Oleh Yessi Alma’wa
Di dalam ruang persidangan yang penuh sesak dan sedikit pengap, saya duduk dengan tegap. Dalam pikiran, saya bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan yang berujung kata hah? Hah? Dan hah?
Iya, saya tidak habis pikir, setelah menyelesaikan studi S2 dari Amerika dan kembali ke Indonesia, malah mengantarkan saya ke meja hijau. Seminggu lalu saya tiba-tiba saja dilayangkan dengan pasal-pasal berlapis, mulai dari pelanggaran penyebaran data pribadi, pemberitaan hoaks hingga pembunuhan. Edan!
Hakim Budi, seperti yang sudah saya duga, tetap pada pendiriannya, meski saya lihat raut wajahnya menyiratkan keinginan untuk berkata jujur. Hakim Budi keburu ciut untuk bersikap lurus, sebab saya tahu kedua anak dan istrinya sempat ditodong pistol tadi malam. Mengenai Hakim Budi, ternyata ia yang disebut-sebut sebagai “hakim paling jujur se-Indonesia” hingga diberitakan di surat kabar yang saya baca di Amerika itu, ternyata hanya omong kosong. Arti kebijaksanaan dari nama “Budi” tidak berarti apa-apa dalam kasus ini.
| Sumber: Pinterest |
***
Tulisan yang saya buat itu sudah sesuai standar SOP, sudah ditinjau juga beberapa kali oleh dewan redaksi selama berbulan-bulan. Saya juga melampirkan beberapa bukti resmi bahkan menyiapkan saksi tanpa disuap. Saksi-saksi tersebut akan datang dengan senang hati, menyerahkan diri jika dimintai keterangan, kalau-kalau mereka dibutuhkan. Namun, dari barang bukti hingga saksi yang telah saya persiapkan, ternyata tidak dapat mengubah apa-apa.
Tentang apa yang saya tulis itu adalah sebuah kebenaran yang harus diungkapkan. Saya telah menulis tentang beberapa kebohongan dari para tetangga di tempat saya tinggal. Mengenai Pak Omar, Bu Maya dan Pak Ujang. Tetapi lucunya saya malah dituduh balik bahkan disuruh bertanggung jawab atas kematian Pak Ujang sebulan yang lalu. Sungguh keterlaluan!
***
Pak Omar bukan hanya sekadar tetangga saya, ia Ketua RT 11 di Rawa Buaya, tempat saya tinggal. Di usianya yang telah menyentuh hampir lima dekade, ia masih saja menjadi Ketua RT 11, sebuah kenyataan terbatas ijazah SD. Dulu sempat saya bayangkan kehebatan Pak Omar, orang setua itu masih mau memikul tanggung jawab sebagai Ketua RT. Kinerja macam apa yang menjadikannya tak tergantikan hingga detik ini?
Sehabis saya pulang S2 dari Amerika, saya baru tahu kalau Pak Omar tidak sehebat yang saya pikirkan. Ternyata Pak Omar tak lebih berupa bayangan semu di mata saya.
Saya baru tahu setiap pupuk gratis dari kantor kelurahan tiba, Pak Omar akan menimbunnya di rumahnya sendiri. Kemudian ketika malam tiba, ia berkeliling mengetuk pintu rumah warga, menyerahkan karcis pembayaran, untuk pupuk yang seharusnya gratis. Pak Saizan salah satu warga marah mengetahui pemungutan itu dan melaporkan ke kantor kelurahan, sedangkan warga lainnya enggan berkonflik dengan Pak RT lebih lanjut.
“Aneh,’’ gumamnya. “Bagi-bagi pupuk kok di malem buta, seperti calo politik yang ke rumah-rumah pas H-1 menjelang Pilpres!”
Anehnya, setelah laporan tersebut, bukan Pak Omar yang terguling dari jabatannya, justru Pak Saizan yang dicabut atas haknya sebagai penerima pupuk.
Waktu itu saya tidak sengaja melihat Pak Omar, ia riang gembira meninggalkan kantor kelurahan dengan salah satu laki-laki berseragam PNS yang tak lain Lurah Rawa Buaya, saudaranya sendiri.
Dan tak ada angin tak ada hujan, tiga hari kemudian ditemukan mayat, tak lain adalah Pak Saizan, mengapung di Waduk. Ketika mayatnya diidentifikasi. Hasil visum rumah sakit menyatakan Pak Saizan berada di bawah pengaruh alkohol, ia tak sadar diri kemudian mengikat dirinya dan terjun ke Waduk Bojong, Rawa Buaya.
“Mungkin stres karena faktor ekonomi,” ujar dokter. Lurah Rawa Buaya menimpa “Biasa orang miskin, mengakhiri penderitaan selalu begitu” dengan tawa miris saat diwawancarai media.
Ketika berita itu terpampang di televisi, saya makin mendidih. “Tak masuk akal! Seorang imam masjid meminum alkohol dan melompat ke Waduk Bojong, hanya karena bantuan pupuknya dicabut? Saya tentu langsung menyelidiki kejanggalan ini.
Setelah saya cari tahu, pernyataan hasil visum dokter di televisi ternyata palsu! Tidak ada jejak alkohol di mulut maupun di lambung Pak Saizan. Terlebih yang tak masuk akal, mana mungkin seseorang di bawah pengaruh alkohol dapat mengikat dirinya sendiri dengan simpul pramuka yang rumit. Semua sudah disetting, sebuah skenario busuk.
***
Saya menyadari, kasus Pak Saizan dan Pak Omar hanyalah satu dari benang kusut yang tersembunyi di Rawa Buaya. Benang kusut yang melilit erat kehidupan orang-orang miskin di sini. Seperti Bu Maya. Perempuan ini, kurang lebih seperti bini Pak Omar, saya heran dengan ibu-ibu Desa Rawa Buaya, mereka rela tak makan demi balutan busana bernilai ratusan ribu.
Bu Maya tidak memiliki anak, suaminya Pak Saripudin termasuk ke dalam sindikat oknum-oknum yang menggunakan uang bansos untuk bermain togel, sebutan salah satu judi di Rawa Buaya. Pak Saripudin dan aplikasi judi online, ibarat hubungan ayah dan anak. Tidak bisa dipisahkan.
Waktu dana bansos keluar, biasanya ia memasang dua angka, kadang tiga, paling banyak empat angka. Kalau lagi apes, atau istrinya sibuk mengkredit baju di bulan Maulid dan hajatan tetangga, Pak Saripudin hanya berani memasang dua angka setiap harinya.
Besaran pembagian uang bansos tersebut diketahui tak pernah adil, Bu Maya menguasai 70% sementara Pak Saripudin hanya kebagian 30%. Hal ini saya ketahui dari Pak Saripudin waktu pulang mabuk atau kalah main, ia akan mengomel sepanjang jalan tentang ketidakadilan pembagian uang itu. Saya sendiri tidak kaget mengenai pembagian uang mereka, begitulah perempuan, bukan?
Padahal tetangga mereka Tono, seorang difabel lebih membutuhkan. Seumur hidup Tono tak pernah disentuh bansos atau bantuan lainnya, sehari-hari Tono berjuang sebagai buruh pencabut rumput ternak. Dinas terkait sepertinya minim literasi sampai-sampai mengenai isi surat edaran yang telah diedarkan terkait kriteria penerima bansos tidak tahu. Tono bahkan termasuk ke dalam dua kriteria dari tiga kriteria, difabel dan lansia. Apakah dua hal penting ini masih kurang? Apa perlu Tono jadi ODGJ juga?
Terakhir Pak Ujang, ia tak lain mantan guru SMA saya. Bukan hanya seorang guru. Pak Ujang tak lain adalah saudara laki-laki dari ibu saya. Saya tahu besaran gaji guru tidak seberapa. Namun, apakah itu cukup membenarkan seorang pendidik untuk berdusta?
“Tidak ada warisan yang begitu kaya seperti kejujuran” ucapnya waktu saya masih sekolah. Aneh, sewaktu kecil kami diajarkan jangan berbohong dan selalu berkata jujur oleh orang-orang dewasa. Tapi meranjak dewasa dan menerapkan dua hal itu, malah dianggap kejahatan.
Mengenai Pak Ujang, ia mempunyai tiga orang anak, satu laki-laki dan dua perempuan. Perlu saya beritahu, keluarga Pak Ujang tidak terlahir sebagai keluarga miskin, ia punya kebun sawit dan kelapa berhektar-hektar. Tetapi, mereka menyembunyikan kekayaannya dan berbohong ke tetangga, kalau mereka keluarga miskin.
***
Jauh dari tuduhan yang kini melayang ke saya. Sewaktu anak Pak Ujang si Fahri berkuliah di salah satu universitas negeri ternama, ada peristiwa kurang enak menimpanya. Fahri dinyatakan tidak lulus bahkan di-DO, padahal sejatinya ia mampu bahkan bisa lulus. Semuanya karena ulah dosen bernama Fiki Prasetyo.
Iya, gara-gara dosen ini Fahri dinyatakan tidak lulus. Pak Fiki, tanpa segan menukar ijazah Fahri dengan ijazah seorang putra anggota DPR termuka di Provinsi DKI Jakarta bernama Suryo. Di masa itu, praktik semacam ini lumrah terjadi. Mencapai IPK dua koma sekian terasa begitu berat di masa itu, sehingga orang tua berkocek tebal rela membayar berapa pun demi kelulusan anak mereka. Fahri nyaris gila. Ayahnya, Pak Ujang tak berdaya, kekayaan mereka tak sebanding dengan sang anggota DPR, membuatnya kalah telak.
***
Ketika Lastri, anak tetangga Pak Ujang, menikah. Pak Ujang kaget bukan kepalang. Bukan tanpa sebab. Ia kaget lantaran melihat calon mempelai laki-laki tetangganya, tak lain adalah Fiki Prasetyo. Mantan dosen itu juga kaget melihat Pak Ujang bahkan Fahri. Kini mereka bertetangga.
Beranjak tiga tahun kemudian, ibu Lastri meninggal. Mereka sekeluarga bingung mengubur mayat ibunya di mana, TPU terlihat sesak, penuh batu nisan yang menumpuk. Lastri memberanikan diri mendatangi Pak Ujang. Meminta izin menggunakan lahan pemakaman keluarga milik Pak Ujang, untuk menyimpan jasad ibunya, Lastri rela membayar berapa pun untuk itu.
Pak Ujang mau-mau saja, asalkan si Fiki suaminya Lastri yang kini bekerja di dinas sosial dapat membantu Pak Ujang. Ia meminta uang lima juta rupiah dan jaminan namanya serta putrinya Wulan, terdata di DTKS. Sungguh ironi. Semenjak insiden ijazah Fahri, Pak Ujang banyak kehilangan hartanya, mulai dari biaya kuliah Fahri hingga uang suap yang tak membuahkan hasil. Pak Ujang tak mau rugi, ia ingin Fiki ganti rugi.
***
Fahri tak pernah ingin lagi melanjutkan kuliahnya, sedangkan nasib Wulan, putrinya, selalu sial dalam urusan rumah tangga. Wulan memiliki enam anak dari enam suami berbeda. Dengan mendaftarkan Wulan dan dirinya sebagai salah satu rakyat miskin, uang kebun Pak Ujang akan selalu aman di bank. Keluarga Pak Ujang begitu lihai memainkan perannya. Sejak era SBY hingga kini, nama mereka berdua tak pernah terhapus dari pangkalan data DTKS, bahkan ketika DTKS kini tak lagi eksis dan mulai berganti nama menjadi DTSEN. Pak Ujang dan anaknya Wulan tetap bercokol di sana.
“Ini amanah,” ujarnya. Amanah dari almarhum Pak Fiki Prasetyo sampai kepada anaknya, kini bekerja juga di dinas sosial, ikut mempertahkan amanah almarhum ayahnya.
Saya baru tahu dari amanah semacam itu bisa berkelanjutan, padahal mengambil hak orang lain. Saya juga baru tahu ketika tulisan tentang kebohongan tetangga saya, yang saya tulis mengenai Pak Omar, Bu Maya bahkan Pak Ujang terbit. Membuat artikel tersebut melambung tinggi.
***
Diketahui Pak Omar telah meninggal sejak satu bulan yang lalu. Sedangkan Pak Saripudin suami dari Bu Maya dalam persidangan, ia ngaku-ngaku bisu dan buta sejak lahir.
Lalu Pak Ujang dan Wulan sempat ditahan polisi ketika artikel itu naik, almarhum Pak Fiki Prasetyo dan anaknya juga dibawa-bawa. Suryo penerima ijazah palsu dari almarhum Pak Fiki Prasetyo juga ikut terseret. Suryo ternyata tumbuh menjadi orang penting di tahun 2035 ini, kasusnya bahkan semakin berbelit-belit sekarang.
Lebih lanjut Pak Ujang, semenjak penangkapan tersebut ia langsung drop parah. Saya tak habis pikir orang tua itu rela mati, dibanding menggunakan uang kebunnya untuk pembayaran biaya rumah sakit, dan saya disalahkan balik oleh pihak keluarga. Katanya gara-gara artikel yang saya tulis, telah merenggut nyawa Pak Ujang, karena kartu PBI-JK-nya langsung dinonaktifkan.
***
Saya tahu Hakim Budi, sekeluarga diancam. Rupanya Fahri memanfaatkan posisi Suryo sekarang. Demi kebohongan ayahnya tak terbongkar, ia rela mengesampingkan persoalan ijazahnya dengan Suryo. Ditambah lagi keluarga Pak Omar juga ikut menyuap Hakim Budi.
Saya tak punya uang sebanyak mereka, bahkan sehabis selesai S2 dan mendaftarkan diri menjadi jurnalis lepas di media lokal tak sebanding dengan seperempat pendapatan bulanan kebun almarhum Pak Ujang.
“Sigit! Cukup!”, Hakim Budi mendesak. “Kau terlalu banyak membual! Akui saja kalau kau bersalah!”
“Saya tidak bohong! Begitulah adanya. Kenapa saya yang mesti mengaku salah? Saya tak mau mengaku demikian.”
“Baik, kalau dirimu tak mau mengaku,” kata Hakim Budi, “Saya akan bacakan putusan dakwaan. Sigit kau dipenjara seumur hidup!”
Ah, jika bisa diulang saya tidak ingin kembali ke Indonesia.
Biodata Penulis:
Yessi Alma’wa, asal dari Jambi. Beberapa tulisannya telah dimuat di platform online hingga cetak. Kini sibuk merenungi eksistensinya “Aku ini siapa, sih?” Jika ingin menyapa bisa mampir di Instagram @sii_almawa