Tabungan Masa Depan

Cerpen ini bercerita tentang Lila, seorang gadis berusia 17 tahun yang harus menghadapi keputusan besar untuk masuk pesantren, jauh dari keluarga ...

Lalu lintas di jalan besar selalu terisi oleh kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang. Bahkan, tak jarang pula kemacetan menjadi akibatnya. Orang-orang berseragam rapi dengan fokusnya mengendarai kendaraan mereka masing-masing, dengan tujuan mencari sumber kehidupan untuk keluarga tercinta mereka.

Dari jendela, Lila memandang kemacetan tersebut dengan pikiran yang bergemuruh. Hari ini merupakan hari pertamanya masuk pesantren di kota tetangga. Lila memang senang, namun ada rasa takut yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. Takut jika di pesantren nanti ia tidak punya teman, jauh dari orang tua, bahkan takut bagaimana jika nanti tidak bisa mengurus diri. Karena sudah 17 tahun Lila dimanja oleh orang tuanya dan kakaknya.

Tabungan Masa Depan

“Lila, cepat bereskan barang-barangmu. Lalu keluarlah untuk makan bersama.” suara ibunya membuyarkan pikirannya itu.

“Apa kamu sudah membereskan semuanya, Lila?” tanya kakaknya. Lila hanya menganggukkan kepalanya.

“Lila, ini keputusanmu sendiri. Apapun resikonya, kamu harus menerimanya. Siap tidak siap, kamu harus selalu siap.” ucap bapaknya.

“Iya Pak, Lila tahu ini sudah menjadi keputusanku. Insyaa Allah aku akan menjalaninya dengan ikhlas.”

Selesai mengisi perut yang membutuhkan asupan, keluarga Lila bersiap-bersiap untuk mengantarkan Lila. Barang-barang bawaannya dimasukkan ke bagasi mobil. Lila juga mengecek kembali barang bawaannya takut ada yang tertinggal.

***

Sesampainya di pesantren, banyak kendaraan-kendaraan terparkir di parkiran pesantren. Banyak anak-anak yang berangkat hari ini juga. Ada yang diantar oleh orang tuanya, hanya bapak atau ibunya saja, satu keluarga besar, bahkan ada yang berangkat sendirian tanpa diantar oleh keluarganya.

Selesai meminta izin kepada Pengasuh Pesantren tersebut, mereka berpamitan kepada Lila. Lila langsung memeluk ibunya dan menangis. Ia sebenarnya belum siap ditinggalkan, namun ini sudah menjadi resikonya. Bapak dan kakaknya menenangkan Lila agar tidak menangis lagi. Kemudian bapaknya memeluk Lila dan menyemangati Lila. “Belajarlah yang rajin, nak.”. Setelah itu mereka pulang dan meninggalkan tempat itu.

***

Di kamarnya, Lila hanya duduk terdiam di depan lemarinya. Ketika ditanya oleh anak lain, ia hanya menjawab seperlunya dan tersenyum. Bagi Lila, beradaptasi di lingkungan baru itu akan sedikit lama untuk anak introvert seperti Lila. Tiba-tiba ada anak yang mendekati Lila dan menjulurkan tangannya.

“Hai, namaku Nisya. Kamarku ada di sebelah kamarmu. Siapa namamu?” Tanyanya.

“Namaku Lila.”

“Waahh... Namanya pas sekali sama orangnya, cantik hihi.” Lila hanya tertawa kecil mendengarnya.

“Kamu baru berangkat ya hari ini? Aku di sini sudah hampir 1 bulan. Aku juga sudah berkeliling di komplek lain. Kamu tau? Di komplek kita juga ada kakak senior cantiikk banget. Aku yang sesama perempuan juga tidak bosan melihat mukanya apalagi laki-laki.” Celotehnya membuat Lila tertawa.

Lila senang bersama teman barunya itu. Nisya selalu mengajaknya berkenalan dengan anak-anak lain yang membuat Lila menjadi punya teman banyak. Berkeliling komplek di waktu senggang selalu mereka lakukan. Berjamaah, mengaji, dan setiap ada acara mereka selalu bersama.

Layaknya sebuah tempat yang sepi lalu didatangi pengunjung banyak, begitulah Lila dan Nisya. Lila menjadi seorang remaja yang begitu ceria dan aktif karena Nisya.

Namun, ada satu yang membuat Lila kagum dengan Nisya. Ya, Nisya merupakan penghafal Al-Qur'an yang baik. Tak jarang Lila menemani Nisya menghafalkan ayat suci Al-Qur'an, lalu memintanya untuk menyimak. Lila bertanya kepada Nisya apa tujuannya menjadi seorang penghafal Al-Qur'an. Lalu Nisya menceritakan pengalamannya itu.

“Kamu tau, Lila? Aku ini seorang anak Yatim. Di rumah aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. 3 tahun lalu keluargaku mengalami kecelakaan yang cukup parah. Bapakku dan adikku tidak tertolong saat kami dibawa ke rumah sakit terdekat. Syukurlah ibuku masih bisa tertolong. Jika tidak, entah bagaimana hidupku sendirian tanpa orang tua. Pasti akan sangat menyedihkan, bukan?” Lila yang mendengar ceritanya, tanpa sadar meneteskan air matanya. Lila langsung bersyukur karena ia masih diberi kenikmatan berupa keluarga yang masih utuh. Mungkin juga di luar sana, ada yang sudah kehilangan kedua orang tuanya dan masih semangat menjalani kehidupannya.

“Maaf Lila, aku baru bisa menceritakan ini ke kamu. Dulu, aku juga pernah menghadiri sebuah pengajian di dekat rumahku. Ada sebuah pesan yang aku tangkap dan selalu ingat sampai sekarang. Kamu mau tau? Seorang anak yang menjadi penghafal Al-Qur'an dan menjaga hafalannya tersebut, maka di Surga nanti kedua orang tuanya akan dihadiahi sebuah mahkota indah hasil dari hafalan anaknya.”

Mendengar itu, Lila langsung tergugah hatinya. Perkataan temannya itu memang benar. Lila termotivasi karena temannya, Nisya.

“Nisya, aku juga ingin sepertimu. Bagaimana caranya?” tanya Lila.

“Hahaha... Aku juga tidak tahu caranya. Yang penting itu niatnya dulu Lila, dan lakukan dengan ikhlas.”

***

Mulai hari itu, Lila dengan perlahan menghafalkan ayat suci Al-Qur'an. Menyetorkan hafalannya ke Pengasuh Pesantren bersama Nisya dan teman-teman penghafal lain. Lila juga menjaga hafalannya dengan murojaah kembali bersama Nisya.

Waktu pun berjalan, matahari mulai meredupkan cahaya hangatnya. Suara Qiroah dalam hati menambah rasa bahagia bagi diri Lila. Bintang-bintang mulai bersinar pertanda malam akan datang. Lila duduk di teras sambil memandangi sinar bulan. Dalam hatinya, ia merindukan keluarga di rumah. Sebenarnya, Lila ingin pulang dan bertemu dengan orang tuanya, namun ia sudah berjanji untuk menyelesaikan hafalannya dahulu.

Di saat Lila sedang malas, ia langsung teringat orang tuanya di rumah. Mereka berharap Lila tumbuh menjadi anak yang bisa menjunjung tinggi nama baik keluarganya.

***

Tak terasa Lila telah menyelesaikan tahun di pesantrennya tepat ia menyelesaikan hafalannya. Begitu juga dengan sahabatnya, Nisya. Besok malam merupakan acara yang istimewa bagi mereka, dimana Lila, Nisya dan teman-teman yang lainnya bersama-sama melantunkan ayat suci Al-Qur'an disaksikan oleh orang banyak termasuk keluarga mereka.

Saat acara istimewa itu mulai, keluarga Lila dan Ibu Nisya datang untuk menyaksikan anak-anak mereka. Mereka sangat bangga dengan keberhasilan anak-anaknya itu. Karena, berhasil dalam urusan akhirat lebih indah dari segalanya.

Biodata Penulis:

Wulan Windadinanti (biasa dipanggil Wulan) lahir pada tanggal 18 Januari 2003 di Banyumas. Riwayat pendidikan Wulan dimulai dari TK Aisyiyah 2 Tinggarjaya, SD N 2 Tinggarjaya, SMP 1 Jatilawang, MAN 1 Banyumas, dan kini ia menjadi seorang mahasiswa aktif di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto dengan Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI).

Di Purwokerto, Wulan tinggal di Pondok Pesantren Putri Al-Jamil Mersi saat Aliyah dan Pondok Pesantren Al-Qur'an Al-Amin Pabuaran saat ini.

© Sepenuhnya. All rights reserved.