Kala itu hujan di bulan Desember, suasana tenang dengan rintik air yang berjatuhan dari langit. Angin yang berhembus pelan membuat siapapun terhipnotis untuk terus menatap rintik air hujan dengan pemikiran beragam selama berjam-jam. Sheya duduk dalam diam ditemani secangkir coklat panas di teras belakang rumahnya, suara petir menggelegar membuat dirinya bangkit tersadar dan beranjak menuju kamar miliknya. Sheya Rainavia, namanya sudah menjelaskan bahwa dirinya menyukai hujan. Sheya menyibak tirai yang menutupi jendelanya, ternyata hujan semakin turun dengan derasnya, tatapannya tidak pernah lepas dari tiap tetes air hujan yang turun. Namun, dering telepon menghentikannya, seseorang dengan nama Han menelepon dirinya untuk kali pertama.
“Iya, halo?” kata pertama yang keluar dari mulut Sheya, ia menahan detak jantungnya yang rasanya seperti diajak lari maraton. Suara mengalun lembut melewati telinga Sheya, ia beralih dari posisinya dan duduk di kursi sudut ruangan.
“Boleh, besok kabarin lagi aja jadi jam berapa.” Sheya lalu menutup telepon itu, dan langsung merasakan detak jantungnya yang tidak normal. Ia merasakan rasa itu untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.
Tahun akhir sekolah membuat siapapun merasa gugup, karena seleksi perguruan tinggi seperti sudah siap di depan mata. Termasuk Sheya dan Han, mereka menuju ruang konseling untuk berkonsultasi mengenai program studi yang akan dipilih Han untuk menuju ke jenjang perguruan tinggi, sedangkan Sheya hanya menemani karena ia sudah berkonsultasi minggu kemarin. Di sepanjang lorong, Sheya mampu merasakan jika Han dilanda kebingungan, Sheya berpamitan untuk menyusulnya. Ia menuju kantin untuk membeli mineral dan minuman penyegar untuk Han. Sesampainya di depan ruang konseling Sheya masih melihat Han berdiri, ragu untuk masuk. Sheya menyerahkan minuman penyegar untuk Han.
“Terima Kasih, Shey.” Anggukan dari Sheya membalas Han.
“Ayo masuk.” Ajakan dari Sheya disetujui oleh Han. Mereka masuk bersama dan sudah ditunggu oleh seorang konseling. Sheya ikut mendengarkan saran dari konseling untuk Han, sembari ia menyimak, ia membaca materi seleksi nasional untuk perguruan tinggi, ia harus bisa menyaingi Han agar bisa lolos seleksi nasional itu.
“Kamu konseling saja harus ditemani sama Sheya, tapi tidak apa, saya suka dengan kalian.” Ucapan dari konseling itu membuat Han dan Sheya merasa sedikit malu dan langsung berpamitan keluar.
Sheya langsung menuju kelasnya tanpa mengobrol kembali dengan Han, ia merasa Han perlu waktu untuk memikirkan apa yang dikatakan oleh konseling perguruan tinggi di sekolah mereka. Sheya sebenarnya orang yang santai, ia hanya akan berusaha semampunya tanpa berharap lebih pada suatu hal.
Suasana kelas sangat ramai di mana semua mengerubungi meja yang berisi brosur perguruan tinggi, Sheya ikut dalam hiruk-pikuk meja tersebut dan menemukan brosur tentang salah satu program studi yang ia minati. Sheya lalu duduk di bangkunya dan membaca novel untuk meringankan kerja otaknya yang sudah lelah.
Hujan lagi-lagi turun, membuat Sheya yang sudah berada di dalam rumah sedikit kecewa karena ia tidak bisa bermain hujan-hujanan, rumah Sheya memiliki tipe rumah yang semi outdoor membuat suasana hujan lebih terasa meski di dalam rumah. Kedua orang tuanya sedang pergi keluar, dan tersisa dirinya sendiri. Sheya mengambil surat di atas meja dengan logo salah satu universitas di luar kota, yang cukup jauh, ia membukanya dan menghela nafas, dirinya akan segera pindah, ke luar kota.
Kabar buruknya adalah besok ia terakhir berangkat ke sekolah sebelum pindah, ia tidak habis pikir karena sangat amat tanggung untuk mengurusi kepindahan sekolah di tahun ajaran akhir, namun sang ayah selalu bisa membuat hal itu terjadi, kepala komite dan sekolah di luar kota itu adalah teman dari ayahnya, Sheya hanya bisa menyetujuinya, karena bagaimanapun ia harus ikut dengan kedua orang tuanya.
Tangannya meraih pulpen dan selembar kertas, ia mulai mencoretkan tinta itu ke kertas yang berada di depannya. Tulisan demi tulisan ia rangkai menjadi sebuah kalimat yang padu, untuk seseorang yang akan ia tinggalkan, di sini, dan entah sampai kapan mereka berdua akan berpisah.
Han POV
Pagi ini aku tidak berangkat sekolah, tubuhku drop karena terlalu kelelahan akibat pikiran dan suara konseling yang menggangguku, aku hanya bisa tidur kali ini, karena aku tidak sanggup untuk berjalan, bahkan duduk. Aku berpikir apa kabar dengan Sheya, dia sangat santai namun apa yang ia inginkan pasti tercapai, terkadang aku merasa sedikit iri dengannya, namun bukan itu poinnya, aku rindu dia walaupun hanya sehari saja tidak bertemu.
Handphone-ku berbunyi, temanku menelepon dan memberitahu jika Sheya menitipkan surat untukku. Aku memiliki perasaan yang kurang nyaman dengan ini. Aku mengira surat itu kurang baik untukku jika dibaca hari ini. Aku lalu menyuruh temanku untuk menyimpan itu di lokerku. Karena aku tidak tahu apakah besok aku bisa pergi ke sekolah, aku merasa ragu untuk menghubungi Sheya melalui telepon, aku takut jika mengganggu waktunya.
3 Hari berlalu, aku kembali untuk berangkat ke sekolah, namun aku berencana untuk mengambil surat itu saat sepulang sekolah nanti. Aku harus fokus untuk pelajaran hari ini. Waktu yang biasanya terasa cepat kali ini sangat lambat aku juga tidak tahu mengapa. Bel berbunyi dan aku langsung berlari menuju loker untuk mengambil surat dari Sheya. Namun, bahuku ditepuk oleh seseorang, dia adalah teman Sheya.
“Ini, dari Sheya buat kamu.” ucapnya dan langsung pergi, aku menatap kotak itu dan berisi sebuah notes berwarna coklat, dan ada surat juga yang saat kubuka bertuliskan ‘Bukanya nanti di rumah ya!’
Aku langsung terburu-buru untuk pulang ke rumah dan membaca apa yang ditulis Sheya. Aku juga melakukan hal bodoh mengapa tidak bertanya dengan teman Sheya yang tadi. Kertas mulai terbuka dan tulisan yang rapi mulai muncul, aku menduga ini tulisan Sheya tapi ada hal yang berbeda di sini. Aku sobek secara perlahan kertas amplop berwarna putih gading itu, aku tahu Sheya pasti tidak suka jika amplop yang dilihatnya tidak rapi, ia pasti sangat berhati-hati saat membuka amplop, seperti saat pengumuman tentang olimpiade yang aku ikuti satu tahun lalu, di mana dia sangat bersemangat untuk membuka secarik kertas yang berisi pengumuman peserta yang lolos menuju babak nasional, aku jadi sedikit merasa gemas saat melihat binar matanya yang sangat senang, namaku tercantum di sana, sontak ia melompat dan tersenyum lebar di depanku, senyuman manisnya membuatku terhipnotis. Sheya adalah orang yang manis, oh tidak, dia sangatlah manis untukku, aku bisa merasakan atmosfer hangat jika berada di sampingnya, tulisan mulai terlihat, tulisan yang sederhana namun…
Hai, Han!
Apa kabar? Masih bingung dengan keputusannya?
Aku yakin keputusanmu adalah hal yang tepat, aku tahu kamu pasti bisa.
Kamu pasti tahu di mana batas kemampuanmu, dan keputusanmu pasti tepat namun takdir dari tuhan juga tidak bisa dihindari. Aku selalu berharap kepada tuhan agar kamu selalu bahagia, agar kamu selalu dalam keadaan baik, meski aku sudah nggak bisa untuk menemanimu lagi, tepat di sampingmu. Tapi, kita, dan aku yakin jika kita pasti akan bertemu lagi. Mungkin kata 'kita' tidak pernah ada, tapi aku merasa kita itu bisa digunakan dalam jenis apapun, iya, kan?
Rasanya, cepat sekali ya, aku sedikit menyesal hanya bisa menemani kamu di masa akhir sekolah ini. Andai kita kenal sejak awal masuk, mungkin kita memiliki banyak waktu, ya. Tapi, lagi-lagi tidak apa-apa, karena bagaimanapun jalannya, aku berterima kasih karena kamu mau mengenal diriku selama ini. Terima kasih sudah mau dekat denganku meski aku tidak terlalu baik untukmu yang sangat baik kepada banyak orang. Terima kasih sudah mau berteman denganku yang tidak sepintar dirimu. Terima kasih sudah mau berteman denganku yang cara berpikirnya tidak secepat dirimu. Aku sangat beruntung telah mengenalmu, walau kita tidak bisa menjadi 'kita' yang lain.
Maaf dariku yang mungkin mengganggu kamu di beberapa situasi atau kondisi, ya. Aku minta maaf jika ada hal yang mengganggumu, dan maaf jika aku ada salah yang mungkin tidak aku sadari. Emmm terima kasih ya, sudah mau berteman denganku.
Aku harap, kita bertemu di situasi, kondisi, tempat, waktu, dan suasana yang tepat ya!
Sampai bertemu di lain waktu, aku akan pergi dahulu. Semoga apa yang kamu inginkan tercapai ya, aku selalu berharap hal itu… Semangat Calon Gamada!
Aku menutup kembali kertas itu, dan mengembalikannya ke dalam amplop, kemudian aku langsung menelepon seseorang yang seharusnya tahu di mana keberadaan Sheya. Dering ketiga dari telepon tersebut langsung kumatikan dan kucoba sekali lagi untuk menelepon kembali, akhirnya suara seseorang muncul. Suara yang agak menyebalkan bagiku, namun itu mungkin cara mengetahui keberadaan Sheya.
“Kenapa, Bro?” langsung saja aku tanyakan keberadaan Sheya.
“Sheya…? Emm sorry sebelumnya tapi dia nggak ngasih tahu mau ke mana, tapi yang pasti orang tuanya ada tugas dan dia harus ikut, maaf ya.” Helaan nafasku keluar bersamaan dengan rasa lemas yang tiba-tiba hadir.
“Iya, enggak masalah, makasih ya, Brian.” Aku terduduk dan bingung, sepupu dari Sheya saja tidak mengetahui keberadaannya. Pandanganku terarah pada kotak yang berada di bawah surat dari Sheya. Kotak itu berisi lampu berbentuk bulan, dan terdapat tulisan kecil yang mengganggu penglihatanku.
Biodata Penulis:“Aku enggak ke manapun kok. Tunggu sampai kita ketemu lagi, ya.”
Sampai jumpa.
Sheehan. Zodiak Aries. Menulis adalah caranya mengingat setiap kenangan bersama seseorang agar tidak pernah mati, ia akan terus menulis, agar seseorang tetap hidup di tulisannya.