Hening malam berpaut sepi, lentera redup menjadi penerang di Gubuk kediaman Juki. Seseorang yang sudah sakit-sakitan itu hidup sebatang kara. Ia ditinggal pergi oleh anak serta istri ke rumah orang tuanya, lantaran tak mampu menafkahi mereka. Tentu, dengan kondisi semacam itu, tak sedikit orang yang menyalahkan atas keadaannya.
Sewaktu muda dulu, ia sangat senang menenggak minuman keras, bermain judi, hingga main perempuan. Tubuhnya rusak, hartanya habis, kini keluarganya pun sudah hancur. Penyakit yang sudah lama dideritanya menghabiskan seluruh perabot rumah tangga miliknya untuk berobat.
Juki kini seorang pengangguran, hidupnya mengandalkan belas kasihan orang sekitar saja. Hanya penyesalan yang ia rasakan. Kini, tak ada seorang pun yang membuat dirinya bangkit dari keterpurukan. Ia pun hanya merenung, membisu di tengah kegelapan malam. Meratapi nasib yang ia alami sekarang.
Juki berbaring di atas kursi goyang tua, jarum jam menunjuk ke arah angka 10, tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu rumahnya. Suara Roni yang sedikit teriak memanggil Juki.
"Pak Juki! Pak!", teriak Roni.
"Tok Tok Tok!...", suara pintu diketuk kencang.
"Ini Roni pak!", teriak Roni sambil terus mengetuk pintu.
Tak lama, Juki pun menyauti dan segera membuka pintu "Oh, Roni. Ada apa malam-malam begini Ron?", tanya Juki dengan nada penasaran.
"Si Aldi, Pak, hanyut di kali wetan!", ungkap Roni kepada Juki dengan sedikit gemetar.
Tubuh Juki lemas, tak bergeming hingga suara petir mengagetkan kesedihannya "Ya Tuhan, cobaan apa lagi yang Engkau berikan", gerutu Juki di dalam hati.
"Ron, kamu bisa temani saya ke sana? Sepertinya mau turun hujan, saya khawatir kalau saya tak mampu berjalan", pinta Juki kepada Roni sambil meringis.
"Baik, Pak, mari saya antar", ucap Roni.
Malam diselimuti awan mendung, suara petir bergantian meledak. Air mulai turun membasahi bumi. Di perjalanan menuju kali wetan mereka diterpa angin kencang dan hujan yang begitu lebat.
Ia pun merasa kesulitan untuk berjalan, belum lagi tubuhnya semakin kaku karena dinginnya air yang menyentuh kulit. Namun, ia bersikeras untuk menemui anaknya meski dalam kondisi apapun.
"Ya Allah, semoga Engkau masih memberi aku kesempatan untuk menemui anakku", doa Juki dalam hati.
Tak lama, angin dan hujan mulai reda. Awan hitam bergeser ke arah lain. Sinar rembulan memancar di atas kepala. Lalu, mereka tiba di kali wetan, tempat Aldi ditemukan.
Di situ beberapa orang berkumpul mengerubungi Aldi tak terkecuali Nur, mantan istri Juki yang sudah 5 tahun meninggalkannya. Nur hanya bisa memeluk tubuh kaku Aldi dan meratapi nasib yang menimpa dirinya.
Kepergian anak yang ia sayangi itu membuat hatinya hancur. Juki yang baru saja datang ikut mendekati Aldi.
"Ya ampun Aldi, maafkan Bapak, Nak! Bapak tidak mampu menjagamu", tangis Juki meratapi jasad Aldi.
"Tak usah kau sentuh anakku! Semua ini karena kau! Tak mampu untuk menafkahi kami!", sergah Nur sambil memeluk erat tubuh Aldi.
"Kalau saja Aldi tidak pergi mencari ikan ke kali untuk kami makan, mungkin ia tidak akan seperti ini!", terang Nur kepada Juki.
"Tak baik menyalahkan aku seperti itu Nur, ini sudah takdir yang harus kita jalani", bijak Juki.
"Sudahlah, Pak, Bu, tidak baik ribut-ribut, lebih baik kita bawa saja jasad Aldi ke rumah!", ucap Roni.
"Bawa ke rumah orang tuaku, biar aku saja yang mengurus semua pemakaman Aldi, dan kau, tak usah ganggu aku lagi! Urus saja hidupmu yang tak karuan itu!", pinta Nur.
"Apa maksudmu! Aldi juga anakku, biarkan aku ikut mengurusi dia! Kumohon Nur!", pinta Juki kepada Nur.
"Hidupku sudah hancur karena kau!", ucap Nur sambil menunjuk ke arah Juki.
"Inilah akibatnya karena dulu kau senang dengan judi dan minum-minuman! Hancur hidupnya!", lanjut hardik Nur.
"Ah, sudahlah Nur, yang lalu biarlah berlalu, aku ini sudah penyakitan, jangan kau tambah lagi dengan hinaan dan cacian pada bekas lakimu ini Nur", terang Juki.
"Lebih baik Aldi kita urus bersama untuk yang terakhir kalinya!", pinta Juki kepada Nur.
"Terserah kau sajalah! Aku khawatir kalau bapak tak ingin kau hadir", ucap Nur.
Setelah berdebat panjang, malam pun mulai larut, mereka membopong jasad Aldi ke rumah orang tua Nur.
Sudah banyak orang yang menunggu kedatangan jasad Aldi di rumahnya. Pak Mahdum nampak gusar menunggu cucu kesayangannya.
Setibanya mereka di rumah, Pak Mahdum langsung memeluk jasad Aldi. Ia menangisi kepergiannya. Di sisi lain, ternyata Pak Mahdum masih menyimpan rasa dendam kepada Juki, lantaran ia sudah mengecewakannya. Anaknya tidak diurusi, tidak dinafkahi, sering juga memukul Nur ketika ia mabuk. Uang dan harta perlahan habis karena judi, hingga main perempuan. Hal itulah yang tak bisa Pak Mahdum maafkan.
"Mengapa kau datang saat cucuku sudah meninggal, Juki! Laki-laki macam apa kamu! Saya muak melihat wajahmu, pergi kamu dari sini!", hardik Pak Mahdum kepada Juki.
"Sudahlah pak, Aldi sudah tiada. Berikan kesempatan untuknya, barangkali ia akan berubah", ucap Nur menenangkan Pak Mahdum.
"Orang seperti dia tidak akan pernah berubah Nur!", sergah Pak Mahdum.
Nur merasa iba atas perlakuan bapaknya terhadap Juki. Walaupun Juki seringkali membuat Nur kecewa, tapi selama Nur bersamanya ada momen-momen yang sangat berharga. Sehingga ia tak dapat melupakan itu.
"Maafkan saya, Pak, saya memang orang yang kurang ajar, tapi berikan saya kesempatan untuk memperbaiki diri saya! Biarkan saya ikut mengurus pemakaman anak saya Pak", pinta Juki kepada Pak Mahdum.
"Saya bisa mengurusnya sendiri, sebaiknya kau urus saja hidupmu yang tidak jelas itu! Pergi kau sekarang!", tegas Pak Mahdum.
"Lebih baik kita urus bersama saja untuk pemakaman Aldi, Pak!", pinta Nur kepada Pak Mahdum.
"Selama bapak masih mampu mengurusnya sendiri, bapak tak sudi meminta bantuan dari bekas lakimu itu, Nur!", tegas Pak Mahdum kepada Nur.
"Baiklah, jika memang kehadiran saya tidak bapak inginkan, saya akan pergi sekarang!", ucap Juki kepada Pak Mahdum.
"Nur maafkan aku, selama ini aku selalu mengecewakanmu. Jaga dirimu baik-baik Nur. Semoga Aldi tenang di surga Allah. Mudah-mudahan langkah pulang saya menjadi awal dari kebaikan yang kau harapkan", ucap Juki kepada Nur.
Kemudian, Juki pulang dengan perasaan hancur, ia hanya bisa menangis atas penyesalan. Sudah tidak ada lagi yang percaya dengannya.
Di tengah perjalanan menuju rumah, Juki melihat seekor burung hantu yang tergeletak di bawah pohon. Lalu, ia melihat ada bekas tembakan seorang pemburu di bagian tubuhnya, ia menolong burung hantu tersebut dengan alat seadanya.
Peluru yang bersarang di tubuhnya berhasil ia keluarkan. Kemudian, ia mengobati burung itu dengan daun-daunan yang ada di sekitar agar dapat menyumbat darah keluar.
Setelah burung itu disimpan kembali, ia berdoa agar burung hantu itu dapat tertolong dan hidup bebas lagi, agar tidak sengsara seperti dirinya.
Lantas Juki melanjutkan perjalanannya, tak lama ia berjalan terdengar suara azan subuh berkumandang. Lalu, ia mendatangi Musala. Ia mengambil wudu dan salat berjamaah dengan jamaah lainnya. Setelah ia salat dengan khusyuk, seraya ia berdoa untuk kebaikannya nanti.
"Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba, hamba bertobat atas segala kesalahan dan kekhilafan kepada istri, anak dan orang-orang di sekitar hamba", doa Juki.
Setelah berdoa dengan khusyuk, tiba-tiba ia tersungkur dari duduknya. Beberapa jamaah mendekati tubuh Juki yang sudah terkulai tak berdaya, ia tak sadarkan diri. Salah seorang memeriksa denyut nadinya.
"Innalillahi wainnailaihi rojiun, semoga bapak ini diampuni dosa dan kesalahannya", ucap salah seorang jamaah.
"Innalillahi wainnailaihi rojiun", seluruh jamaah subuh di masjid itu bersahut-sahutan.
"Sungguh beruntung seseorang yang meninggal dalam kondisi husnul khotimah seperti ini, akan ditempatkan di Surga Allah", ucap seorang ustadz.
Juki meninggal dunia setelah ia berdoa dan memohon tobat atas kesalahannya. Penyakit jantung yang ia derita menutup usianya.
Semua orang menganggap bahwa kematiannya husnul khotimah. Sedangkan, Nur dan Pak Mahmud sontak kaget setelah mendengar kabar itu, pasalnya sudah lama ia tak melihat Juki melaksanakan salat. Dan baru saja mereka bertemu dengannya.
Mungkin sudah takdir Yang Maha Esa. Akhirnya, jenazah Juki dan Aldi dimakamkan bersandingan. Saat jenazah Juki dimakamkan, terlihat burung hantu yang Juki tolong berada di antara ranting pohon, ia ikut mengirim doa atas kepergiannya.
Bionarasi:
Penulis cerpen ini adalah salah satu guru SMA Negeri di Kabupaten Serang. Ia bernama Agung Dwi Cahya. Siswa akrab memanggilnya dengan sebutan Pak Agung. Pria ini bertubuh gemuk dengan kacamata yang melekat di bagian wajahnya.
Sebetulnya, cerpen ini bukan pertama kalinya ia buat, namun cerpen "Terabaikan" ini yang baru sempat ia publikasikan.
Selain cerpen, ia juga memiliki beberapa puisi yang sudah dibukukan dalam antologi puisi "Gugur Abadi" dan "Lukita Asmaraloka".
Baginya menulis adalah bentuk ekspresi diri menuangkan imajinasi. Dalam peribahasa; tak ada gading yang tak retak, tentu hal itu menjadi renungan tersendiri bahwa karyanya belum sempurna dan perlu dikembangkan lebih baik lagi.