Palu diketuk tiga kali, Ami dan suaminya resmi bercerai. Sepasang mata bertemu tanpa senyuman. Hanya datar beberapa detik, lalu keduanya mendekat berjabat tangan dengan senyum dipaksakan.
"Terima kasih untuk semuanya," Ucap Ami datar dengan tenang.
"Aku juga demikian, hiduplah dengan baik bersama Rinai." Jian melepas tangannya dari genggaman Ami, ia bergerak meninggalkan perempuan itu tanpa menoleh, Ami hanya melihat punggung lelaki yang sudah dua puluh tahun menghabiskan hidup bersama, tapi ia lekas menampik pikiran yang mulai jauh. Ami berjalan ke luar gedung pengadilan lalu meluncur cepat menggunakan sedan merah.
***
Seorang wanita berlari dari rumahnya menembus hujan, seorang wanita tergopoh berlari memanggil putrinya untuk kembali, yang dipanggil sama sekali tidak peduli, terus berlari di bawah hujan tanpa memperdulikan teriakan ibunya.
Di sebuah jembatan dengan air sungai menggelegak. Wanita itu menatap kosong ke bawah, ia membayangkan dunia berputar di kepalanya, mengamuk bagaikan badai menghantam dinding pertahanan dirinya selama ini.
Ia menaiki pagar jembatan dan berdiri merentangkan tangan, seraya membayangkan kehidupan keras selama ini ia jalani.
Tubuhnya menjadi ringan, hendak terjun ke sungai yang deras, seseorang tiba-tiba memeluk tubuh gadis itu dengan cepat, ia membuka mata dan melihat wanita separuh baya mencoba mencegahnya agar tak jatuh.
"Lepaskan aku," Gadis itu meronta, sedangkan Yati, ibu separuh baya itu berhasil menarik tubuh Rinai hingga keduanya jatuh di tepi jalan.
"Jangan mencoba untuk bunuh diri, itu bukan menyelesaikan masalah," Yati berteriak di tengah hujan, suaranya sengau. Sedangkan Rinai hanya tergugu sambil menangis, tak lama kemudian datanglah wanita dengan tergopoh-gopoh membawa payung. Ami namanya, ia mendekati Rinai seraya terus meminta maaf berulang. Gadis itu tak menanggapi, tetap menangis sambil memeluk lutut di tengah derai hujan dan petir bersahutan.
***
Setelah lebih tenang, Ami menyelimuti Rinai yang tertidur pulas, lalu keluar untuk menemui Yati, wanita yang berhasil menyelamatkan putrinya. "Terima kasih, sudah menyelamatkan putriku."
"Tidak apa-apa, kebetulan aku lewat dan melihatnya ingin melakukan percobaan bunuh diri."
Ami kemudian ikut duduk.
"Apa pun masalahnya, semoga putrimu tidak mengulang kejadian seperti itu lagi,"
Perempuan itu berdiri, sambil meletakkan tas di bahunya. Ami berdiri menyeimbangi, lalu mengantarkan tamunya untuk pulang.
"Masih hujan, apa sebaiknya menginap di sini," Ia terlihat cemas.
"Masih banyak pekerjaan menunggu," Ucap wanita itu seraya membuka pintu mobil.
"Apa kau hanya tinggal berdua dengan putrimu?"
Ami hanya mengangguk.
"Berhati-hatilah, ini bingkisan kecil juga payung, barangkali berguna jika kau terjebak hujan. Anggap saja sebagai ucapan terima kasihku," Ami meletakkan sedikit makanan dan beberapa uang, dan sebuah payung.
Wanita itu tersenyum, "Kau tak perlu memberiku ini semua, itu hanya kebetulan. Tapi tidak apa-apa terima kasih banyak untuk kebaikanmu, dan siapa namamu?"
"Ami," Jawabnya singkat.
"Baiklah, Aku Yati, kita bisa menjadi sahabat baik, jangan lupa jaga putrimu, sepertinya keluargamu lagi mengalami masalah besar?"
Ami hanya tersenyum kecil, lalu menjawab singkat, "Ya begitulah, hidup penuh gejolak."
Ia menghela napas, Yati kemudian merogoh tas dan sebuah bolpoin, ia menulis sesuatu lalu menyerahkannya pada Ami. Perempuan itu menerima ragu-ragu.
"Ambillah, ini alamat praktikku, alamat rumah serta nomor telepon. Datanglah, kau bisa konsultasi, aku adalah dokter psikologi, barangkali bisa membantu juga anak gadismu."
Ami hanya terdiam, masih menatap kertas itu tanpa bergeming, Yati menepuk bahunya sambil meyakinkan, "Tenanglah, aku tahu kau punya banyak hal yang ingin dibicarakan. Terserah kapan kau mau, aku hanya membukakan pintu."
Wanita itu tersenyum lalu masuk ke mobil dan berlalu, Ami hanya menatap lurus ke depan seiring lajunya mobil perempuan itu berlalu hingga hilang di persimpangan jalan.
***
Rumah berwarna coklat tua, dengan pagar tinggi. Ami menatap sekeliling sekitar lingkungan itu, sepi tak ada siapa-siapa. Ia berulang kali memencet bel, hingga hitungan ke delapan seorang penjaga gerbang membuka dengan tergopoh-gopoh.
Setelah dipersilahkan masuk, Ami memasuki ruangan serba putih dengan dinding dipadukan warna hijau, ia melihat banyak pasien yang sedang direhabilitasi. Belum ada terlihat wanita bernama Yati, hingga seseorang menyapa dirinya.
"Ada keperluan apa ibu," Ucapnya lembut.
"Saya ingin menemui bu Yati, apakah ada?"
"Apa ibu ada janji sama beliau."
Ami menggeleng dan mengatakan tidak ada, perawat itu menyuruh Ami lebih baik menunggu atau pulang saja dahulu. Sepertinya juga tidak ada pasien jiwa yang akan dijenguk Ami, sebab ia terlihat asing. Tapi Ami tidak ingin membuang waktu, ia meminta izin untuk menelepon Yati dan menemuinya segera.
Namun perawat itu dengan tegas mengatakan bahwa bu Yati tak bisa ditemui sembarang orang, kecuali sudah ada janji. Ami tak mau berdebat panjang, ia berpaling dan mengurungkan niat untuk konsultasi.
"Dengan saudari Ami?"
Tiba-tiba suara itu menghentikan langkahnya, ia menoleh dan melihat wanita yang ditunggu tersenyum lebar, Ami membalas dengan senyuman serupa.
"Mari ke ruangan saya saja." Ucap wanita itu tegas, Ami berjalan mengikutinya.
***
Ami menceritakan dengan detail permasalahan keluarganya selama ini, bahkan tentang kenapa Rinai bunuh diri itu bukan karena mengalami masalah. Tapi sebuah trauma masa lalu. Setiap kali hujan turun Rinai selalu kehilangan keseimbangan emosi. Ia tak mampu membendung masa lalu ia akan berlari di tengah hujan lalu melakukan percobaan bunuh diri.
Semasa remaja, Rinai sering dipukuli ayahnya, apabila pulang kehujanan, karena ia memiliki alergi hujan, biasanya akan sesak napas. Karena terlalu protektif terhadap Rinai, Jian yang pernah masa mudanya memiliki gangguan jiwa kadang kambuh, ia tak sadar memukul Rinai saat hujan hingga babak belur, bertahun-tahun.
Setelah kejadian itu biasanya Jian akan menangis meminta maaf, ia takut Rinai seperti kedua orang tuanya yang meninggal kecelakaan ketika hujan deras. Sebab itulah ia benci hujan hingga perasaan takutnya akan kejadian masa lalu terjadi kepada Rinai, membuat emosinya tak mampu dibendung.
Karena mengalami hal demikian dari tahun ke tahun, membuat Rinai trauma dan takut pada ayahnya. Cemas kejadian itu terus terulang, Ami memutuskan bercerai secara baik-baik, Jian tak menolak, karena dia juga tak bisa menahan emosi ketika melihat Rinai pulang kehujanan.
Setelah lima tahun bercerai dari Jian, Rinai menunjukkan sikap aneh, sepertinya mengalami kejiwaan sama seperti ayahnya. Setiap kali bersedih dan hujan turun, penyakitnya kambuh dan berulang kali melakukan percobaan bunuh diri.
Sempat dirawat selama tiga tahun pada rumah sakit jiwa, karena mengalami peningkatan kesembuhan tinggi, ia dipulangkan hingga setahun setelah itu penyakitnya kambuh lagi. Maka cara terakhir adalah dengan diikat di kamar, meski sebenarnya Ami tidak tega. Ia percaya pada Rinai, bahwa akan baik-baik saja dengan seiring berjalannya waktu.
Karena kesibukan membuat Ami jarang di rumah dan mempercayakan penuh pada Rinai bahwa ia bisa melawan rasa traumanya, ketika hujan turun ia mengurung Rinai di kamar. Gadis itu hanya bisa memeluk dirinya ketakutan di dalam selimut, terbayang bagaimana Jian memukulinya.
Usai menceritakan semuanya Yati bertanya bagaimana perkembangan Rinai belakangan ini, tapi sayangnya trauma gadis itu semakin parah. Bahkan dalam seminggu bisa tiga kali melakukan percobaan bunuh diri.
"Harus dilakukan dengan tindakan lain, jika kau izinkan, bolehkah putrimu direhabilitasi kembali di sini, biar aku bantu,"
Ami terdiam sejenak menimbang tawaran perempuan itu.
"Tapi, belakangan ini keuangan saya menipis, rasanya berat untuk pembayarannya,"
"Jangan dipikirkan masalah bayaran, percayakan saja padaku," Yati meyakinkan Ami yang ragu, hingga beberapa minggu kemudian atas persetujuan Rinai, maka gadis itu tinggal di sana jangka awal enam bulan.
"Caramu mendidik Rinai salah, seharusnya ketika dia trauma dengan hujan dan masa lalunya, maka biasakan dia untuk berusaha terbuka sedikit demi sedikit dengan masa lalunya."
"Lakukan yang terbaik untuk anak saya, akan saya usahakan membayar setimpal dengan usaha ibu."
Yati hanya tersenyum lembut, ia kembali menegaskan masalah biaya, ada keringanan untuk Ami asal mau bersabar.
***
Dua bulan rehabilitasi, ketika hujan turun Rinai sering kali mengamuk dan berteriak-teriak tidak karuan, bahkan pernah hampir berhasil melakukan percobaan bunuh diri dengan memotong urat nadi. Untung saja ia sempat dibawa ke rumah sakit dan diselamatkan.
Melihat makin hari makin sulit, bahkan tak ada perubahan terhadap Rinai membuat Ami ingin pasrah. Yati tidak putus asa, itu masih masa waktu dua bulan. Masih ada empat bulan untuk melakukan banyak hal.
"Percayakan padaku, akan kuusahakan." Begitulah pada akhirnya, setelah dirawat, Rinai kembali ke rehabilitasi.
Setelah kejadian itu Yati semakin sigap bahkan meminta penjagaan khusus untuk Rinai, ketika hujan turun paling utama. Ia juga mengadakan pendekatan sedikit demi sedikit, supaya mencari kemudahan untuk solusi dari rasa trauma Rinai.
Suatu siang yang sedang hujan lebat disertai petir, perjalanan bulan ke tiga, Yati mencoba membuka kamar Rinai yang sedang ketakutan di dalam selimut. Melihat Yati memasuki kamarnya ia mengambil gunting hendak menusuk ke arah wanita itu, Yati dengan tenang memeluk Rinai sambil mengambil gunting dari tangan gadis tersebut, seraya membisikkan kata-kata bahwa itu hanya hujan bukan seperti apa yang ditakutkan. Tapi perempuan itu terus meronta, hingga tak sadarkan diri.
Hari ke hari Yati tak pernah bosan, meski sulit untuk melakukan pendekatan pada Rinai, tapi ia berusaha keras. Semakin lama Rinai mulai menerima Yati dan perlahan terbuka padanya.
Ia juga memberikan sebuah buku catatan untuk Rinai agar menuliskan semua kegelisahan hatinya. Gadis itu menerima dan mulai menuliskan seluruh kegelisahan, ketakutan dan kesedihan yang terpendam dalam jiwanya.
Seperti suara petir ketika hujan ia seakan melihat ayahnya mencambuk tubuhnya di bawah hujan, ia ingin bebas dari belenggu mentalnya yang tak stabil, perhatian ibunya yang tersita oleh pekerjaan. Bagian terakhir membuat Yati memahami permasalahan baru Rinai. Gadis itu kekurangan kesempatan untuk bercerita pada ibunya.
Dari situlah Yati itu mulai memasuki dunia Rinai dan membiasakan ia untuk berani pada hujan, maka suatu hari di kala hujan lebat Yati dengan ditemani beberapa perawat membawa Rinai ke tengah hujan.
Ia terus meneriakkan kata-kata baik bahwa itu hanya hujan dan lawan segala halusinasi terbentuk dari rasa trauma.
Rinai berjuang keras di tengah hujan, ia tersengal melawan antara trauma dan kesadaran dirinya, terkadang ia berteriak histeris tapi Yati sigap memeluknya dan mengatakan itu hanya hujan yang baik pada bumi. Menumbuhkan dedaunan dan banyak Rahmat Tuhan diturunkan.
Gadis itu berusaha kuat sambil tergugu dalam pelukan Yati, percobaan pertama ia berhasil meski tidak sempurna. Hingga hujan demi hujan ia melakukan percobaan untuk tidak takut dan mencoba, dari waktu ke waktu penuh perjuangan yang keras bahkan sampai tak sadarkan diri berulang, Rinai berusaha melawan segalanya.
Bulan ke sembilan selama pemulihan, keluar dari target yang ditentukan oleh Yati, ternyata butuh waktu lebih banyak. Rinai mulai mampu mengendalikan dirinya dan terbuka padanya, terutama mengenai kesedihan yang ia derita selama ini.
Maka, dipertemukanlah ia pada ibunya, Ami terharu melihat perubahan putrinya, Yati menyodorkan buku harian Rinai kepadanya. Dengan air mata berlinang perempuan itu tersedu, ia berulang kali meminta maaf untuk segalanya. Karena kesibukan membuat Rinai merasa kesepian setelah Ami bercerai dengan Jian.
"Satu hal lagi yang harus kau tahu."
Yati tersenyum, seseorang keluar dari salah satu ruangan rehabilitasi bagian pria. Ia tersenyum dengan mata berkaca-kaca, Ami menutup mulutnya, tak menyangka akan bertemu kembali pada Jian.
"Apa yang menjadi penyebab Rinai trauma, terkadang itu juga obatnya. Maaf tidak memberitahumu pada bagian ini, aku sengaja menghubungi Jian dan menceritakan segalanya, dengan syarat ia harus direhabilitasi juga di sini, sembari melakukan pendekatan pada Rinai"
"Terima kasih untuk segalanya." Ucap Ami berulang-ulang, dengan mata berkaca-kaca.
Tepat satu tahun, Rinai sudah mulai mampu mengendalikan dirinya, meski kadang traumanya bisa berulang. Tapi itu tidak lepas dari pengawasan Yati, kini sudah dianggap sebagai ibu bagi Rinai, Karena telah berjasa padanya.
Bionarasi:
Riska Widiana saat ini berdomisili di Riau kabupaten Indragiri Hilir.
Karya-karyanya termuat di media cetak dan online seperti Kompas, Babel Post, Merapi, Nusa Bali, Waspada Medan, Serawak Malaysia, Lombok Post, Magrib id, Cendana News, Dunia Santri, Barisan co, Metafor id, Bali Politika, Majalah Elipsis, Hadila, Semesta Seni, dan lain sebagainya.
Karya-karyanya juga termuat di Buku Antologi seperti FSIGB (2022), Hari Puisi Indonesia (2022), Suatu Hari dari Balik Jendela Rumah Sakit (2021), Dokterku Cintaku (2022), 100 Tahun Chairil Anwar (2022), dan lain sebagainya.