Oleh Delivia Nazwa Syafiariza
Ketenangan kota ini sudah lenyap sejak kedatangan mereka kembali. Hari-hari yang dulu diwarnai oleh tawa anak-anak bermain, para bapak yang menggerutu karena ayamnya buang kotoran sembarangan, serta suara ibu-ibu yang berebut bahan masakan atau riuh pasar kini berganti dengan langkah-langkah berat para penjaga yang berkeliling setiap saat. Provokasi dan teriakan mengguncang ketertiban, sementara suara senjata menjadi makanan sehari-hari. Tak ada lagi hari yang benar-benar tenang, bahkan matahari pun tampak enggan menatap kota yang mulai kehilangan warnanya.
“Namun mau sampai kapan akan berdiam diri menerima perlakuan itu semua? Dijajah di tanah kelahiran sendiri, dan mati di tangan para pendatang itu?”
Sudah cukup, mau berapa tumpah darah lagi yang harus dipertaruhkan? Para warga sudah muak! Kini mereka melawan demi tanah air mereka, dan demi masa depan generasi mereka. Penyerangan berkali-kali dilakukan namun tidak membuat para pendatang itu jera, ultimatum keluar tapi dianggap angin lalu saja.
Di suatu malam yang dingin, saat orang-orang terlelap, Kumala masih berada di luar rumah, mencari tanaman herbal untuk mengobati para pejuang esok hari. Keranjang rotan di tangannya sudah penuh. Ia memutuskan pulang, merasa usahanya malam itu cukup untuk menolong yang terluka.
“Kami sangat menanti kebebasan itu,” gumam Kumala saat teringat penyerangan yang akan dilakukan. Malam itu, para pejuang sepakat menyerang pasukan musuh sekali lagi. Mereka tahu jumlah dan kekuatan tak seimbang, namun demi kebebasan, semangat dalam dada mereka tak padam.
Dalam perjalanan pulang, Kumala mendengar rintihan lemah dari arah gelap. Kumala awalnya tidak ingin mencari tahu, namun sayangnya sisi kemanusiaannya meronta-ronta. Akhirnya dia cari asal suara itu, tepat di bawah sebuah pohon besar, terlihat seorang pemuda tengah terduduk sambil meringis pelan memegang tangan kirinya yang berdarah. Dengan keberanian seadanya dan cahaya yang minim, Kumala mendekati pemuda tersebut. Pemuda itu langsung waspada begitu menyadari kehadiran Kumala.
“Mari saya obati, luka kau tampak parah,” ucap Kumala sambil mengambil tempat di samping pemuda itu.
Mendengar itu pemuda itu hanya diam hingga dia tersentak kaget akan perlakuan Kumala yang langsung memegang tangan kiri sang pemuda lalu mengamatinya. Beruntungnya pemuda tersebut tidak menolaknya dan hanya diam karena saat ini dia memang sangat membutuhkan pertolongan tersebut. Kumala mengambil beberapa tanaman yang dia ambil tadi dengan lihai dia obati pemuda tersebut. Di langkah terakhir, Kumala merobek sedikit bajunya sendiri, lalu mengikat erat tangan pemuda itu.
“Sudah selesai, luka kau cukup besar jadi jangan terlalu banyak bergerak atau menggunakan tangan kirimu terlalu sering itu bisa membuka kembali lukanya, istirahatkan untuk beberapa waktu dahulu,” jelas Kumala lembut.
“Terima kasih banyak sudah menyelamatkan saya,” suara berat dan merdu itu terdengar lembut di telinga Kumala, seolah dirinya tersihir untuk beberapa saat. Kumala membalas dengan senyuman, ia kira pemuda ini tidak bisa berbicara mengingat dari tadi hanya diam saat diobati.
“Saya Van,” ujarnya lagi memperkenalkan diri.
“Kumala,”
“Nama yang sangat indah seperti orangnya,” puji Van tanpa sadar, matanya sejak tadi tak lepas dari Kumala, seolah dia adalah malaikat penolongnya.
Mendengar itu, Kumala tersipu malu. Tatapan mereka bertemu, dan untuk sesaat waktu seakan berhenti berputar. Dalam pantulan mata Van, ia melihat sesuatu yang tak pernah ia temukan pada orang-orangnya sendiri, kerapuhan. Saat itulah Kumala menyadari kenyataan pahit, bahwa Van adalah salah satu dari mereka, para penjajah yang terluka akibat perlawanan rakyatnya sendiri.
Malam itu, di bawah sinar rembulan yang kembali memamerkan cahaya indahnya, udara malam terasa lebih hangat dari biasanya. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan di antara mereka, perasaan yang muncul perlahan, seperti embun yang menempel di ujung dedaunan nyaris tak terlihat tapi ada dan nyata.
Pertemuan singkat itu ternyata meninggalkan jejak yang sulit dihapus. Sejak malam itu, di saat semua orang terlelap dalam mimpi masing-masing, mereka diam-diam kembali bertemu. Walau hanya sekadar bertanya “bagaimana hari ini?” atau kadang hanya untuk berbagi pandang tanpa kata. Tak ada janji, tak ada keberanian untuk menyebut perasaan itu, hanya dua jiwa yang tersesat di tengah perang, berpegangan pada sedikit ketenangan yang mereka temukan satu sama lain. Hubungan itu mereka jaga rapat-rapat, seolah takut jika dunia luar menyentuhnya maka segalanya akan hancur. Bahkan kepada orang yang paling mereka percayai pun, rahasia itu tetap terkunci di balik senyum dan tatapan yang berpura-pura biasa.
Tapi rahasia seindah apa pun, tak selamanya bisa bersembunyi. Suatu hari, Lars teman seperjuangan Van, tanpa sengaja mengetahui hubungan mereka. Raut wajahnya yang biasanya tenang berubah tegang, ada kecewa, ada marah, semua bercampur sulit dijelaskan. Baginya, apa yang dilakukan Van adalah bentuk pengkhianatan, terlebih di saat mereka seharusnya fokus memperjuangkan hal yang sama.
Namun, Lars bukan tipe yang menjerit atau menuntut. Ia hanya menatap Van lama, sebelum akhirnya berkata pelan, memberi sedikit nasihat yang lebih terdengar seperti peringatan. Setelah itu, ia memilih diam. Diam, dan membiarkan temannya berjalan di jalan yang ia pilih sendiri. Van dan Kumala sebenarnya tahu bahwa apa yang mereka lakukan tidak benar. Setiap kali bertemu, rasa bersalah itu selalu muncul. Namun ego mereka untuk tetap bersama, untuk sekadar mencuri sedikit kebahagiaan di tengah kekacauan, mengalahkan segalanya.
Tapi rahasia tidak pernah bisa disembunyikan selamanya. Bisik-bisik mulai terdengar, dan tak butuh waktu lama semua orang mengetahui hubungan mereka, hubungan seorang pasukan penjajah dan gadis pribumi. Kabar itu akhirnya sampai ke telinga keluarga Kumala. Mendengarnya, Sugeng, ayah Kumala mendidih amarahnya. Ia tak percaya putri kesayangannya yang selama ini dijaganya bisa jatuh hati pada sosok yang harusnya mereka usir dari tanah air mereka.
Suara pintu dibanting keras memecah kesunyian malam. Kumala yang baru saja menaruh keranjangnya di sudut ruangan terlonjak kaget. Ayahnya, Sugeng, berdiri di depan pintu dengan tetapan yang sulit dibaca, antara marah, kecewa dan hancur.
“Benar, Kumala?” suaranya serak, tapi cukup keras untuk membuat tubuh Kumala gemetar. “Benar kau menjalin hubungan dengan orang itu?!”
Kumala terdiam. Bibirnya ingin bergerak, tapi kata-kata tertahan di tenggorokan.
“Apa yang kau pikirkan?!” suara Sugeng meninggi. “Kau benar-benar membuat malu keluarga ini, Kumala!”
“Apa kau tidak berpikir sebelum melakukan itu?!”
“Aku tidak melakukan apa-apa, Abah… kami hanya berteman,” jawab Kumala lirih, hampir berbisik.
“Berteman?!” Sugeng menatapnya tajam, suaranya bergetar oleh amarah. “Berteman dengan mereka yang menjajah kita begitu maksud kau?!”
“Abah… dia tidak seperti mereka, dia-”
“Tidak seperti mereka?” potong Sugeng cepat. “Kau pikir penjajah bisa dibedakan hanya karena kata-katanya lembut? Mereka semua sama! Mereka datang untuk merampas, bukan mencinta!”
“KAU AIB KELUARGA INI, KUMALA!!!”
Suara bentakan itu menggema hingga ke luar rumah. Pertengkaran hebat pun pecah, antara amarah seorang ayah yang merasa dikhianati dan tangisan seorang anak yang hanya ingin dicintai. Sugeng yang keras kepala, dan Kumala yang tak kalah kerasnya, membuat malam itu terasa menyesakkan.
“Aku tahu ini salah, Abah…” Kumala terisak, suaranya pecah. “Tapi aku juga manusia. Aku hanya ingin bahagia, meski di tengah semua ini.”
Sugeng menatapnya lama. Napasnya berat, matanya bergetar menahan emosi. “Kalau kebahagiaan kau berarti menusuk bangsa sendiri, maka apa gunanya semua ini? Apa gunanya kau mengumpulkan bahan-bahan itu? Apa gunanya perjuangan ini?” pertanyaan itu membuat Kumala terdiam, tertampar kenyataan.
Keheningan menggantung di udara sampai akhirnya Cahya, anak sulung sekaligus kakak Kumala, mendekat dan menatap mereka bergantian.
“Cukup, Bah,” katanya tegas. “Ini bukan waktunya bertengkar.”
Ia menatap adiknya yang masih menangis. “Kumala, cepat kemasi barang-barangmu. Kita sudah tidak punya waktu lagi.”
Kumala menggeleng, air matanya jatuh lagi. “Aa, Kumala ingin bersama dengannya.”
Mendengar itu Cahya tersenyum tipis, tak menyangka adik kesayangannya telah tumbuh dewasa dan sudah mengenal cinta. Tapi sayangnya sekarang bukan waktu yang tepat untuk hal itu, mereka harus segera pergi meninggalkan rumah, meninggalkan kota ini, bukan hanya mereka tapi semua penduduknya.
Operasi pembumihangusan dimulai. Api mulai menelan beberapa bangunan, memaksa penduduk meninggalkan kota, termasuk keluarga Kumala. Setelah memastikan semua barang yang ingin mereka bawa sudah dikemas, Sugeng, selaku kepala keluarga, dibantu Cahya, menyalakan api pada rumah mereka sendiri. Meski air mata mereka menetes deras, mereka harus melakukannya demi kebebasan yang mereka idamkan. Setelah itu, mereka bergabung dengan warga lain menuju pengungsian.
Sebelum benar-benar meninggalkan kota, Kumala memohon kepada sang kakak agar memperbolehkannya bertemu dengan Van, mungkin untuk terakhir kalinya. Cahya, entah mengapa, menyetujui dengan syarat ia ikut menemani. Tanpa berpikir panjang, Kumala menyetujuinya dan bergegas menuju tempat biasa mereka bertemu.
Malam itu begitu dingin, dan cahaya yang minim membuat suasana terasa mencekam. Kumala berdiri tepat di bawah pohon tempat pertama kali dia bertemu dengan Van, sementara Cahya menunggu tidak jauh, sesekali mengamati sekitarnya. Tempat ini memang dijadikan untuk titik temu mereka, Kumala berharap Van datang pada malam ini seperti biasanya. Namun ada sesuatu yang aneh. Tepat ketika Kumala menoleh ke belakang, seseorang muncul tiba-tiba dan menusuk perutnya.
“Jika aku tidak bisa memilikimu, maka dia juga tidak boleh memilikimu. Aku mencintaimu, Kumala. Selamat tidur, sayang.”
Setelah melakukan aksinya, seketika Kumala tergeletak di tanah dengan tubuh bersimbahan darah, di depan mereka Van menyaksikan semua itu. Disusul dengan Cahya yang mendekat dengan amarah yang menggebu-gebu. Namun mata Kumala masih terbuka, menatap orang yang dicintainya, tersenyum tipis, lalu perlahan matanya tertutup. Seketika tubuh Van bergetar hebat.
“A-apa ini, Lars?” lirih Van. Ia tidak percaya. Teman seperjuangannya membunuh kekasihnya, tepat di depan matanya. Van ingin bangun dari mimpi ini, tapi itu kenyataan.
“V-Van… kau percaya padaku, bukan?” wajah Lars pucat pasi. Ia tak menyangka Van akan muncul di sini, ia pikir Van akan menjauh setelah hubungan mereka terbongkar.
“Mereka berencana membunuhmu, Van! Aku berusaha menghalangi mereka, tapi dia… dia, kekasihmu… tiba-tiba mengeluarkan pisau. Beruntung itu tidak mengenaimu, tapi malah mengenai Kumala!”
“APA-APAAN INI??!!! DIA MEMBUNUH ADIKKU!!! BAJINGAN INI… MEMBUNUH KUMALA!!!” teriak Cahya.
Saat Cahya hendak menyerang Lars, Van mendahuluinya. Ia meraih kerah Lars dengan erat, memutar tubuhnya, lalu menghantamkan tinjunya ke wajah Lars. Lars tersentak, tapi cepat membalas dengan pukulan ke arah Van. Suara benturan tubuh mereka terdengar keras, seakan menandai setiap dentuman kemarahan yang meluap. Perkelahian pun tak terhindarkan, kaku, brutal, dan liar. Tidak ada yang berusaha melerai dan mereka pun enggan untuk menghentikan aksinya.
“KAU PENGKHIANAT, LARS!!!!” teriak Van, suaranya pecah, penuh amarah dan kepedihan.
“Lantas kau apa, Van?!” balas Lars, wajahnya memerah dan napas tersengal, namun matanya tetap menyala penuh kebencian.
Detik berikutnya, Lars menginjak sesuatu, terdengar ledakan keras yang membuat debu beterbangan dan api langsung menjalar ke sekitar mereka. Suara jeritan menggema di malam itu. Cahya terkejut, tubuhnya gemetar mendengar teriakan yang menembus telinga. Namun ia tidak ingin menolong siapa pun lagi. Dengan napas tercekat, ia mengangkat jasad Kumala yang ringan dan rapuh, menjauh dari tempat itu, dari kota dan dari semua kenangan yang pernah mereka cintai.
Kini kota itu tampak seperti lautan api. Langit menghitam menutupi rembulan, dan asap tebal mengaburkan segalanya. Tangisan yang tak terbendung mengiringi langkah Cahya. Ia berjalan perlahan, tubuhnya gemetar, tangannya menggendong adik tersayangnya.
Di antara kobaran api dan asap, wajah Kumala masih terekam jelas di ingatan Cahya, senyum tipisnya, tatapan terakhir yang lembut, seolah berkata, “Maafkan aku, Aa... aku lebih memilih cintaku dari pada kita,” Cahya menelan ludah, hatinya nyaris hancur. Ia tahu mereka telah kehilangan segalanya: rumah, kota, dan orang yang dicintai adiknya. Namun di tengah kehancuran itu, satu tekad tetap membara, “Aku akan memastikan pengorbananmu, Kumala, tidak sia-sia…” Langkahnya berat, tapi ia terus berjalan, membawa adiknya pergi dari lautan api.
Biodata Penulis:
Delivia Nazwa Syafiariza, saat ini aktif sebagai mahasiswi, jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas. Ia terlibat di UKMF Labor Penulisan Kreatif. Penulis bisa disapa di Instagram @viadns_yaa