Hujan turun deras malam itu. Dari balik jendela kamar kecilku, cahaya lampu jalan menembus tirai tipis dan membentuk bayangan samar di dinding. Aku duduk di tepi ranjang, menggenggam ponsel yang layarnya menampilkan deretan pesan lama. Nama-nama yang dulu terasa dekat kini hanya huruf-huruf mati tanpa makna. Dunia terasa ramai, tapi hatiku sunyi.
Ada masa dalam hidupku ketika tawa bersama teman-teman terasa hampa. Mereka ada untuk cerita ringan, tapi tidak untuk luka yang dalam. Di tengah keramaian, aku merasa seperti orang asing di negeri sendiri. Saat itulah aku sadar, kesepian paling menyakitkan bukan ketika kita sendirian, tapi ketika kita tidak tahu lagi ke mana harus bersandar.
Aku mencoba mengusir sepi dengan banyak cara, menonton film hingga larut malam, sibuk dengan pekerjaan, bahkan tertawa lebih keras di hadapan orang lain. Tapi semakin keras aku menutupi, semakin terasa kosong di dalam. Di luar, orang melihatku kuat dan ceria. Di dalam, aku rapuh dan kehilangan arah.
Sampai satu malam, setelah semua suara di luar lenyap, aku menunduk dan berbisik lirih, 'Ya Allah, aku tidak punya siapa-siapa selain Engkau.'
Kalimat itu sederhana, tapi seperti kunci yang membuka pintu hatiku. Aku terisak lama. Untuk pertama kalinya, aku merasa tangisku didengar.
Sejak malam itu, aku mulai terbiasa berbicara kepada Allah. Doa-doaku bukan lagi sekadar permintaan, tapi percakapan panjang dan jujur. Setelah salat, aku duduk lebih lama. Kuceritakan keresahan dan kegembiraan yang bahkan tak sanggup kubagi pada siapa pun. Air mata yang jatuh bukan tanda lemah, melainkan bahasa yang hanya Allah mengerti.
Beberapa malam kemudian, aku memberanikan diri bangun di sepertiga malam terakhir. Awalnya berat, tubuhku sering kalah oleh kantuk. Tapi ketika akhirnya aku berhasil berdiri di tengah sunyi, suasananya berbeda. Angin malam menyelusup lembut lewat celah jendela. Dalam sujud panjang, aku tidak mendengar apa-apa, namun dadaku terasa ringan. Seakan seluruh beban yang kusimpan lama-lama dilepaskan satu per satu.
Aku mengerti, mungkin inilah cara Allah menjawab tanpa kata.
Hari-hariku berubah perlahan. Aku tidak lagi berlari mengejar keramaian. Pagi terasa lebih tenang, langkah terasa lebih ringan. Kesepian yang dulu kurutuki kini menjadi ruang yang menenangkan. Aku tak lagi takut sendiri, karena aku tahu aku tidak pernah benar-benar sendiri. Allah selalu ada mendengar tanpa bosan, menemani tanpa syarat.
Aku belajar bahwa ketenangan bukan datang dari banyaknya teman, tapi dari dekatnya hubungan dengan Sang Pencipta.
Suatu malam, ketika pikiranku kembali berat, aku menangis di atas sajadah. Tapi tangisan itu tidak lagi menyakitkan. Di tengah isak, hatiku mendengar bisikan halus: 'Aku bersamamu. Jangan takut, jangan bersedih.' Malam itu aku tahu, doa yang tulus tidak pernah sia-sia.
Waktu berjalan. Aku tidak menjadi manusia sempurna. Aku masih sering lalai, masih goyah, masih jatuh. Tapi aku paham sekarang, ukuran kedekatan dengan Allah bukan seberapa jarang kita salah, melainkan seberapa sering kita mau kembali. Allah mencintai bukan hanya mereka yang tak pernah tersesat, tapi juga mereka yang terus pulang meski berulang kali jatuh di jalan.
Pernah suatu sore, aku berjalan sendirian di taman. Anak-anak berlari mengejar bola, orang tua duduk membaca koran. Di tengah hiruk-pikuk itu, aku tersenyum sendiri. Dulu aku membenci sunyi, sekarang aku justru mencarinya.
Sunyi membuatku mendengar bukan dunia, tapi hati sendiri.
Kini, ketika aku menoleh ke masa lalu, aku bersyukur pernah merasa sepi. Tanpa sepi, aku mungkin tak akan belajar mencari Allah dengan sungguh-sungguh. Tanpa kehilangan, aku tak akan tahu indahnya menemukan. Kesepian yang dulu kutakuti ternyata adalah cara paling lembut Allah memanggilku pulang. Pulang kepada-Nya Dia yang tak pernah pergi, Dia yang sebaik-baik sahabat.
Penulis: Shevinda