Saat malam yang sepi disertai angin dingin yang berhembus, di sebuah rumah kecil yang jauh dari keramaian ada seorang anak kecil menangis dalam pelukan sang ibu. Tubuhnya menggigil dan suhu badannya panas. Malam semakin larut saat anak kecil itu tidur terlelap, dua kakaknya menghampiri ibunya meminta makan karena mereka lapar. Sang ibu bangun lalu mengambilkan sebungkus roti yang tinggal setengah, sisa tadi siang. Mereka membagi roti itu berdua, setelah itu ibunya menyuruh tidur karena besok harus sekolah.
Sang ibu itu tidur dalam keadaan menahan lapar dan ia menangis pilu melihat anak-anaknya harus hidup susah seperti ini.
Si Sulung terbangun mendengar isak tangis ibunya, tangisan yang hampir setiap malam ia dengar, di setiap malam pula ia berpikir mengapa ayahnya tega meninggalkan mereka tanpa kabar. Dimana ayahnya sekarang, apakah sang ayah masih ingat dengan mereka, apakah sang ayah akan kembali menemui mereka, pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu mengantarnya tidur tanpa ada jawaban.
Suara burung yang berkicau dengan sorot matahari yang menghangatkan menyambut pagi hari ini. Andri berangkat sekolah bersama satu adik perempuannya, sang ibu bersama Aldi yang sedang sakit di rumah. Semenjak Aldi sakit sang ibu bekerja setelah Andri dan Manda pulang sekolah, agar bisa bergantian menjaga si Aldi.
Aldi tiba-tiba badannya panas dan menggigil, ia juga memanggil ayahnya terus. Merasa khawatir dengan kondisi Aldi ibunya datang ke rumah tetangga untuk meminta bantuan obat. Akhirnya Aldi diberi obat penurun panas.
Sang ibu merasa capek seharian menggendong Aldi dalam keadaan perut kosong, dia berpikir mungkin Aldi sakit karena rindu dengan ayahnya.
***
Suasana panas membawa langkah Andri dan Manda pulang ke rumah, mereka harus berjalan kaki cukup lama karena jarak rumah ke sekolah jauh. Manda dengan polosnya bertanya pada Andri.
“Kak, kenapa ayah ga pernah pulang? Ayah kerja dimana?”
Pertanyaan yang membuat Andri seketika berhenti berjalan kemudian menatap sang adik, mengerti bahwa adiknya sangat rindu dengan ayahnya. Pertanyaan yang sama ia pertanyakan setiap malam dan dia sendiri pun tidak tahu. Andri mengarang untuk menjawab pertanyaan itu.
“Ayah bekerja di kota jauh, ayah pulang kalo udah dapat banyak uang buat kita, adek doain ayah ya, biar cepet uang.”
Jawaban itu Andri janjikan pada adeknya agar dia tidak terus-terusan bertanya kepada ibunya. Dari kejauhan nampak rumahnya ramai dikerumuni orang, Andri dan Manda langsung berlari memanggil ibunya, ada apa ini dari luar rumah terdengar suara tangisan ibu.
Ternyata Aldi si bungsu meninggal dunia setelah sakit selama lima hari. Sulit dipercaya bagi Andri melihat tubuh Aldi sudah terbaring kaku di tempat tidur, hatinya hancur melihat sang ibu menangis.
Saat Andri memeluk ibu dengan erat, ibu berkata “Dri, ayahmu belum pulang, Aldi udah pergi” seketika itu tangis Andri pecah di pundak ibu.
Usai proses pemakaman mereka kembali ke rumah, masih ada beberapa tetangga di situ. Suasana rumah menjadi sendu, kosong, enggak ada lagi tawa mereka saat di meja makan.
Ibu masih diam tertunduk yang dipeluk erat oleh Manda, Andri mencoba menelaah keadaan, berpikir apa yang harus ia lakukan sebagai anak tertua. Andri melihat foto ayahnya dipajang di dinding, ia buru-buru mengambilnya dan memasukan ke dalam kantong kresek untuk dibuang. Andri marah pada ayahnya karnanya adeknya harus menderita sakit sampai meninggal, ia juga kecewa ayahnya yang awalnya pergi untuk mencari uang di kota malah tidak pernah memberi kabar sampai saat ini. Ia berkeinginan mencari ayahnya ke kota.
Empat bulan berlalu Andri menyampaikan pada ibunya, ia ingin mencari ayah ke kota, namun ibunya melarang Andri untuk pergi mencari ayahnya.
“Nda usah Ndri kamu cari ayahmu, biarkan saja kalo dia mau pulang pasti mbalik, wes kamu fokus sekolah aja.”
Mendengar jawaban ibunya Andri sadar betapa sabar dan ikhlas sang ibu dalam menghadapi setiap cobaan yang dijalani. Sepulang sekolah Andri dan Manda membantu ibunya di ladang sampai sore hari. Malamnya mereka belajar dan beristirahat.
Sore hari saat Andri pulang dari ladang membawa satu karung jagung di pundaknya, sesampainya di rumah ada seorang yang duduk di depan rumahnya, itu ternyata tukang pos yang mengantar surat.
Setelah menerima suratnya ia buru-buru membukanya, di depan surat tertera nama ayahnya. Dia membuka surat sangat antusias berharap kabar baik menghampiri, ia bergetar selesai membaca surat itu, langsung berlari ke ibunya memberikan surat.
Sang ibu langsung membacanya, melihat nama suaminya di amplop ibu meneteskan air mata. Isi surat yang membuat dada mereka semakin sesak, sang ayah mengabarkan ia tak akan kembali lagi ke rumah karena di kota sudah mempunyai keluarga baru.
Sang ayah mengatakan ia sangat mencintai ibu dan anak-anak sampai kapan pun dan permintaan maaf, di amplop itu juga ada sejumlah uang dari sang ayah.
Ibu tertunduk menghela nafas panjang, beranjak dari tempat duduk, berdiri membuang wajah ke arah jendela. Bersama dengan senja telah hilang harapan suaminya untuk kembali, marah dan kecewa berkecamuk dalam hati yang tak akan pernah tersampaikan pada suaminya.
Dalam hatinya ia berjanji akan mengantar anak-anaknya sampai sukses, dan menjadikan mereka sebagai alasan untuk hidup. Tak ada kekhawatiran lagi yang mengantarnya tidur, semua tanya telah terjawab, dan semua harapan telah terkubur.
Surat ini menjawab semua pertanyaan Andri dan ibu yang setiap malam mereka utarakan pada sang malam yang mencekam. Bukan kabar baik yang dibawa surat itu, tapi setidaknya telah menjawab semua pertanyaan yang selama ini mereka simpan, walaupun jawabannya tidak sesuai harapan dan menyakitkan.
Ibu yang selalu sabar dan menerima segala yang menimpa keluarganya, menjadi pelajaran bagi Andri agar selalu berbuat baik. Tuhan pasti akan membalas setiap kebaikan, jika di dunia belum mendapat balasan, pasti ada di akhirat kelak.
Biodata Penulis:
Rahayu Qurrota 'Ainin saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN Saifuddin Zuhri Purwokerto.