Pagi menjelang seorang remaja yang biasa dipanggil Agung sudah sibuk memasak air untuk membuat secangkir teh. Agung adalah seorang pria mungil yang memiliki impian yang sangat tinggi. Ia tumbuh dalam keluarga yang berkecukupan dan harmonis. Namun hal itu tidak menjamin dirinya untuk bahagia.
Setiap harinya Agung menghabiskan waktunya di kamar, bisa dibilang ia adalah anak yang kurang pergaulan. SMP Negeri 2 Bantarsari ialah tempat dia bersekolah, sekolah yang cukup elite di daerah itu. Dengan perjuangan yang sangat luar biasa, akhirnya Agung pun lolos seleksi masuk melalui jalur prestasi. Namun, bukan kebahagiaan yang didapat ketika dia bersekolah di tempat ini. Banyak sekali hal yang membuat pria mungil ini hampir menyerah dan berhenti sekolah.
Setahun berlalu, banyak sekali kejadian yang tidak bisa dilupakan. Semua cara sudah ia lakukan hanya demi mendapatkan teman. Tetapi nyatanya, bukan teman yang datang melainkan hanya cemoohan. Namun apa daya hal yang bisa ia lakukan sekarang adalah memendam.
Sepi, gelap, dan kelam itulah gambaran kesehariannya. Tak ada satupun yang bisa mengerti keadaannya.
Saat sore tiba, pria mungil ini bergegas pulang. Sesampainya di rumah, ia langsung disambut hangat oleh kamar tidurnya. Tak ada yang lebih setia darinya. Sebuah ruang yang menjadi saksi lahirnya tangis dan tawa. Tak ada yang mampu menggantikan ranjang yang seakan selalu mampu menopang masalah yang semakin merajalela.
Keesokan harinya, Agung yang sangat bersemangat bergegas menuju ke sekolah. Sesampainya di kelas, bukan sapaan yang terucap dari mulut penghuni kelas melainkan sebuah caci makian yang terdengar.
"Hai, Cupu" celoteh seorang siswa.
Perkataan itulah yang selalu menjadi sambutan bagi dirinya. Bak baja yang diterka peluru tajam, pria mungil ini selalu berdiri kuat dan tegar. Semua cacian tak menjadi penghalang untuk terus berjuang.
Agung adalah salah satu siswa yang berprestasi pada sekolah itu. Namun, semenjak datangnya masalah, prestasinya kian hari kian menurun. Sepertinya cobaan sedang mencoba mengusik raganya. Semua yang berbau bahagia seperti sirna. Takkan ada yang mampu mendengar teriakan tangisannya. Tak ada yang mau dia benci, sehingga ia membenci dirinya sendiri. Mencoba berteman dengan ekspektasi, namun selalu dipatahkan oleh harapannya sendiri.
Tak ada yang bisa memahami betapa sakit jiwanya, betapa remuk raganya dan betapa rapuh pikirannya. Semua menyerang dirinya, tak mau lepas dan enggan hilang.
Semakin dipendam maka akan semakin kelam.
Suatu sore, ditemani indahnya langit senja, pria mungil ini meluapkan emosinya melalui tulisan. Bukan sekedar tulisan yang tertuang. Namun, perasaan pun ikut menyumbang. Kini Agung memiliki teman baru yaitu goresan tinta. Semua itu sudah lebih dari cukup baginya.
Kala itu waktu di sekolah pria malang ini sangat bersemangat untuk memasuki kelas, karena hari ini adalah hari ulang tahunnya. Sesampainya di kelas, Pria mungil ini langsung disambut hangat oleh hadiah yang sangat mengejutkan. Semua seisi kelas menatap ke arahnya seakan ingin mengucapkan selamat untuknya. Namun nyatanya yang terjadi malah sebaliknya.
"Haiii... selamat hari kematian yaa..." bisik seorang siswa.
Agung yang mendengar itu seketika mematung dan tak bisa berkata-kata.
Derasnya hujan mengiringi sendu sore itu. Pilu yang tak kunjung redup, gelap yang tak kunjung terang, masalah yang selalu datang, membuatnya selalu dilanda kesedihan.
Semua isi dunia seakan tak peduli hari bahagia itu. Hari dimana seorang pria mungil dilahirkan. Bukan hanya raga yang dilahirkan namun masalah pun ikut berdatangan seiring bertambahnya usia. Kini Pria mungil selalu dilanda kepiluan dalam kelam.
Biodata Penulis:
Agung Haziz Indramanto saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN Saizu.