Sejarah Cinta Berdua

Cerpen ini mengisahkan perjalanan batin seseorang yang terjebak dalam kerinduan dan kesunyian saat malam tiba. Di tengah keheningan, ia mengenang ...

Ketika rembulan datang, menyapa dalam kesunyian. Rasa bergejolak resah gelisah menebar suasana di keheningan. Diselimuti oleh angin malam, penghantar kerinduanku kepadanya.

Kucoba melawan gundah gulana, meronta di tepian sendu terbayang akan wajah ayumu yang menawan. Oh, Adindaku yang menepi di angkasa tiada daya aku menyapa, karena kau begitu jauh dariku. Sehingga aku tidak dapat menyapanya, saat kau di sana. Hati ini, terasa hampa tanpamu. Laksana malam tanpa rembulan dan bintang sesunyi itu kupandang.

Berawal dari sebuah event di salah satu nubar se-Jawa Tengah terlintas di story-ku salah satu penanggung jawabnya bernama Kak Listiyaningsih atau Kak Lis, lalu kucoba membaca di banner tersebut terus aku chat dia.

Sejarah Cinta Berdua

"Assalamu'alaikum, Kak. Kak, aku mau daftar dong," pesan akhirnya sudah centang dua berwarna abu. Tak lama kemudian akhirnya berubah menjadi biru.

"Wa'alaikumussalam, boleh, Kak."

"Ini, khusus se-Jawa Tengah ya, Kak?"

"Iya, Kak." Dengan agak senang, karena selama ini belum ada yang ngadain nubar khusus penulis se-Jawa Tengah. Biasanya kebanyakan orang Jawa Timur semua para penulis di Indonesia.

"Kak Toha, tolong dong, ajak teman-teman lainnya," pintanya.

"Oke, Kak." Balasku singkat, sambil menyudahi percakapan. Aku pun bergegas mencari teman-teman untuk diajak bergabung di grup Nulis bareng se-Jawa Tengah. Aku pun mencari temanku yang baru chat kemarin yaitu Kak Yulia.

"Assalamu'alaikum, Kak?" Send, kebetulan ia sedang online tertulis di atas di dinding WhatsApp-ku.

"Wa'alaikumussalam, iya Kak, ada apa?" tanya dia. 

"Kak Yulia, mau ikutan enggak acara nubar se-Jawa Tengah?" tanyaku, berharap dirinya mau. 

"Mohon maaf Kak aku nggak bisa, karena aku ini orang Jawa Timur," balasnya.

"Enggak papa kok, Kak. Entar saya tanyakan saja sama Kak Listiya," ujarku sambil meyakinkannya.

"Emang boleh ya, Kak, 'kan aku orang Jawa Timur?" tanya si dia.

"Insyaallah boleh, Kak."

"Enggak ah, aku nggak ikutan," balasnya lagi. Apa boleh buat jika seperti ini. 

"Ya, sudah kalau begitu, Kak." Akhirnya, aku pun cari teman yang lainnya lagi. Aku lihat-lihat di grup WhatsApp lagi. Menyusuri di daftar anggota satu persatu menggeser-gesernya dari atas sampai ke bawah, kebetulan ada nama Stabita terlihat di akun kontaknya. Karena aku enggak terlalu asing sama orang ini, kuingat dia pernah ikutan juga di salah satu event antologi puisi yang sama denganku. Aku klik nomernya lalu mencoba menghubunginya.

"Assalamu'alaikum, Kak?" ujarku, sambil menunggu balasan darinya. Akhirnya ia mengetik juga terlihat di dinding WhatsApp-ku.

"Wa'alaikumussalam, Kak," balasnya.

"Kakak, mau ikutan enggak acara nulis bareng se-Jawa Tengah?" tanyaku.

"Wah, boleh tuh, Kak," jawabnya.

"Alhamdulillah, ayo, ikutan bergabung aja Kak, hubungi Kak Listiya. Ini, nomornya Kak Lis (08....)," ujarku sambil memberikan nomer Kak Lis salah satu admin atau PJ-nya di Nulis bareng se-Jawa Tengah di bawah naungan penerbit Bookies Indonesia.

"Kalau buat cerpen boleh enggak, Kak? tanya dia.

"Boleh Kak, tapi harus 2000-an kata ya, Kak. Kalau untuk puisi itu lima puisi, Kak," jawabku.

"Oke, Kak," sahutnya. Aku pun segara hubungi balik ke Kak Lis untuk mengabarkannya.

"Kak Lis, ini ada yang mau ikutan?" ucapku. 

"Namanya siapa, Kak?"

"Kak Stabita, Kak," jawabku. Karena yang aku lihat di kontak WhatsApp-nya dia tertulis Stabita. Padahal sebelumnya aku belum kenalan sama dia, makanya aku sebut dia saja Kak Stabita sama Kak Lis.

"Oh, Stabita, ya," sahutnya.

"Iya, Kak. Ini, nomornya WhatsApp-nya Kak Stabita, Kak," jawabku. Sambil mengirimkan kontak nomornya.

"Kak Lis, tadi ada yang mau ikutan juga namanya Kak Yulia, tapi dia orang Jawa Timur, apakah boleh ikutan juga, Kak?" tanyaku. Orang pertama yang aku ajak untuk bergabung di Nubar/nulis bareng se-Jawa Tengah.

"Enggak boleh Kak. Ini 'kan khusus bagi para penulis se-Jawa Tengah, Kak," jawabnya.

"Oh gitu ya, Kak. Oke Kak," sahutku.

"Kak, ajak teman lainnya lagi, ya. Kita sama-sama mengajak untuk para penulis-penulis se-Jawa Tengah agar ikutan juga menulis di nubar ini supaya para penulis Jawa Tengah bisa berkembang," ujarnya.

"Oke, Kak," sahutku. Lalu aku mengajak yang lainnya untuk bisa ikut bergabung lagi, 

Aku pun pilih kontak lagi yang ada di grup WhatsApp. Aku pun teringat dengan salah satu kontak yang nggak asing bagiku, lalu ku chat dia.

"Assalamu'alaikum, Kak?" sambil menunggu balasan.

"Wa'alaikumussalam, Kak, ada apa, ya?" tanya si dia.

"Ini Kak, Kakak mau ikutan enggak nubar se-Jawa Tengah?" 

"Mau Kak, tapi aku lagi sedang sakit, Kak. Terus event lainnya juga belum kelar. Kalo aku udah sembuh pasti aku ikutan kok, Kak," jawabnya. 

"Oh gitu ya, Kak. Oke, Kak," sahutku. Aku kok, enggak asing sama orang ini sebenarnya, karena aku sangat teringat dan mengenalinya orang itu juga orang Jawa Tengah. Karena dia orang Jawa Tengah, jadinya aku menghubunginya, walau awalnya tulisannya tidak terlihat namanya. Akan tetapi, aku bisa mengenalinya, namanya Septi, dia juga pernah ikutan di salah satu nubar eventnya denganku. Ya ... walau pas itu aku keluar sih dari grup, tapi alhamdulillah aku bisa sempat mengirim naskah ke PJ sebelum aku memutuskan untuk keluar dari grup, karena aku merasa enggak enak di grup itu, akhirnya aku pun keluar dari grup tersebut.

"Kak Lis, ada yang mau ikutan lagi," ucapku. Sambil menghubungi Kak Lis waktu itu sedang online WhatsApp-nya.

"Namanya siapa, Kak? tanya Kak Lis.

"Namanya Kak Septi, Kak. Ini, nomornya [08...] Kak," jawabku. Sambil memberikan kontak nomernya. Walaupun Kak Septi sedang sakit aku diikutsertakan saja ke Kak Lis, supaya penulis-penulis se-Jawa Tengah ikut bergabung semua.

***

Keesokan harinya, aku kembali berunding di grup Nubar Se-Jawa Tengah.

Waktu itu anggotanya cuma tujuh orang, aku pun mencoba mengechat salah satu anggota yang ada di grup Nubar Se-Jawa Tengah, orang kedua yang aku ajak bergabung di grup ini.

"Assalamu'alaikum, Kak?" ucapku.

"Wa'alaikumussalam, Kak," jawabnya.

"Kakak namanya siapa, ya?" tanyaku. Sebenarnya sih, sudah ada namanya terpampang di kontak WhatsApp.

"Namaku Stabita, Kak," jawabnya. 

"Oh, Kak Stabita, ya," sahutnya.

"Kalo, kakak?" tanya si dia.

"Aku, Toha Kak," jawabku.

"Oh, Kak Toha," sahutnya. 

"Kakak tahu dari mana kalo aku ini orang Jawa Tengah," tanya Kak Stabita.

"Aku hanya mengira-ngira aja kok, Kak. Emang kenapa, Kak?" jawabku. Sambil bertanya yang agak kebingungan. Hihihi.

"Oh, enggak kenapa-napa kok, Kak. Cuman tanya aja gitu," ujarnya.

Bersambung ...

Muhammad Thohir

Biodata Penulis:

Muhammad Thohir/Tahir (Mas Tair) yang juga dikenal dengan nama pena Kang Thohir, adalah penulis kelahiran Brebes, Jawa Tengah. Dari dusun/desa Kupu, kecamatan Wanasari. Dari anak seorang petani dan tinggal dari kehidupan sehari-hari bertani, berkebun, menanam bawang merah, padi, kacang, pare, cabai dan sayur-sayuran di ladang sawahnya.

Kini, ia sedang menggeluti dunia tulis-menulis atau literasi, khususnya sastra Indonesia. Suka menulis sejak duduk di bangku kelas empat SD dan sampai masuk ke Pondok Pesantren. Kang Thohir masih tetap aktif menulis dan semakin semangat 'tuk menulis baik puisi maupun cerpen dan lain sebagainya. Selain menulis, ia juga suka membaca buku agar bisa bermanfaat untuk menambah wawasan (pengetahuan).

© Sepenuhnya. All rights reserved.