Aksara

Cerpen ini mengisahkan tentang hubungan Rania dan Aksara yang tumbuh dalam senyapnya Kota Bandung.

Oleh Olive Ramadhan

Bandung selalu punya cara untuk membungkam suara-suara yang tak sanggup untuk seseorang menjelaskan. Lewat udara dingin dan lembab yang turun dari dataran tinggi, lewat cahaya senja yang kerap merayap di antara gedung tua atau lewat suara hujan yang datang tanpa aba-aba dan pergi tanpa berpamitan. Kota dengan segala kelam dan lembutnya yang menjadi ruang untuk orang-orang belajar berdamai dengan dirinya.

Cerpen Aksara

Sore itu, Bandung terasa seperti halaman buku yang baru dibuka, ada lembut yang tak bisa dijelaskan dan ada sunyi yang tak sepenuhnya kosong. Di antara riuhnya jalan Braga, lampu-lampu toko dan cafe mulai menyala sebelum waktunya, seolah tahu bahwa manusia butuh sedikit cahaya lebih cepat hari ini.

Aku sedang duduk di bangku taman yang ada di jalan Braga, membiarkan hiruk-pikuk kota lewat begitu saja. Orang-orang berjalan dengan langkah dan cerita masing-masing. Begitu pun denganku, yang sibuk dengan pikiran tentang seseorang yang telah merubah caraku memandang diriku sendiri. Seseorang yang datang tanpa janji, tanpa rencana, namun meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus begitu saja.

Seperti kata Aksara kala itu, “Kuizinkan hatimu yang jernih mengalir menuju muaraku yang keruh, pula kuizinkan namamu abadi mengganti pahit yang dulu kurengkuh, Ra.”

Rasanya aneh memang, ketika aku dipersilahkan masuk ke dalam hidupnya. Namun begitulah Aksara, ia datang dengan cara yang tidak menuntut apa-apa tapi membuatku ingin memberi segalanya.

Di bangku taman Braga itu, aku memikirkan semua hal yang pernah kubaca dari diriku sendiri lewat dirinya. Betapa aku dulu selalu takut kehilangan orang yang terlalu tenang untuk dimiliki. Betapa aku selalu menyiapkan diri terhadap kemungkinan bahwa diamnya adalah tanda bahwa ia marah dan akan pergi.

Nyatanya, diamnya hanyalah diam.

Tidak lebih, tidak kurang.

Bukan rahasia, bukan penolakan dan bukan ancaman.

Ia hanya seorang laki-laki yang memilih menyaring dunia dengan sunyi yang ia buat sendiri.

Aku teringat akan perkataanku di salah satu perbincangan yang aku lontarkan kepada Aksara ketika di alun-alun Bandung kala itu, “Masalahnya tidak semua canda itu harus berakhir tawa Sa.”

Ia menghela napas kemudian berkata, “Lantas kenapa harus rasa yang menjadi tumbalnya?”

Waktu itu aku tidak menjawab, karena aku tahu kalimat itu lahir dari pengalaman yang ia simpan rapat-rapat. Akan tetapi dari situlah aku belajar, bahwa Aksara bukan orang yang mudah hilang. Ia hanya menjaga dirinya dengan cara yang paling ia pahami, dan kehadiranku membuatnya belajar membuka satu jendela kecil yang ada pada dirinya. Dan sekarang, Aksara sudah seperti jala, yang selalu mencoba menangkapku kedalam pusaranya.

Sore di Braga semakin pekat. Lampu toko dan cafe yang memantulkan cahayanya ke trotoar, menciptakan suasana yang menenangkan dan syahdu. Tetapi semakin ramai dengan kehadiran banyak manusia yang berlalu-lalang. Kota ini terasa seperti latar yang memahami karakter kami berdua, aku yang terlalu banyak cakap dan tanya, dan Aksara yang lebih memahami dunia lewat tulisan ataupun diamnya.

Tapi enggak juga deh, kadang dia juga banyak omong haha, apalagi kalau di motor.

Entah kenapa, suara mesin yang menderu dan ramainya jalanan justru membuatnya lebih berani dan banyak bercerita. Mungkin karena ia tahu kalau aku tak bisa menatapnya langsung, dan ia tak perlu mengalihkan pandangan ketika kalimat-kalimat yang selama ini ia simpan sendiri meluncur dengan mudahnya.

Aku tersenyum kecil mengingat itu. Mengingat bagaimana lincahnya Aksara ketika bercerita dalam riuh kota yang tak pernah sepi. Akan tetapi, terkadang dia juga susah ditebak orangnya, Aksara adalah manusia dengan beribu keunikan yang penuh dengan teka-teki, terkadang rumit dan susah ditebak, tetapi bukan berarti penuh dengan misteri untuk menyerah dan kalah. Aku tenggelam mencari jawabannya dan aku tak ingin selamat.

 ***

 “Ra” Panggil Aksara

Aku menoleh dan menjawab, “Hmmm?”

“Kamu mikirin apa, Ra?”

Aku menatap keramaian jalanan Asia Afrika, mengamati orang berjalan, “Mikirin kenapa kota ini tenang dan selalu berhasil membuat orang jujur sama dirinya sendiri, Sa.” Kataku berbohong pada Aksara, aku tidak benar-benar memikirkan itu, aku memikirkan kalau bagaimana tiba-tiba aku hilang dan pulang.

Aksara menunduk sedikit, mengusap sisa gerimis yang ada di rambutnya, “Mmm mungkin karena Bandung nggak pernah maksa siapapun untuk menjadi kuat, Ra.”

Aku menoleh ke arahnya, “itu Termasuk kamu, Sa?”

Aksara terkekeh pelan, “Iya Ra, termasuk aku”

Begitulah Aksara, sedikit bicara ketika tidak sedang di motor.

Aku menarik napas panjang. Ada hal yang sebenarnya ingin kutanyakan sejak beberapa hari lalu, tapi selalu kuurungkan niatku. Bukan karena takut akan jawabannya, tapi aku takut kalau pertanyaanku menjadi beban baru baginya.

Namun sore itu, aku memberanikan diri bertanya kepada Aksara tentang pertanyaan yang ingin aku tanyakan, sembari menunggu hujan reda.

“Sa, kalau suatu hari aku nggak bisa selalu ada buat kamu, kamu bakal gimana?”

Aksara mengangkat wajahnya, memandangku dengan mata teduh yang sulit diterka. Bukan karena ia dingin, karena ia selalu menimbang sebelum berkata. Lalu dengan suara pelan ia menjawab,

“Tidak ada alasan untuk pergi Ra, aku sudah menemukannya.”

Aku menatapnya lama dan ia tidak mengalihkan pandangannya. Keheningan menyeruak di antara kami. Tapi bukan hening yang berat, lebih seperti jeda yang memberi ruang untuk berpikir sejenak.

“Apa kamu mau pergi, Ra?” Tanya Aksara penasaran padaku.

Aku menatapnya sambil tersenyum tipis, “Aku nggak bakal ke mana-mana juga”

Aksara tertawa kecil, kali ini lebih lepas, “Syukurlah, soalnya aku udah cape banget pura-pura tenang kalau kamu nggak ada.”

Aku menyikut lengannya pelan, “Kamu kan jago pura-pura”

“Cuma ke orang lain, bukan ke kamu, Ra.”

Ia berkata tanpa ragu, membuatku terdiam untuk kedua kalinya sore itu.

 ***

Aku melewati hari-hari dengan tubuh yang semakin melemah, pusing yang sering datang tiba-tiba, sesak yang kian muncul tanpa alasan dan lelah yang tak pernah selesai. Tapi malam itu…

“Kenapa harus bohong si Ra, kenapa harus selalu dibuat overthinking, cape tau nggak?!” Geram Aksara

Suara itu menusuk lebih dalam daripada yang seharusnya.

Iya, Aksara marah ke aku karena aku tidak memberitahu tentang apa yang terjadi sebenarnya padaku kemarin. Tentang pingsan yang kusalahkan sebagai kecapekan biasa. Tentang sesak yang kembali datang di tengah perjalanan pulang. Tentang malam-malam ketika seluruh tubuhku seakan sedang berperang, sementara aku hanya memilih diam.

“Iya Sa, aku minta maaf, jangan cape dulu ya Sa, jangan cape dulu kakinya untuk terus jalan sama-sama”

Setelah pesan itu terkirim, tiba-tiba saja pusing yang amat hebat menghampiriku, napasku terengah, dan pandanganku mengabur. Sakit kepala yang saat ini kurasakan tidak seperti biasanya, kali ini benar-benar sakit dan aku tak bisa lagi untuk menahannya.

Aku mencoba berdiri, tapi kakiku goyah.

Rasa sakit ini seperti serangan yang tak memberi ruang untuk menolak, menekan dari dalam, semakin kuat, semakin sakit.

Dan di tengah rasa sakit yang semakin menyeruak ke seluruh tubuh, hanya satu kalimat yang terus berputar di kepalaku,

Sa, aku belum sempat bilang semuanya…

***

Dunia Aksara runtuh seketika setelah mengangkat telepon dari adik Rania. Ia tak ingat bagaimana ia keluar rumah, tak ingat bagaimana menyalakan dan melajukan motornya di jalanan Bandung, tangannya gemetar tak karuan.

Sepanjang perjalanan, ia hanya bisa memikirkan satu hal,

Kenapa tadi aku marah? Kenapa harus keras dan bentak Rania? Kenapa harus Ra yang minta maaf?

Sesampainya di rumah sakit, tubuh Aksara lemas melihat tubuh Rania yang terbaring lemah di ranjang, dikelilingi alat dan infus. Ia menghampiri Ra dan menggenggam tangan yang selalu terasa hangat itu, tapi kini tangan itu terasa dingin, sangat dingin.

“Ra… ini aku, Sa…” Tangis Aksara pecah seketika

“Maafin aku ya, Ra… kamu kuat, Ra, ayo sembuh, ayo kita sama-sama lagi keliling Bandung, jangan pergi, Ra…”

Rania mencoba berbicara, tapi hanya suara napas pendek yang keluar. Aksara menunduk dan menciumi tangan Rania. Detik itu juga monitor jantung yang terpasang di tubuh Rania berbunyi tak beraturan. Dengan cekat Aksara segera memanggil perawat untuk segera menangani Rania, hingga pada akhirnya...

Semuanya berhenti, suara yang tadinya bergelombang, kini menjadi suara yang sangat nyaring.

Aksara jatuh terduduk di lantai koridor rumah sakit, tak ada suara, hanya terdengar tangisan dari keluarga Rania.

Ra.. benarkah ini? Kenapa begitu cepat, Ra? Katanya mau sama-sama terus, Ra…? Ra... aku minta maaf, kamu nggak bohong, Ra, nggak seharusnya aku marah ke kamu, Ra… Isak tangis Aksara pecah untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, isak tangis yang biasanya ia simpan sendiri sekarang tak lagi terbendung dan meluap begitu saja.

Dan sejak malam itu, Aksara belajar bahwa beberapa penyesalan tidak pernah sembuh, ia belajar bahwa beberapa hal yang masuk di hidupnya harus dihargai, jangan sampai ada rasa penyesalan di akhirnya.

Malam itu, adik Rania memberikan buku pada Aksara yang pernah Rania titipkan sehari sebelum ia pergi untuk selamanya.

Tangan Aksara meraih buku kecil itu dan membacanya, buku yang bersampul warna abu kusam, tidak banyak tulisan memang, hanya ada tulisan di halaman pertama,

_Aksara_

Semoga Aksaraku ini tetap menemukan dirinya sendiri, bahkan ketika aku tidak bisa lagi menemani.

Kalau suatu hari nanti aku menghilang, jangan marah ya, Sa, aku tidak pernah pergi, aku hanya kalah. Tapi kamu harus selalu menang ya, Sa, akulah si Ra yang selalu bersorak pertama dan bangga atas semua pencapaianmu.

Aku sayang kamu, Sa. Kalau aku nggak sempat bilang, semoga tulisan ini cukup.

_Peace and Love, Rania_

***

Sudah satu tahun.

Bandung tidak pernah berubah. Hujan tetap turun tanpa aba-aba, angin tetap membawa dingin dari dataran tinggi dan lampu-lampu di jalan Braga yang tetap menyala lebih cepat dari seharusnya. Yang berubah hanya satu, tidak ada lagi Rania di sini.

Aksara duduk di bangku taman yang sama, bangku tempat Rania pernah mengadukan lelahnya, menertawakan hal-hal sederhana, dan diam dengan tenang seolah dunia tidak akan menyakitinya.

Ra, aku pulang. Tapi kota ini udah nggak sama lagi, nggak ada kamu lagi di dalamnya, Ra. Terima kasih ya Ra, untuk segala pelajaran yang kamu kasih ke aku, sekarang Bandung lebih dingin Ra, nggak ada kamu yang selalu memberi kehangatan, semoga di sana senangnya lebih banyak lagi ya Ra, luv u Ra-ku.

_Aksara_

Olive Ramadhan

Biodata Penulis:

Olive Ramadhan, mahasiswi semester 5 yang selalu membayangkan bagaimana keindahan dan syahdunya kota Bandung yang sekarang berdomisili di Malang.

© Sepenuhnya. All rights reserved.