“Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, masa lalu, sejarah, mereka ada untuk terus diingat dan direnungi. Agar dapat dijadikan pelajaran, perbaikan saat hal pahit terulang lagi. Agar kita tidak terperosok pada lubang yang sama.”
Kriiinggg kriiinggg.... alarm di sepertiga malam membangunkan tidur nyenyak seorang gadis SMA. Klik alarm berhenti berbunyi.
Pukul empat pagi, seorang wanita cantik, yang telah berkepala 4 menepuk lembut bahu anaknya yang masih terlelap dengan selimut terbuka dan HP di tangannya. “La, bangun. Udah jam empat, katanya mau ada penilaian harian” ucap halus wanita tersebut.
Lala terbangun kaget. “Mah, kenapa ga bangunin Lala jam tiga” rengek Lala. Dia cepat-cepat pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah, sedangkan ibunya menatapnya dengan tatapan heran dan tangan di pinggang.
Lala dengan wajah paniknya segera membuka buku fisika di meja belajarnya. Membaca kembali materi tentang hukum Newton dan mencoba soal-soal dari buku modulnya.
Di siang terik, ruang kelas 11 MIPA 5 terasa dingin mencekam. 34 siswa diawasi guru pengampunya, mengerjakan penilaian harian mata pelajaran Fisika dengan keringat dingin di telapak tangan.
Bel istirahat berbunyi, menjadi tanda berakhirnya perang dingin di ruang kelas 11 MIPA 5. Rena, sebagai ketua kelas segera berkeliling untuk mengumpulkan jawaban. Sinta, seperti biasanya, panik karena belum selesai mengerjakan. Sedangkan Lala yang mengetahui watak teman-temannya segera mengumpulkan jawaban ke Rena agar tidak ditanya-tanya.
“Sinta, temenin beli kopi yuk”
“Gas, asli Fisika bikin perut keroncongan”
Sesampainya di kantin, mata Lala bekerja cepat mencari tempat duduk kosong. “La, kamu tempatin kursi, aku pesen mie ayam yaa”.
“Siap, jangan lupa es kopi aku”.
Selesai makan, Amin yang kebetulan melewati meja Lala dan Sinta menyapa dan mengingatkan mereka untuk segera menyelesaikan RAB dan rapat teknis yang akan dilaksanakan sepulang sekolah nanti. Kemudian, Oca yang sudah selesai juga dengan makannya, berlari ke meja mereka. “La, kamu ikut shift di malem api unggun kan di kegiatan jumbara besok. Aku pengen ikut yang shift itu, boleh ya?”
“Coba tanya aja sama Kak Rizki, kan dia yang atur. Keknya kalo cuma mau liat toh juga boleh, kalo ga kamu yang jurit malam aja hahah”
“Lah kamu ga peka oo, tolong bilangin yaa sama kak Rizki, please” pinta Oca pada Lala.
“Hem, coba nanti ya”
Awan gelap dan angin membuat suasana sanggar pramuka Pangkalan SMA Negeri 1 Bobotsari menjadi horor. Namun, baik itu panas terik ataupun badai bukan alasan logis untuk menghentikan kegiatan pramuka mereka.
Setelah rapat teknis yang membuat otak mendidih selesai, seluruh peserta rapat terhenti langkahnya di teras sanggar, menatap hujan deras yang membungkus ruangan. Beberapa di antaranya sibuk menggunakan mantel, sebagian lagi sibuk menelpon orang tua atau orang yang biasanya menjemput.
Lala terkejut setelah membuka Handphone. 16 panggilan tidak terjawab, itulah notif yang mengejutkannya. Lala buru-buru menelpon balik bapaknya. “Assalamu’alaikum, Bapak di SMA?”
“Ia, La. Bapak di parkiran depan sama bapaknya Sinta ini”
“Iya, Pa. Lala ke situ sama Sinta”
Sesampainya di parkiran, Lala langsung diberi bapaknya jas hujan dan helm. Begitu juga dengan Sinta. Perbedaan arah pulang, membuat kedua sahabat tersebut tak bisa pulang bersama.
Jas hujan ternyata tak menjamin keringnya pakaian Lala saat sampai di rumah. “Kok balik sampe maghrib terus, La? Ada acara apa emang?” tanya Ibu Rahmi.
“Iya, Mah. Bentar lagi mau ada kegiatan Pemantapan di ambalan”
“Kayaknya baru dua minggu lalu selesai kegiatan”
“Prokernya tahun ini banyak, Mah”
“Banyak-banyak! Mbok yo kalo rapat diatur waktunya, jangan tiap hari sampe sore banget kayak gini. Yang di rumah khawatir”
“Nggih, Ma”
Hari-hari di SMA Lala dan kawan-kawannya diisi dengan banyak hal. Penuh warna dan coretan indah. Meskipun, masing-masing pasti punya kenangan pahit yang harusnya dapat dijadikan pelajaran. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Tak terasa sudah masanya OSPEK. Masing-masing telah memilih jalan setelah sampai di persimpangan kelulusan.
Lala, setelah berjuang belajar, ujian, mendaftar di universitas dan prodi yang diimpi-impikannya, ternyata gagal. Kecewa sedalam-dalamnya, itulah yang dirasakan Lala. Kecewa pada keadaan, bahkan dirinya sendiri. Kini Lala telah menjadi mahasiswa salah satu universitas pilihan orang tuanya, sekaligus sebagai santri di salah satu pondok pesantren di kabupaten sebelah tempat tinggalnya.
Bab baru telah dimulai, Lala telah berada di lingkungan baru, teman-teman baru, suasana baru, dan segala hal yang baru. Tak seperti saat dirinya masih duduk di bangku SMA, semua hal baru itu bukan lagi sebuah semangat, motivasi, petualangan bagi dirinya. Justru hal itulah yang mengganggunya sekarang. Meski telah berbulan-bulan lamanya, semua itu masih terasa baru bagi Lala, dia masih belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan dia tak bisa menerima jika dirinya diubah menjadi seorang yang baru. Bagi Lala, semua ini sangat keluar jalur dari ekspektasi dan dirinya.
Lala kini telah banyak berubah, itulah kalimat yang sering terucap dari orang-orang yang dulu dekat dan masih sering berbincang dengan Lala sekarang. Lala menjadi anak yang individual, sering berdiam, bahkan tak jarang melamun. Jangankan ikut organisasi, di kelas saja Lala bertanya dalam satu semester bisa dihitung menggunakan jari dalam satu tangan.
Setelah menyadari akar masalah yang membuat bab barunya kelabu, Lala mulai banyak merenung. Karena ia tak bisa lagi mundur, Lala mencoba banyak hal agar setidaknya mampu membuka diri dan menerima segala yang masih baru baginya.
Waktu dan eksperimen memberinya hipotesa, bahwa semangat yang dulu dia punya diciptakan oleh dirinya sendiri, yang dihasilkan dari segala sesuatu yang dilakukannya karena keinginan sendiri. Namun, Lala juga paham betul, sekarang segala yang diinginkannya itu ada batas. Dia menemui jalan buntu kembali.
Masih mencoba dengan segala usahanya. Namun, pikirannya keruh dan Lala memutuskan untuk pulang. Di rumah dia merasakan ketenangan yang tidak didapatnya di kabupaten sebelah. Ia kemudian berkunjung ke rumah kakeknya yang seorang tetua di kampungnya.
“La, betah di sana?” tanya kakeknya.
“Lumayan mbah”
“Kok lumayan? Harusnya itu jawab betah”
“Nggih, Insya Alloh”
Melihat raut wajah Lala, seperti tahu apa yang dia pikirkan, kakeknya mulai bercerita tentang kisah pemuda yang memiliki ibu seorang anak kyai terkemuka dan ayah seorang anak dari begal yang sangat ditakuti dan disegani di seluruh kota. Meski kisah ini sangat panjang Lala mendengarkan kisah kakeknya hingga akhir kisah, bahwa pemuda tersebut akhirnya membawa usaha gelap ayahnya menjadi hal baik yang besar tanpa mengubah inti sari usahanya.
Hari-hari Lala di kabupaten sebelah terasa lebih hidup setelah mendengar kisah dari kakeknya. Dia mulai membuka diri, memaafkan dan menerima perubahan dalam dirinya. Lala bertekad akan tetap melakukan hal-hal yang dia inginkan dengan dirinya yang telah baru. Seorang yang telah berfikir bahwa perginya adalah untuk kembali.
Biografi Penulis:
Zahra Maknuna (biasa dipanggil Una oleh keluarganya) lahir pada tanggal 20 Oktober 2003 di Purbalingga, Jawa Tengah. Anak terakhir dari dua bersaudara. Ayahnya bernama Sukar dan ibunya bernama Nani.
Una saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri Prof. K. H. Saifuddin Zuhri dengan program studi Pendidikan Agama Islam, sekaligus menjadi santri Pesantren Mahasiswa An-Najah.
Pendidikan paling awal yang Una jalani adalah Taman Kanak-Kanak, di TK Pertiwi 2 Adiarsa. Kemudian melanjutkan di SD Negeri 2 Adiarsa. Jenjang selanjutnya ia berpindah ke dusun sebelah, di SMP Negeri 1 Kertanegara. Kemudian lebih jauh lagi, untuk ke jenjang selanjutnya Una harus melewati satu kecamatan, yaitu di SMA Negeri 1 Bobotsari.