Oleh Afny Dwi Sahira
Desa Kalimulyo, Jawa Tengah, tahun 1971, sore-sore di bulan September selalu berbau tanah basah dan kayu bakar. Burung-burung prenjak pulang ke sarang di rumpun bambu, dan matahari yang keemasan turun perlahan di balik sawah yang menguning. Di tepi jalan tanah merah, di bawah pohon asem besar, duduk dua anak muda. Yang laki-laki bernama Sukar, siswa kelas dua SMA, berkulit sawo matang, matanya teduh, dan rambutnya selalu tampak sedikit acak. Di sampingnya ada Karni, gadis yang sebayanya, wajahnya halus dengan lesung pipit di kiri pipinya, tangannya sibuk memintal benang wol yang dibawanya dari pasar.
“Mas, nek kowe nulis apa maneh saiki?” tanya Karni sambil melirik buku catatan kecil di tangan Sukar.
“Puisi,” jawab Sukar tanpa menoleh, “puisi tentang kowe, Karni. Tentang benang yang ora putus putus.”
Karni terkekeh pelan. “Wah, Mas iki bisa wae. Puisi terus. Aku ora paham isine, tapi nek Mas sing nulis, rasane ayem.”
Sukar tersenyum, menutup bukunya. “Kowe ngerti, Karni, wong nulis iku ora butuh paham, cukup ngrasakne.”
Begitulah hari-hari mereka. Setiap sepulang sekolah, mereka bertemu di bawah pohon asem itu. Karni merajut syal, Sukar menulis. Kadang mereka saling diam, hanya mendengarkan desir angin dan suara cengkerik. Tapi di antara diam itu, ada rasa yang tumbuh perlahan, seperti benih padi yang ditanam di sawah basah, tak tampak tapi hidup.
Tahun 1974, setelah lulus SMA, hidup menuntun mereka ke jalan berbeda. Sukar diterima kuliah di Semarang, di Akademi Keguruan. Ia ingin jadi guru bahasa Indonesia. Sedangkan Karni harus membantu ibunya berjualan di pasar. Ayahnya sudah lama meninggal, dan ia anak sulung dari tiga bersaudara.
Sebelum Sukar berangkat ke Semarang, mereka bertemu terakhir kali di bawah pohon asem. Sore itu mendung, angin membawa aroma hujan.
“Karni,” kata Sukar, “aku bakal lunga. Tapi nek Gusti ngersake, kita ketemu maneh. Aku janji.”
Karni menunduk, menggenggam syalnya erat. “Aku bakal nunggu, Mas. Tapi nek kowe nemu sing luwih apik, ojo sungkan.”
Sukar menatapnya lama, matanya berkaca. “Ora ono sing luwih apik. Kowe wis apik saka pisan.”
Karni menyerahkan syal rajutannya, warna merah muda pucat. “Iki, Mas. Supaya nek adhem, ora kedinginan.”
Sukar menerima, lalu tersenyum getir. “Matur nuwun, Nduk. Aku bakal nggowo iki nganti kapan wae.”
Waktu berlalu. Surat demi surat mereka kirimkan lewat pos kecamatan. Setiap minggu, Karni menunggu tukang pos datang dengan sepeda onthel. Di amplopnya selalu tertulis tulisan tangan Sukar: Untuk Karni, di Desa Kalimulyo.
Isi suratnya selalu sama, cerita tentang kuliah, tentang rindu, tentang mimpi punya rumah di tepi sawah dengan suara air gemericik. Karni selalu membalas, dengan huruf yang rapi, menceritakan hari-harinya di pasar, tentang ibu yang sakit-sakitan, dan tentang pohon asem yang kini mulai berlumut.
Tapi pada tahun 1977, surat itu berhenti datang. Tak ada kabar. Karni menunggu berbulan-bulan, lalu bertahun-tahun. Hingga akhirnya ia berhenti menunggu, bukan karena lupa, tapi karena yakin Tuhan sedang menyiapkan waktu lain.
Dua puluh tahun kemudian, tahun 1994, Desa Kalimulyo sudah tak seperti dulu. Jalan tanah merah sudah berubah jadi jalan semen, dan lampu listrik mulai menerangi malam. Suatu sore, Karni, yang kini berusia hampir empat puluh duduk di teras rumah sambil merajut taplak meja. Rambutnya sudah diikat sederhana, tapi sorot matanya tetap sama, lembut dan penuh sabar.
Hari itu, ada hajatan pernikahan anak kepala dusun. Orang sekampung datang, termasuk seorang guru baru yang pindah dari Semarang. Namanya Pak Sukar.
Ketika Karni datang membawa kue pesanan, matanya tertuju pada lelaki itu. Wajahnya sedikit berubah, berkumis tipis, ada garis waktu di sudut matanya. Tapi mata itu… ya, mata itu masih sama. Teduh, jernih, dan hangat.
“Karni?” suara itu bergetar.
Karni hampir menjatuhkan baki di tangannya. “Mas Sukar…?”
Waktu berhenti sesaat. Dunia terasa seperti kembali ke bawah pohon asem puluhan tahun lalu. Mereka saling menatap, menahan air mata yang nyaris jatuh. Setelah acara usai, mereka duduk di beranda rumah tua milik Pak Lurah. Hujan turun lembut, membasuh bumi yang lama menunggu.
“Aku nyari kamu dulu, Karni,” kata Sukar lirih. “Tapi pas aku balik, omahmu wis pindah. Aku ora nemu jejakmu.”
“Wektu kuwi ibu sakit, Mas. Aku pindah ke rumah simbah di ujung dusun. Aku uga nunggu kabar saka kowe, tapi surat-suratku ora ono balasane.”
Sukar menunduk. “Suratmu ilang, Karni. Kosanku kebanjiran. Aku nyimpen syalmu, tapi surat-suratmu hanyut.” Hening. Hujan makin deras.
Sukar melanjutkan pelan, “Aku sempat nikah, Karni. Tapi istriku meninggal waktu nglairke anak pertama. Anakku ora sempet urip.” Karni menatap tanah basah di depan kakinya. “Aku ora nikah, Mas. Ora ono sing tak tresnani, liyané ra iso mlebu ning atiku.”
Sukar menarik napas panjang. “Berarti Gusti ora lali karo janjiNé. Kita disimpen luwih suwe, ben ngerti artine sabar.” Malam itu, mereka bicara sampai hujan berhenti. Dan beberapa bulan setelahnya, mereka menikah.
Tahun 1995, rumah Sukar dan Karni berdiri di pinggir sawah, di tepi sungai kecil. Rumah kayu sederhana, dengan dinding anyaman bambu dan halaman penuh bunga kertas. Sukar menjadi guru di SD Kalimulyo, sedangkan Karni membuka usaha rajutan kecil di rumah.
Pagi-pagi, suara ayam jantan dan gamelan dari radio tua menjadi lagu pembuka hari mereka. Sukar duduk di beranda menulis di buku tulis tebal, sementara Karni duduk di dekat jendela, merajut syal atau taplak.
“Mas, kowe nulis opo maneh saiki?”
Sukar tersenyum, “Cerita cinta wong tuwa sing ora iso pisah karo benang lan tembung.” Karni tertawa kecil. “Berarti kita iki tokohne, yo?”
“Yo, Nduk. Aku sing nulis, kowe sing nyulam uripe.”
Mereka hidup sederhana, tapi bahagia. Tak punya anak, tapi rumah mereka selalu ramai oleh suara anak-anak tetangga yang datang belajar. Sukar dikenal sebagai guru yang sabar dan bersih hatinya. Karni dikenal sebagai ibu yang rajin dan dermawan. Tahun demi tahun berlalu. Pohon asem tempat mereka dulu bertemu masih berdiri, makin tua, rantingnya menua bersama waktu.
Tahun 2010. Rambut Sukar mulai memutih seluruhnya. Jalannya kini pelan, tapi ia tetap menulis setiap pagi. Kadang, tangannya gemetar, tapi Karni selalu membantu menahan buku agar tak jatuh. Suatu malam, di bawah cahaya lampu minyak, Sukar menatap istrinya lama.
“Karni, nek besok aku ora ana, ben kowe ngerti, kabeh tulisan sing tak tulis iku kanggo kowe.” Karni berhenti merajut. “Mas ngomong opo to? Aku ora seneng nek Mas ngomong koyo ngono.”
Sukar tersenyum lembut. “Urip iku mung mampir ngombe, Nduk. Tapi rasa tresna, kuwi ora rampung nganti mati.”
Karni terdiam, dadanya sesak tapi hangat. Ia tahu waktu tak bisa dilawan, tapi hatinya berharap Tuhan memberi lebih lama dan benar, pada suatu pagi di bulan Mei 2018, Karni menemukan Sukar tertidur di kursi rotan di beranda. Pena masih di tangannya, kertas puisi di pangkuannya.
Tulisan terakhirnya berbunyi:
“Cinta iki ora mati, Karni.Mung ganti alamat, saka bumi menyang langit.”
Karni menatap wajah suaminya yang tenang. Tak ada tangis keras, hanya air mata yang jatuh pelan, menetes di kertas puisi itu.
Sejak hari itu, Karni tetap hidup seperti biasa. Ia tetap duduk di beranda setiap pagi, merajut syal dari benang merah muda. Kadang, ia membaca puisi-puisi Sukar dengan suara pelan. Kadang, ia berbicara seolah Sukar masih di sana.
“Mas, iki aku rajut maneh, sing kowe janjekke pengen tak teruske. Ben ora ana sing ilang.”
Tahun-tahun berlalu. Desa Kalimulyo makin ramai, tapi rumah Sukar dan Karni tetap sama, tenang, teduh, penuh kenangan.
Hingga suatu pagi di tahun 2024, Karni ditemukan tertidur di kursi yang sama. Di pangkuannya ada syal merah muda setengah jadi dan secarik kertas kecil:
“Mas Sukar, saiki aku nyusul.
Tak rajut dalan kangenmu nganti ketemu maneh.
Tresna iki ora mati, mung pindah omah.”
Orang-orang desa yang mengurus pemakamannya berbisik pelan, bahwa cinta keduanya seperti tembang Jawa lama, lirih, langgeng, lan ora ana entekean di bawah pohon asem yang kini berusia lebih dari lima puluh tahun, dua batu nisan berdiri berdampingan.
Di antara keduanya tumbuh bunga kenanga yang harum setiap sore, seolah alam ikut merajut kisah cinta yang tak pernah selesai.
Biodata Penulis:
Afny Dwi Sahira, lahir pada tanggal 25 Maret 2006 di Ponorogo, saat ini aktif sebagai mahasiswi, jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas. Afny rutin menulis dan sangat mencintai dunia seni, hal itu dapat dilihat dari keterlibatannya dalam Labor Penulisan Kreatif Universitas Andalas. Penulis bisa disapa di Instagram @afnydwishra_