Dulu Gue Cuma Nyamuk — Sekarang Jadi Pacarnya

Cerpen ini mengisahkan perjalanan cinta seorang remaja laki-laki yang dulu dianggap "nyamuk" oleh kakak kelasnya, Dinda—sosok pujaan hatinya sejak ...

1.

Waktu aku masih kelas sepuluh, aku cuma anak baru biasa—rambut gondrong sedikit, seragam kebesaran, dan percaya diri tinggi padahal tak punya apa-apa. Suatu pagi saat upacara, aku melihatnya.

Namanya Dinda.

Kelas sebelas. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah. Wajahnya datar, tapi justru itu yang membuatnya menarik. Dia membawa bendera hari itu, dan aku langsung tahu: Yap, itu dia. Cinta pertamaku.

Dulu Gue Cuma Nyamuk — Sekarang Jadi Pacarnya
Sumber: Unsplash | @mayurgala

Masalahnya, aku bukan siapa-siapa.

Aku hanya anak bawang yang sok akrab. Tapi karena sudah telanjur jatuh hati, aku mulai mencari cara agar bisa dekat dengannya.

Aku ikut ekstrakurikuler majalah sekolah karena dengar dia salah satu anggotanya. Padahal, menulis saja aku tak bisa. Tapi jika dia duduk dua kursi dari tempatku, rasanya seperti menang undian.

Pernah suatu kali aku membawa bekal lebih dan sok-sokan menawarkan makanan.

“Kak, mau ayam goreng? Banyak nih.”

Dia hanya melirik.

“Gue nggak suka yang manis.”

“Ini asin, Kak…”

“Tetep nggak mau. Makasih ya.”

Harga diriku jatuh seperti sinyal Wi-Fi di hutan.

Aku tak menyerah. Di perpustakaan aku duduk di dekatnya, padahal tak berniat membaca. Tapi saat mulai ingin menyapa, dia pasang headset dan pindah tiga kursi. Jaraknya seperti tiga planet.

Ketika dia ikut lomba debat, aku mendaftar sebagai panitia. Bukan karena suka debat, tapi karena dia. Aku bantu pasang papan skor yang sebenarnya tak penting—asal bisa melihat dia, aku senang.

Akhirnya, aku menulis surat kecil, diselipkan di buku catatan yang ia tinggalkan.

“Hai Kak Dinda,
Gue suka sama Kakak. Gak berharap dibalas. Cuma pengen Kakak tahu gue ada.”

Besoknya, buku itu kembali ke tanganku. Di bawah tulisanku, dia menambahkan:

“Gue tau. Tapi maaf, lo kayak nyamuk.
Gak gue benci sih,
tapi lo ganggu.”

Nyamuk.

Tapi herannya, setelah semua itu, aku tak menyesal. Ada sesuatu yang lucu dari suka diam-diam. Perasaan yang tak harus dibalas, tapi cukup membuat deg-degan setiap kali bertemu.

Kadang, seseorang hanya ingin diketahui keberadaannya.

Walau hanya sebagai nyamuk.

2.

Kuliah seharusnya jadi lembaran baru.

Lingkungan baru, orang baru, bahkan potongan rambut baru. Aku bilang ke diri sendiri: Tinggalkan masa labil. Kamu sekarang dewasa.

Aku diterima di kampus yang cukup oke. Fokus belajar, itu niat awal. Tapi ternyata semesta suka main plot twist.

Minggu kedua kuliah, aku melihatnya lagi.

Dinda.

Masih datar. Masih cantik. Auranya tetap seperti tokoh utama film indie. Sekarang dia bawa kopi Americano dan jaket fakultas.

Dan… nyamuk dalam diriku bangkit lagi.

Ternyata dia masih di fakultas yang sama. Beda jurusan, tapi satu gedung. Aku mulai makan di kantin yang sama, nongkrong di taman kampus yang sama. Bukan karena mengikuti, tapi… mungkin iya.

Suatu sore, dia duduk sendiri di lorong. Saat aku sedang colok laptop, dia menoleh.

“Eh, lo kuliah di sini juga?”

Aku bengong. Dia ingat aku?

“Iya. Satu fakultas.”

Dia mengangguk, lalu diam sejenak.

“Lo yang dulu suka ngikutin gue, kan? Yang… nyamuk itu?”

Aku tertawa.

“Iya. Tapi sekarang udah divaksin.”

Dia tersenyum.

“Lo udah berubah. Dulu nyebelin. Sekarang… kalem.”

“Karena gue udah gak terbang-terbang di sekitar lo lagi.”

Dia tertawa kecil.

“Tapi anehnya… gue kangen sih.”

Aku tak tahu cerita ini akan ke mana. Tapi kali ini, dia melihatku.

Dan itu cukup untuk membuatku percaya: Mantan nyamuk pun bisa punya tempat di dunia ini.

3.

Beberapa minggu kemudian, Dinda semakin sering menyapaku lebih dulu. Kadang menanyakan tugas, kadang sekadar mengobrol ringan.

Sampai akhirnya, dia mengajakku makan siang.

“Temenin gue makan mie ayam, yuk.”

Kami duduk di kantin. Obrolannya seru. Aku nyaris lupa bahwa dulu pernah jadi nyamuk sialan.

Lalu dia berkata:

“Gue ke toilet bentar, titip HP ya.”

Dia meninggalkan ponselnya di meja. Layarnya mati. Casing-nya bening, dengan stiker kecil bertuliskan: Jangan buka HP-ku kecuali lo lucu.

Aku tertawa pelan. Tiba-tiba, layar ponselnya menyala karena notifikasi.

Wallpapernya... fotoku.

Aku sedang duduk di taman. Foto candid. Aku bahkan tak sadar pernah difoto.

Jantungku rusuh. Otakku kosong.

Dia... jadikan aku wallpaper?

Dia kembali dari toilet, melihat wajahku pucat.

“Kenapa lo?”

“Enggak. Tadi ada semut lewat.”

Dia tersenyum. Mengambil HP-nya. Tak mengatakan apa-apa. Tapi senyumnya… berbeda.

Dia tahu aku melihatnya. Tapi dia tak menyembunyikannya.

Dan di sana, sambil memegang sendok plastik, aku berpikir:

Aku… lagi jatuh cinta. Lagi.

4.

Seminggu kemudian, ponselku bergetar.

Dinda.

“Kosong gak malam ini?
Ketemu di kafe pinggir laut, jam 7. Gue pengen ngobrol.”

Tanpa pikir panjang, aku menjawab:

“Siap. Dateng.”

Kafenya kecil. Lampunya temaram. Ombak jadi latar suara alami. Aku datang sepuluh menit lebih awal. Deg-degan, tapi pura-pura kalem.

Dinda datang. Duduk. Senyum. Kami mengobrol seperti biasa, hingga akhirnya dia diam.

Tatapannya serius.

“Gue mau ngomong. Tapi jangan diketawain.”

Aku mengangguk.

“Gue gak tahu sejak kapan, tapi gue suka lo.
Gue kangen kalau lo gak keliatan.
Jadi… mau gak jadi pacar gue?”

Aku diam sejenak.

Tapi di dalam hati, aku sudah melompat dari lantai satu ke langit ketujuh.

“Mau,” jawabku. “Banget.”

Dia tertawa kecil.

Dan malam itu, suara laut terdengar seperti musik romantis dari semesta.

Penutup

Kadang, cinta tak butuh pelukan di bawah hujan atau drama besar. Cukup dua orang yang dulu saling diam, lalu perlahan saling paham. Bahkan seseorang yang pernah dianggap ganggu… bisa jadi tempat pulang paling nyaman, kalau waktunya tepat.

Biodata Penulis:

Dimas Andrean bisa disapa di Instagram @lizeryn8

© Sepenuhnya. All rights reserved.