa kami yang berada jauh dari pusat desa, aku selalu berhenti sebentar hanya untuk memperhatikan gardu listrik di tiang itu. Walaupun aku sama sekali tidak mengerti apa fungsi kabel merah, kuning, putih, dan hitam, aku tetap merasa seperti terhibur melihatnya. Biasanya, tunggu ada gangguan nyamuk yang menggigit pipiku, baru aku tersadar dari khayalanku ketika memperhatikan gardu listrik itu. Ketika sudah diganggu nyamuk, itu adalah sinyal untuk segera pulang ke rumah.

Nah, sesampainya di rumah, aku tak langsung ke kamar untuk rebahan atau bahkan tidur. Aku pergi ke ladang belakang rumah. Biasanya, ada bapak di sana. Terkadang aku membantu bapak, kadang mengganggu bapak, bahkan kadang tak berbuat apa-apa di sana. Yang penting aku bergerak satu langkah melawan kemalasanku.

Ceritaku pun maju ke beberapa tahun setelahnya, yaitu ketika aku sudah SMA kelas 12. Ketika itu, Bu Wiyah mendatangiku. Beliau duduk di sampingku yang sedang menatap langit cerah.

“Damar,” panggil Bu Wiyah.

“Ada apa, Bu?” jawabku sembari menatap Bu Wiyah.

“Damar, kamu sudah dengar belum kalau bulan depan Ibu bakal dipindah tugaskan ke kota?” ucap Bu Wiyah.

“Iya, Bu. Damar sudah dengar. Karena itulah Damar jadi suka menyendiri atuh, Bu,” jawabku.

“Kenapa gitu atuh, Mar?” tanya Bu Wiyah.

“Ya, siapa lagi nanti Bu yang ngajarin Damar tentang listrik?” jawabku dengan nada lesu.

“Damar, kamu nggak usah sedih. Ibu sudah bicara sama Bapak dan Ibunya Damar kalau Bu Wiyah mau bawa Damar ke kota,” ucap Bu Wiyah.

Aku terkejut mendengar itu karena baru diberi tahu.

“Hah, seriusan, Bu? Ibu mau bawa Damar ke kota?” tanyaku dengan muka keheranan.

“Iya, Mar. Sudah ya, nggak usah sedih-sedih lagi. Nanti kamu tinggal sama Ibu aja di sana. Nanti Ibu bakal kuliahin kamu di jurusan kelistrikan. Mau, kan?” tanya Bu Wiyah.

“Mau banget atuh, Bu! Damar memang pengen banget bisa kuliah, tapi karena Bapak nggak punya uang, makanya Damar ngubur keinginan itu,” ucapku pada Bu Wiyah.

“Yaudah, kalau gitu jangan sedih-sedih lagi, ya. Awas aja kalau Ibu lihat kamu masih sedih-sedihan dan menyendiri terus!” kata Bu Wiyah.

“Siap, Bu!” tutupku.

Cerita pun berpindah satu bulan kemudian, ketika aku berpamitan dengan Ibu dan Bapakku di depan terminal angkutan desa untuk pergi ke kota. Ibu memelukku dan membisikkan sesuatu di telingaku.

“Damar, inget ya, Nak. Jangan pernah lupa dengan bahan bakar yang membuatmu menjadi seperti ini,” ucap Ibu.

“Bahan bakar apa, Bu?” tanyaku dengan penuh keheranan.

“Lampu petromaks, Nak,” tambah Ibu.

Aku pun mengangguk dan tersenyum kepada Ibu.

Itulah akhir perjumpaanku dengan keluargaku, yang akan kutinggal pergi selama beberapa tahun ke depan untuk menuntut ilmu di kota. Besar sekali harapan keluargaku dan warga desa, supaya aku bisa kembali dengan membawa penerangan bagi mereka semua.

Biodata Penulis:

Dimas Andrean bisa disapa di Instagram @lizeryn8

© Sepenuhnya. All rights reserved.