Matahari Bali mulai beranjak turun ketika aku tiba di Terminal Mengwi. Langit senja mewarnai dinding-dinding terminal yang dipenuhi turis dengan ransel besar dan penduduk lokal yang pulang bekerja. Aroma campuran antara kopi dari kedai kecil di sudut terminal dan wangi dupa samar dari pura kecil di seberang jalan menciptakan atmosfer khas Pulau Dewata.
Aku menyeka keringat di dahi, mencari tempat duduk untuk menunggu bus malam ke Surabaya. Dari pintu masuk, aku bisa melihat tulisan "BALI" besar yang menjadi spot foto favorit turis. Beberapa anak berlarian di sekitarnya, orang tua mereka sibuk mengabadikan momen dengan kamera ponsel.
Itulah saat aku melihatnya.
Seorang bapak berkemeja safari kusam, dengan tubuh sedikit membungkuk, berjalan tergesa-gesa di antara kerumunan. Matanya liar menyapu sekeliling, seolah mencari sesuatu yang hilang. Tangannya gemetar hebat ketika ia akhirnya berjalan ke arahku.
"Maaf, Nak..." napasnya tersengal berat. Keringat mengalir di pelipisnya yang mulai ditumbuhi uban. "Anda melihat perempuan ini? Ia istri saya..."
Tangannya yang gemetar menyodorkan selembar foto lama. Seorang perempuan paruh baya tersenyum lembut, berambut putih dengan sanggul kecil, dan mengenakan kebaya cokelat dengan motif bunga kecil.
Aku menggeleng pelan. "Maaf, Pak, saya tidak melihatnya."
Matanya meredup, seperti lampu yang kehabisan daya. "Tadi... tadi kami datang bersama. Sekarang aku tidak bisa menemukannya."
Sesaat, aku teringat ayahku. Bagaimana ia selalu mengajariku untuk mengulurkan tangan pada orang lain. "Menjadi orang baik tak akan membuatmu miskin, Nak," katanya dulu. Ayah yang sama, yang kini tak lagi mau bicara padaku sejak aku memutuskan untuk pacaran beda agama.
"Bapak sudah mencoba ke bagian informasi?" tanyaku lembut.
Ia mengangguk lemah. "Sudah, Nak. Petugas menyuruhku menunggu di ruang tunggu. Tapi... tapi istriku pasti kebingungan. Ia tidak tahu terminal ini. Bagaimana kalau ia ketakutan sendirian?"
Suaranya pecah di akhir kalimat. Matanya berkaca-kaca, tangannya masih menggenggam erat foto itu seolah takut kehilangan satu-satunya penghubung dengan istrinya.
"Mari, Pak. Saya antar ke ruang tunggu. Mungkin istri Bapak sudah di sana."
Aku menuntun langkahnya yang gontai. Ia melangkah pelan di sampingku, tangannya terbuka mencari pegangan. Tanpa ragu, aku menyambut tangannya. Kulitnya kasar dan dingin, berbeda dengan kehangatan tatapannya yang penuh rasa terima kasih.
Kami melewati koridor terminal yang penuh dengan toko-toko oleh-oleh. Pandangan orang-orang yang memperhatikan kami terasa menusuk. Dua ibu-ibu berbisik sambil melirik kami. Seorang petugas keamanan menatap kami dengan tatapan waspada.
"Bapak sudah lama di Bali?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana.
"Kami datang setahun sekali," jawabnya dengan senyum tipis. "Istri saya suka sekali Bali. Katanya, suasananya bisa menyembuhkan luka hati."
Ruang tunggu terminal tampak lebih sepi dibanding area lain. Kami duduk di kursi panjang di pojok ruangan. Aku menyodorkan botol air mineral yang kubawa.
"Silakan diminum dulu, Pak."
Ia menatapku lekat sebelum menerima botol air itu. Ada sesuatu dalam tatapannya—sebuah pencarian, seolah-olah ia sedang mencoba mengenali wajahku.
Ponselku berdering. Sekilas, aku lihat nama pacarku di layar.
"Permisi sebentar, Pak," bisikku sambil beranjak menjauh.
"Sudah sampai Terminal Mengwi, Sayang?" tanya pacarku dari balik telepon.
"Sudah. Tapi... ada situasi di sini," jawabku sambil melirik bapak itu. "Ada bapak-bapak yang tersesat. Aku sedang membantunya mencari istrinya."
"Kamu selalu begitu," suaranya terdengar bangga. "Selalu punya waktu untuk orang lain."
"Aku mungkin naik bus malam nanti, sampai Surabaya besok pagi," jelasku. "Aku ingin memastikan bapak ini bertemu dengan istrinya dulu."
"Baiklah. Kalau begitu, aku nggak perlu siapkan makanan malam ini, ya? Jangan lupa makan di perjalanan."
Aku tersenyum. Lima tahun bersama, dan ia masih saja mencemaskan apakah aku sudah makan atau belum.
"Terima kasih sudah mengerti," bisikku.
"Aku sayang kamu," ujarnya, diikuti suara kecupan dari balik telepon.
"Aku juga sayang kamu," jawabku, membalas kecupannya.
Ketika aku kembali, bapak itu menatapku dengan mata berbinar.
"Dari istriku?" tanyanya penuh harap.
Aku menggeleng pelan. "Maaf, Pak. Dari pacar saya."
Ia terdiam sejenak, kemudian tersenyum sumringah. "Kamu Bayu, ya?" tanyanya menyentak.
Jantungku tercekat. "Bukan, Pak. Saya bukan Bayu."
"Kamu mirip sekali dengan Bayu," katanya, matanya kini menerawang jauh. "Bayu suka sekali terminal ini. Katanya, di sini ia bisa melihat orang-orang datang dan pergi. Ia bilang, terminal itu seperti hidup—selalu ada pertemuan dan perpisahan."
Aku duduk di sampingnya, membiarkannya bercerita.
"Bayu anak Bapak?" tanyaku hati-hati.
Ia mengangguk, matanya kini berkaca-kaca. "Bayu sekarang bahagia bareng mamanya." Suaranya memelan hampir tak terdengar. "Bayu suka bermain air. Padahal ia tidak bisa berenang."
Ada sesuatu dalam cara ia mengucapkan kalimat terakhir yang membuatku merinding. Seakan ada luka yang sangat dalam yang belum sembuh.
"Kamu sudah menikah?" tanyanya tiba-tiba.
Aku menggeleng. "Belum, Pak."
"Kenapa? Pacarmu tadi terdengar sangat menyayangimu."
Aku menarik napas panjang. "Kami beda agama, Pak. Untuk menikah, salah satu dari kami harus berpindah keyakinan."
"Dan kamu tidak mau?"
"Bukan tidak mau, Pak. Tapi... rumit. Jika aku berpindah, aku harus mencabut namaku dari Kartu Keluarga. Artinya, secara hukum, aku bukan lagi anak orang tuaku."
"Ayahmu bagaimana?" tanyanya lagi.
"Ayah dan ibu tidak pernah setuju dengan hubungan kami," jawabku dengan senyum yang kupaksakan. "Bagi mereka, cinta tidak bisa menggantikan agama."
Ia menatapku dengan mata yang tiba-tiba tampak sangat jernih. "Tapi kamu tetap mencintainya?"
"Ya," jawabku mantap. "Kadang, cinta memang tidak butuh persetujuan."
"Bayu pasti akan seperti kamu kalau sudah besar," katanya sambil tersenyum tipis. "Anak itu pernah tanya soal Tuhan itu wujudnya apa."
Ia menatap langit-langit terminal yang tinggi. "Aku bilang, Tuhan itu seperti udara. Tidak bisa dilihat, tapi selalu ada. Lalu Bayu bilang, kalau Tuhan seperti udara, berarti Tuhan tidak hanya satu. Karena udara ada di mana-mana, dengan bentuk yang berbeda-beda."
Aku tertegun. Filosofi sederhana yang begitu dalam.
"Pak," kataku setelah terdiam beberapa saat. "Kenapa Bapak dan istri Bapak datang ke Terminal Mengwi hari ini?"
Ia menghela napas panjang. "Terminal ini tempat favorit Bayu. Setiap kami ke Bali, kami selalu mampir ke sini. Bayu suka duduk dan berfoto di depan tulisan 'BALI' itu saat sore hari."
Ia menunjuk ke arah tulisan besar di dekat pintu masuk yang tadi kulihat. "Kami melakukan rutinitas itu sambil menunggu istriku kembali dari tempat kerjanya di Gilimanuk."
Perutku tiba-tiba terasa perih. Aku belum makan sejak pagi.
"Pak, saya cari makanan sebentar, ya?" pamitku.
"Bapak tunggu di sini, Bayu," jawabnya.
Aku tersentak, tapi hanya tersenyum sebelum melangkah pergi. Di perjalanan menuju toko makanan, pikiranku berkecamuk. Ada sesuatu yang tidak beres.
Aku memasuki toko oleh-oleh terdekat. "Ibu, saya beli keripik kentang ini dua," ujarku, menunjuk bungkus keripik di rak.
"Lima belas ribu," jawab ibu penjaga toko singkat, tanpa senyum.
Saat menyerahkan barang, ia mencuri pandang ke arah bapak yang duduk sendirian di ruang tunggu.
"Nggak kenal bapak itu?" tanyanya dengan nada ketus.
"Maaf, saya cuma turis. Tadi kebetulan bertemu saja," jawabku sambil mengambil uang dari dompet.
Ibu itu mendengus kecil. "Bapak itu sudah nggak waras. Sering mengemis iba dari orang-orang yang lewat."
Aku tertegun. "Maaf, Bu. Nggak waras karena..."
Ucapanku terputus oleh suara teriakan dari belakang.
"Mana istriku!? Aku tadi datang bersamanya!"
Aku menoleh dan melihat bapak itu berdiri, berteriak dengan wajah panik. Dua petugas keamanan terminal menghampirinya, berusaha menenangkannya.
"Bapak harus ikut kami," kata salah satu petugas.
"Tidak! Aku tidak mau pergi sebelum menemukan istriku!" bapak itu memberontak.
Aku segera berlari ke arahnya. "Bapak, tenang dulu. Ayo duduk," ujarku, mengelus punggungnya yang bergetar.
"Mereka semua sudah gila!" teriaknya sambil menunjuk ke arah orang-orang di terminal. "Aku datang ke sini dengan istriku! Lihat! Ini tiketku dengannya!"
Ia mengeluarkan secarik kertas dari saku kemejanya. Aku melihat tiket itu dengan seksama. Tanggalnya 5 Juli 2024, tujuan Terminal Mengwi. Tapi yang membuatku tercekat adalah tahunnya—tiket itu sudah digunakan setahun lalu.
Salah seorang petugas tampaknya memahami kebingunganku. Ia menepuk pundakku lembut, lalu memberi isyarat agar aku mengikutinya. Meski ragu, aku menurut.
"Bapak itu kehilangan istrinya dalam kecelakaan bus setahun lalu," ujar petugas itu dengan suara pelan. "Mereka sedang dalam perjalanan ke Bali untuk liburan."
"Dia bilang mereka selalu datang ke terminal ini karena anaknya suka tempat ini," kataku, masih tidak percaya.
Petugas itu mengangguk sedih. "Anaknya meninggal tenggelam di pantai dekat rumahnya di Banyuwangi lima tahun lalu. Anak itu baru berusia tujuh tahun."
Aku merasakan mataku mulai memanas. "Jadi... bapak itu..."
"Mengalami trauma berat," lanjut petugas itu. "Dia sering datang ke terminal ini, mencari istrinya yang sudah tiada. Kadang dia juga memanggil orang-orang dengan nama anaknya, Bayu."
Aku menoleh ke arah bapak itu. Beberapa orang dengan seragam putih-putih dari Pusat Rehabilitasi Mental kini berjalan mendekatinya. Mereka membawa tas berisi obat-obatan.
Di tengah keriuhan itu, bapak itu justru menatapku. Matanya sendu, penuh permohonan. Tangannya terangkat, seperti memanggilku.
"Dia selalu datang ke sini pada tanggal dan jam yang sama setiap tahun," kata petugas itu. "Kami sudah biasa melihatnya. Tapi kali ini, dia tampak lebih tenang. Mungkin karena kamu."
Tanpa berpikir panjang, aku berlari ke arahnya. Mengabaikan tatapan orang-orang, aku memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, napasnya memburu. Aku bisa merasakan betapa rapuh tubuh tuanya, seakan jika aku melepaskannya, ia akan hilang begitu saja.
"Bayu..." bisiknya di telingaku. "Kamu datang menjemput ayah..."
Air mataku mengalir deras. Dalam dekapannya, aku merasa seperti anak kecil lagi. Aku ingat bagaimana rasanya dipeluk oleh ayahku sendiri—ayah yang kini menolak kehadiranku karena pilihanku.
"Ayah, maafkan aku," bisikku tanpa sadar.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Nak," jawabnya lembut. "Cinta itu tidak butuh persetujuan, kan?"
Aku mengangguk dalam pelukannya, terisak. Mungkin baginya, aku adalah Bayu. Tapi bagiku, ia adalah seorang ayah yang kehilangan anak dan istrinya—yang masih memiliki kapasitas untuk mencintai dan mengampuni.
Aku merasakan seseorang menyuntikkan obat ke lengan bapak itu. Tubuhnya perlahan melemas dalam pelukanku. Sebelum kesadarannya menghilang, aku mendengarnya berbisik.
"Terima kasih sudah datang, Nak."
Malam itu, aku tidak jadi naik bus ke Surabaya. Aku menunggu hingga petugas dari Pusat Rehabilitasi membawanya pergi. Ketika ponselku berdering, aku menjawabnya dengan suara serak.
"Sayang, aku ingin pulang ke rumah orang tuaku besok," kataku.
"Tapi, bukannya ayahmu masih marah?"
"Aku tahu," jawabku pelan. "Tapi aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk memeluknya lagi."
Karena pada akhirnya, cinta memang tidak butuh persetujuan. Tapi pengampunan, seperti udara, selalu ada di mana-mana dengan bentuk yang berbeda-beda.
Di Terminal Mengwi, di bawah tulisan "BALI" yang besar, aku berdiri sendiri. Membayangkan seorang anak kecil bernama Bayu yang pernah berfoto di sana, bersama ayah dan ibunya, sebelum takdir memisahkan mereka.
Aku mengeluarkan ponsel, dan untuk pertama kalinya sejak dua tahun, aku mengetik pesan untuk ayahku:
"Ayah, aku pulang besok. Aku kangen."
Biodata Penulis: