Tiket Surga Milik Tanteku

Cerpen ini merupakan kisah nyata perjuangan seorang ibu, yang menjadi superhero tanpa jubah serta cinta yang luar biasa.

Oleh Kitabah Dania

Di dunia ini, superhero itu bukan hanya ia yang memakai topeng hitam dengan cape lebar di balik punggungnya, bukan pula ia yang memiliki inisial "S" di ikat pinggangnya atau juga bukan hanya ia yang bisa menembak sesuatu dengan jaring laba-laba yang keluar dari jari-jarinya. Kadang, superhero itu justru adalah mereka yang hanya memakai daster lusuh, dengan peluh di kening yang tak pernah kering. Mereka berjalan bolak-balik antara kamar dan dapur dengan tubuh yang lelah tapi sorot matanya selalu penuh cinta. Kondisi tubuhnya tidak mungkin jika selalu baik-baik saja, tapi kurasa kata rehat jarang mereka gunakan.

Aku mengenal salah satu superhero itu, dia tanteku. Setiap hari, tanpa memandang waktu yang terus berputar, ia berjuang untuk hidupnya dan anak-anaknya. Tanpa tepuk tangan, tanpa pujian, semuanya ia perjuangkan. Dari luar, hidupnya tampak biasa saja. Senyumnya tak pernah luntur kurasa, tanteku adalah sosok yang sangat ceria dan penuh guyon. Ia tak pernah menampakkan air matanya kecuali di atas sajadahnya, di kala waktu mustajab itu tiba. Tapi di balik senyumnya, ada cerita panjang yang tak akan semua orang mampu menanggungnya, tak semua orang ikhlas menjalaninya. Cerita itu bermula karena titipan dari Tuhan yang ia jaga, bukanlah titipan biasa.

Cerpen Tiket Surga Milik Tanteku

Titipan itu ia beri nama Bagas. Kulitnya putih persis seperti tanteku. Matanya bulat dan selalu terlihat berbinar. Sedari lahir tidak pernah ada yang menyadari jika ternyata Bagas berbeda, sebab ia benar-benar tumbuh layaknya bayi-bayi pada umumnya. Dalam lelapnya tiba-tiba tersenyum dan ketika bangun ia akan memperhatikan dengan seksama jika ada yang mengajaknya berbicara. Aku selalu senang ketika berkunjung ke rumah tanteku, mengajak Bagas mengobrol meski Bagas tak akan mengerti apa yang aku katakan. Aku menunggu waktu di mana Bagas akan menjawab semua sapaanku dengan kata-kata yang pastinya tidak akan langsung sempurna ejaannya. Tapi waktu terus berjalan, dan harapanku, harapan tanteku untuk mendengar Bagas berbicara, perlahan berubah menjadi tanya. 

Saat umur Bagas 4 bulan, tak ada satu pun perkembangan yang dapat tanteku rasakan. Tidak bisa berbaring ke kanan ataupun ke kiri. Saat itu dokter bilang tak perlu menyamakan perkembangan semua anak, ini hanyalah keterlambatan perkembangan yang sangat normal, tapi di usia 6 bulan, tatapannya sudah berbeda. Pupil matanya selalu bergerak seperti ada getaran kecil. Matanya tak lagi bisa fokus jika diajak berbicara. Gerakan tubuhnya mulai kaku dan senyum yang ia hadirkan seperti datang dari dunia yang tak bisa kami gapai. Meski itu semua belum pasti, tapi sudah cukup membuat tanteku menyimpan rasa was-was yang tak selalu bisa ia jelaskan kepada siapa pun.

Sampai akhirnya, ketika Bagas berusia lima belas bulan, ia harus menjalani CT scan karena hingga umurnya lebih dari satu tahun pun tetap tidak ada perkembangan gerakan yang bisa ia lakukan. Hasil pemeriksaan menyatakan jika sarafnya terlalu halus, tidak bercabang sebagaimana mestinya. Hasil diagnosa keluar, dan itulah yang menjadi bagian perjalanan panjang perjuangan tanteku dan juga Bagas: epilepsy dan global delay development. Sebuah diagnosa yang menyadarkan tanteku bahwa perkembangan Bagas bukan hanya akan terlambat, tapi bisa jadi akan berhenti. Tanteku tidak marah, tidak juga mempertanyakan atas takdir yang datang kepadanya. Ia hanya terus memeluk Bagas ketika perjalanan pulang ke rumah seolah-olah ia sudah tahu bahwa Allah bisa kapan saja mengambil Bagas kembali. Setelah itu, yang tersisa hanyalah ikhtiar-ikhtiar panjang yang bahkan tanteku sendiri tidak tahu sampai mana ujungnya.

Suami tanteku seorang pelaut dan sudah pasti menjalani pekerjaannya membuat ia sering jauh dari rumah. Maka perjuangan membesarkan Bagas tak hanya tanteku lewati dengan air mata dan doa tapi juga dengan kesendirian. Untungnya, ia tidak benar-benar sendiri. Ada nenek dan kakekku yang selalu ikut berjaga atau mungkin sesekali bergantian memandikan dan menyuapi Bagas makan.

Berbagai rumah sakit sudah pernah menjadi tempat pengobatan Bagas, berbagai terapi juga sudah ia jalani. Tiga bulan sekali Bagas melakukan evaluasi rehabilitasi medis. Perkembangan yang banyak diharapkan oleh tanteku tidak pernah benar-benar ada, tapi tanteku sadar bahwa dengan tidak adanya penurunan saja sudah sangat cukup baginya. Di tahun 2022, tak ada lagi kontrol rutin yang Bagas lakukan, karena tanteku mengandung anak ketiga.

Bagas tumbuh, tentu saja. Badannya bertambah tinggi, tapi pipinya semakin lama semakin menipis seiring waktu. Sampai pada bulan April tahun 2025, Bagas dan adiknya sama-sama jatuh sakit. Adiknya sembuh dalam waktu satu minggu, tapi Bagas justru memperlihatkan kondisi kesehatan tubuhnya yang semakin menurun. Tubuhnya pun mulai menunjukkan perubahan, tangannya membengkak dan muncul warna kebiruan di beberapa bagian. Bagas tak lagi dapat menerima makanan dengan baik. Nafasnya sering kali terasa berat. Hingga pergilah tanteku membawa Bagas untuk diperiksa dan keluar lagi diagnosa lainnya, bahwa Bagas diduga memiliki tanda-tanda clubbing finger. Rumah sakit saat itu tak memadai untuk menginapkan Bagas, sehingga dirujuklah Bagas ke rumah sakit yang lebih lengkap. 

Jam sepuluh malam Bagas masuk ke dalam IGD dan tak selang lama dokter mengatakan bahwa Bagas sudah harus dipasang ventilator dan kateter untuk mempermudah hidupnya. Sekitar jam satu pagi, tanggal 25 April tanteku dipanggil untuk pemberitahuan bahwa Bagas harus dipindah ke ruang PICU. Perawatan intensif dilakukan Bagas selama satu bulan lebih dan akhirnya Bagas diperbolehkan pulang dengan kondisi yang tak lagi sama. Lehernya diberikan tindakan trakeostomi atau pembedahan agar oksigen lebih mudah masuk ke dalam paru-parunya. Hidungnya juga sudah dipasang NGT agar Bagas bisa makan dengan mudah. 

Perawatan di rumah juga hampir sama beratnya dengan di rumah sakit. Karena atas kondisi tersebut, tanteku harus belajar banyak hal yang selama ini sama sekali tidak pernah ia ketahui. Mulai dari menyedot lendir, menjaga alat agar tetap steril, memastikan jalur makanan tidak terhambat dan sebagainya. Hingga akhirnya di tanggal 25 Juli tanteku melakukan kontrol kembali dan ternyata itu menjadi kontrol terakhir.

Tiga hari kemudian, tanggal 28 Juli, sekitar pukul empat pagi, Bagas pergi. Satu jam sebelum itu, tanteku menemani anaknya yang terakhir karena ia terbangun. Nenekku lah yang menyadari pertama kali bahwa Bagas ternyata sudah tidak lagi bernafas. Tidak ada firasat apa pun di malam sebelumnya. Tapi jauh sebelum itu, tanteku sering kali meminta kepada Allah agar ia tak melihat detik-detik Bagas dijemput karena sungguh ia tak akan mampu dan Allah dengan sangat baik hati mengabulkannya. Bagas pergi dengan tenang, tanpa kejang dan tanpa ibu yang menyaksikan detik terakhirnya, seperti doa tanteku selama ini.

Setelah Bagas pergi, keadaan rumah tanteku tentu menjadi berbeda. Bukan karena kosongnya tempat tidur Bagas, bukan pula karena tak ada lagi suara alat yang selama ini membatu Bagas untuk bertahan. Tapi karena ritme hidup yang selama ini dibangun Bagas sudah tak ada lagi.

Aku menyadari, tidak akan pernah ada ibu yang siap menerima diagnosa yang bermacam-macam, terlebih diagnosa itu harus singgah di tubuh putranya. Tidak pernah ada ibu yang siap menerima kenyataan bahwa putranya harus terapi bertahun-tahun, masuk ruang PICU dan segala proses medis lainnya yang bahkan orang dewasa pun belum tentu sanggup untuk menjalaninya. Tapi hidup tidak akan pernah bertanya apakah kita siap. Ia akan datang dan meminta kita untuk memahami maknanya secara perlahan.

Kehadiran Bagas tentu mengajarkan tanteku banyak hal dan karena itulah sebagian orang sering kali menyebutnya sebagai tiket surga. Bukan karena ia hadir dengan membawa keajaiban besar, tapi ia hadir dengan membawa ruang bagi siapa pun untuk bisa menjadi manusia yang lebih mengerti dan lebih ikhlas.

Bagas pergi tanpa isak dan tanpa gaduh sedikit pun. Dengan tenang ia pergi sehingga semua orang yang mencintainya akan menyadari bahwa perjuangan Bagas selama ini memang sudah seharusnya selesai. Dan aku memahami satu hal,

“Mungkin beberapa orang tidak diberi kemudahan hidup, tapi mereka diberi kemuliaan yang tidak semua orang dapatkan.”

Dan tanteku adalah salah satunya.

Ia tidak memakai cape yang bisa membawanya terbang, ia juga tidak mengantongi pedang sebagai alat juangnya, tidak juga menyelamatkan dunia dengan kekuatannya. Tapi ia telah merawat sebuah nyawa suci selama hampir sepuluh tahun. Sebuah titipan istimewa yang penuh luka, penuh air mata dan penuh perjuangan.

Jika memang ada jalan menuju surga, maka aku yakin barang kali jalannya berasal dari sana: dari keikhlasan seorang ibu yang menjaga titipan dari Tuhan hingga napas terakhirnya. 

-- Al-fatihah untuk adik sepupu saya, Alfarizqy Bagas Mantoro bin Eko Mantoro.

© Sepenuhnya. All rights reserved.