Angin dingin bulan September merayapi punggung Bima, menusuk lewat celah-celah jaket tebalnya. Ia berdiri di ketinggian, di ambang Bukit Bintang. Tempat ini dulunya adalah mercusuar pengetahuan baginya—sebuah observatorium kecil yang kini hanya tinggal puing kenangan. Kubah utamanya, yang dulu berputar anggun mengikuti pergerakan langit, kini berkarat dan dihiasi lumut tebal, seperti mata raksasa yang tertidur, buta terhadap keajaiban yang pernah dilihatnya. Observatorium ini ditutup dua puluh tahun silam, tak lama setelah Bima meninggalkan bukit ini untuk mengejar beasiswa di kota.
Ia kembali bukan sebagai astronom profesional, meskipun ia kini bekerja di bidang itu. Ia kembali untuk Bima yang berusia sepuluh tahun, Bima yang menjalin janji dengan mentornya, Kakek Surya.
Kakek Surya, pria berjanggut putih yang aroma tubuhnya selalu campuran antara kopi hitam, tembakau pipa, dan debu angkasa. Ia adalah penjaga observatorium yang lebih mirip seorang penyair daripada astronom; ia melihat keindahan di mana orang lain melihat data. Ia tidak hanya mengajar Bima membedakan gugus bintang, tetapi juga mengajarkan bahwa setiap benda langit memiliki kembaran di Bumi sebuah bunga, sebuah batu, sebuah melodi. Sebuah keselarasan universal.
Bima menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma tanah basah dan pinus yang melarikan diri dari ingatan. Ia merindukan percakapan larut malam di bawah cahaya lentera minyak, di mana Kakek Surya bercerita tentang mitos kuno dan penemuan modern dengan nada yang sama penuh takjub.
Kepergian Bima kala itu mendadak, setelah pengumuman penutupan observatorium yang diikuti oleh kabar pensiun dini Kakek Surya. Komunikasi mereka hanya melalui surat-surat singkat yang semakin jarang hingga terhenti total lima tahun lalu. Surat terakhir Kakek Surya hanya berisi satu kalimat misterius: "Cari aku di bawah Sabuk Orion, saat pemburu itu kembali."
Tangan Bima merogoh saku, merasakan dinginnya selembar foto usang yang telah ia bawa dalam dompet selama dua puluh tahun. Foto itu menunjukkan Kakek Surya sedang tersenyum lebar, dengan kerutan mata yang dalam, di samping sebuah pot kecil berisi tanaman unik. Tanaman itu memiliki bunga berwarna biru tua, hampir kehitaman, dengan kelopak yang tipis dan transparan yang memancarkan cahaya lembut seolah menahan sepotong kecil langit malam.
"Bunga Lentera Malam," bisik Bima, mengulang nama yang diberikan Kakek Surya. Ia ingat hari ketika Kakek Surya mendapatkan benih itu dari seorang pelancong misterius.
Flashback: Lima belas tahun lalu.
"Ini adalah keajaiban, Bima. Benih ini kudapat dari seorang biksu di timur," kata Kakek Surya, matanya berbinar seperti bintang Vega. Ia menyebutnya Noctiluca Cahaya Malam. Bunga ini, konon, hanya mekar sempurna saat energi kosmik dari konstelasi tertentu menyentuhnya.
Mereka berdua menanam benih rapuh itu di dalam pot terakota, menempatkannya di sudut paling aman di beranda observatorium. Kakek Surya merawatnya seperti benda paling berharga di alam semesta.
"Kapan ia akan mekar, Kek?" tanya Bima kecil, tak sabar.
Kakek Surya tersenyum, menyentuh rambut Bima. "Saat ia sudah siap. Dan saat Orion, si Pemburu, berada di posisi paling tinggi di langit malam. Itu adalah saat Bumi paling terbuka untuk menerima pesan dari alam semesta. Janji, Nak. Kita harus melihat mekarnya bersama-sama."
***
Janji itu kini memanggil Bima kembali. Malam ini adalah titik balik musim gugur; Orion, konstelasi favorit Kakek Surya, akan mencapai puncaknya.
Bima memulai pencariannya dari area belakang bangunan utama. Inilah zona yang Kakek Surya sebut "kebun rahasia". Setiap langkahnya adalah pertempuran melawan tanaman merambat dan ranting kering. Jendela-jendela yang pecah menatapnya seperti mata kosong, dan hawa lembap serta bau karat dari teleskop-teleskop yang terbengkalai menyelimuti udara.
Ia mencari petunjuk fisik yang Kakek Surya tinggalkan: tiga batu kapur yang tersusun menyerupai segitiga kecil, di dekat sebuah pohon cemara yang bercabang aneh. Dua jam berlalu, dan pencariannya hanya menghasilkan goresan di tangan dan kekecewaan yang kian membesar. Semak belukar telah tumbuh setinggi pinggang, menyembunyikan setiap tanda yang pernah ada.
"Mustahil," gumam Bima, menyeka keringat dingin di dahinya. "Dua puluh tahun adalah waktu yang lama. Kenapa aku berpikir semuanya akan tetap sama?"
Ia duduk di atas sebongkah batu besar, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berkejaran. Pandangannya lurus ke arah barat, di mana matahari sebentar lagi akan tenggelam, mewarnai langit dengan gradasi jingga, merah muda, dan ungu yang memukau. Senja di Bukit Bintang selalu memiliki aura magis, tetapi kali ini, sihir itu terasa menyindirnya, mengingatkannya pada harapan yang mungkin sia-sia.
Saat Bima memejamkan mata, membiarkan dinginnya batu menembus celana jinnya, ia teringat lagi kata-kata Kakek Surya:
"Bima, tahukah kamu," kata Kakek Surya suatu malam, sambil menyeka lensa teleskop. "Mengapa manusia terobsesi pada bintang? Karena bintang adalah masa lalu. Cahaya yang kita lihat adalah cahaya ribuan tahun yang lalu. Mencari bintang sama seperti mencari memori. Dan memori, Nak, adalah satu-satunya harta yang tidak akan pernah bisa direbut oleh waktu."
Kata-kata itu tiba-tiba memberikan Bima pencerahan yang membakar. Ia mencari petunjuk yang bersifat fisik, sebuah kode rahasia, padahal Kakek Surya selalu berbicara dalam metafora dan keabadian. Bunga Lentera Malam tidak mungkin ditanam di tempat yang rentan dimakan waktu. Bunga itu ditanam di tempat yang Kakek Surya anggap paling berharga, paling abadi, tempat di mana Bima dan Kakek Surya sering berbagi rahasia alam semesta dan janji-janji masa depan.
Tempat itu adalah bangku kayu kecil di tepi jurang, yang mereka namai 'Garis Horizon'. Tempat mereka menyaksikan fajar, mencatat pergerakan komet, dan merencanakan penjelajahan galaksi yang tak pernah mereka lakukan. Itu adalah tempat yang menghadap langsung ke lembah dan, saat malam, memiliki pandangan langit paling tidak terhalang. Tempat di mana masa lalu, masa kini, dan masa depan bertemu.
Bima bergegas menuju tepi jurang. Perasaan bersemangatnya mengalahkan rasa lelah. Bangku kayu itu masih ada, meskipun kayunya sudah lapuk dan tertutup jamur dan tanaman rambat. Di bawah bangku itu, tidak ada apa-apa selain akar dan tanah. Namun, Bima ingat kebiasaan Kakek Surya. Kakek Surya selalu menyimpan benih, buku catatan kecil, atau hadiah ulang tahun yang belum diberikan di dalam celah batu besar yang dijadikan sandaran bangku.
Dengan tangan bergetar, Bima membersihkan lumut dari batu sandaran. Di sana, tersembunyi sebuah celah vertikal yang dalam. Ia merogoh ke dalam lumpur dan serpihan dedaunan, dan jari-jarinya menyentuh sesuatu yang keras dan melengkung sebuah pot kecil dari terakota, sebagian besar permukaannya sudah hancur, tetapi akarnya masih bertahan. Di dalamnya, ada sebatang tanaman kecil, pucat, batangnya kurus, dan terlihat layu, hampir mati.
Itu dia. Bunga Lentera Malam. Benar-benar Lentera Malam.
Bima membawa pot itu kembali ke tempat terbuka di dekat puncak, tempat ia bisa melihat langit tanpa terhalang. Ia membersihkan tangannya dan duduk menunggu. Langit barat telah menghitam sepenuhnya, digantikan oleh kanvas hitam pekat yang kini mulai dihiasi berlian-berlian kecil yang tak terhitung jumlahnya. Udara semakin dingin, dan Bima bisa merasakan embun mulai menempel di rambutnya.
Dia duduk, memeluk pot di dadanya, memberi kehangatan terakhir sebelum malam benar-benar gelap. Waktu terasa melambat. Pukul sembilan, sepuluh. Akhirnya, Kakek Surya benar. Tepat pada pukul sepuluh lebih lima belas menit, di ufuk timur, konstelasi Orion mulai menampakkan dirinya pemburu raksasa dengan sabuknya yang ikonik (tiga bintang yang sejajar: Alnitak, Alnilam, Mintaka) dan bahunya yang berapi-api (Betelgeuse).
Saat Orion naik lebih tinggi, cahayanya yang dingin dan murni, yang telah menempuh perjalanan ribuan tahun, seolah menyentuh pucuk tanaman Lentera Malam.
Perlahan-lahan, keajaiban yang tak terlukiskan mulai terjadi. Kelopak bunga itu, yang tadinya terlipat rapat dan berwarna kusam, mulai terbuka.
Prosesnya hening, lambat, namun tak terhindarkan. Warnanya berubah drastis dari hijau pucat menjadi biru elektrik, lalu semakin pekat dan dalam, hampir hitam legam, mirip dengan ruang hampa di balik nebula yang tak bercahaya.
Dan kemudian, inti dari keajaiban itu menyala.
Kelopak bunga itu mulai bercahaya. Bukan memantulkan cahaya bulan atau bintang, tetapi memancarkan cahaya biru pudar yang sangat lembut, stabil, dan murni. Cahaya itu berdenyut samar, seolah bunga itu bernapas, menahan sepotong kecil inti bintang. Itu bukan cahaya terang, hanya cukup untuk menerangi sehelai daun di dekatnya dan jari-jari Bima yang memegang pot. Bunga itu benar-benar terlihat seperti lentera kecil di tengah malam, sebuah mercusuar biologis yang hanya menyala atas undangan kosmik.
Air mata Bima menetes, jatuh di tanah dan di pot terakota yang dingin. Itu adalah keindahan yang melampaui sains dan logika. Itu adalah perwujudan janji, perwujudan puisi, dan sihir yang hanya bisa diciptakan oleh seorang penyair yang mencintai bintang.
Bima menatap bunga itu, lalu ke Orion di langit, dan akhirnya ia mengerti mengapa Kakek Surya menanamnya. Bunga ini bukanlah harta yang harus dipamerkan atau diteliti. Bunga ini adalah pesan terakhir.
Pesan yang mengatakan bahwa memori yang paling rapuh sekalipun, jika ditanam dengan cinta dan diberikan waktu serta tempat yang tepat, akan mekar kembali dengan cahaya yang tak terduga, menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Ia duduk di sana selama berjam-jam, menyerap keindahan itu, menerima pelajaran terakhir dari mentornya. Bima menyadari bahwa Kakek Surya tidak menyuruhnya mencari Lentera Malam, melainkan menyuruhnya mencari tempat terakhir yang masih menyimpan janji mereka.
Saat fajar mulai menyingsing dan Bima tahu keajaiban akan meredup, ia mengambil ponselnya, menyalakan mode kamera. Ia bukan lagi seorang bocah, tetapi ia merasa wajib mengabadikan Lentera Malam yang bercahaya di bawah bayangan Orion yang memudar.
Ia tahu, ia tidak boleh membawa bunga itu turun. Bukit Bintang adalah rumahnya yang sesungguhnya. Bima meletakkan pot itu kembali ke celah batu di bawah bangku kayu, memberinya sedikit air dari bekal minumnya, dan membiarkannya tetap menjadi rahasia Bukit Bintang, sebuah lentera pribadi yang menyala setiap musim gugur.
Saat kakinya menapaki jalan setapak yang menurun, Bima merasa ringan, seolah beban dua puluh tahun telah terangkat. Ia tidak membawa apa-apa, kecuali memori yang kini terasa begitu hidup, pemahaman baru, dan senandung senja yang kini berganti menjadi melodi pagi. Ia telah memenuhi janjinya. Dan seperti cahaya bintang yang abadi, memori tentang Kakek Surya akan terus bercahaya, tidak peduli seberapa tebal lumut yang menutupi kubah observatorium itu. Bima tersenyum, siap menghadapi sisa hari-harinya di kota, membawa serta Lentera Malam yang selalu bercahaya di dalam hatinya, menghubungkannya dengan Bukit Bintang.
Biodata Penulis:
Tara Agustina, lahir pada tanggal 14 Agustus 2005 di Solok, saat ini aktif sebagai mahasiswa, prodi Sastra Indonesia, di Universitas Andalas.