Air yang Menghapus Jejak

Cerpen ini merekam malam panjang saat banjir menelan kota, ketika rasa takut, doa, dan harapan bertemu di atas atap dalam hujan yang tak kunjung usai.
Oleh Rayesha Fadhilla Rivas

Akhir-akhir ini hujan turun hampir setiap hari di Padang. Kadang deras, kadang hanya gerimis halus yang jatuh pelan seperti butiran kabut. Sudah hampir dua minggu langit seperti tidak ingin berhenti menangis. Hari itu, sejak sore, hujan turun tanpa jeda. Rai yang tinggal di sebuah kos kecil dekat Lubuk Minturun, awalnya tidak terlalu menghiraukannya. Baginya, hujan hanyalah bagian biasa dari kehidupan di Sumatera Barat, ibarat sesuatu yang datang dan pergi tanpa banyak dipikirkan.

Cerpen Air yang Menghapus Jejak

Ia duduk di lantai kamar, mengerjakan tugas kuliah sambil mendengarkan suara hujan yang menghantam atap dan dinding yang sudah tua. Sesekali, angin datang membawa suara ranting yang jatuh atau retakan kecil entah dari mana. Lampu kamarnya berkedip beberapa kali. 

“Jangan mati dulu lah,” gumamnya pelan, seolah lampu bisa mendengar. 

Tidak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk keras. Sela, teman kosnya, muncul dengan wajah gelisah. 

“Rai, air di depan kos udah naik semata kaki,” katanya tanpa basa-basi. Suaranya terdengar sedikit bergetar. 

Rai berdiri dan menghampiri jendela. Jalan kecil yang biasanya tampak jelas kini perlahan sudah hilang ditelan air kecokelatan. Arusnya tampak kuat, membawa daun, plastik, dan lumpur. 

“Hah? Cepat amat naiknya?” Rai menatap Sela, tak percaya. 

“Dari tadi hujan nggak berhenti. Sungai belakang udah meluap katanya,” jawab Sela sambil menggigit bibirnya. 

Rai menarik napas panjang. Ia menutup laptop dan mulai memasukkan beberapa barang ke dalam tas kecil: dompet, charger, KTP, obat flu, dan satu pakaian kering. Ia tahu, kadang banjir di sini tidak bisa ditebak. Kadang naik perlahan, kadang hanya butuh beberapa menit untuk berubah menjadi bencana. 

Namun dalam hitungan menit, air yang awalnya hanya setinggi mata kaki berubah menjadi sepinggang. Orang-orang mulai panik, lampu mati, suasana gelap. Hanya suara air, petir, dan orang-orang yang berteriak saling memanggil.

“Rai! Cepat naik ke atap!” suara Sela terdengar dari luar kamar, penuh kepanikan. 

Rai membuka pintu, dan air langsung menyerbu masuk, membuat barang-barang di lantai hanyut begitu saja. Ia berjalan pelan, meraba dinding, mencoba menjaga keseimbangan dari arus yang makin kuat. 

Begitu sampai di luar, beberapa penghuni kos sudah berada di tangga yang mengarah ke atap. Rai dan Sela saling berpegangan tak ada yang benar-benar berani berjalan sendiri. 

Ketika akhirnya mereka tiba di atap, tak ada yang berkata apa pun. Mereka hanya saling memandang, napas terengah-engah. Di depan mata, Lubuk Minturun berubah menjadi lautan tanpa batas. Rumah hanyut. Motor terbawa arus. Barang-barang melayang tak tentu arah. Suara tangis terdengar dari kejauhan. Bau lumpur bercampur dengan udara dingin yang menusuk. 

Sela memeluk tasnya erat-erat. “Rai… HP aku nggak ada sinyal. Mama nggak bisa dihubungi.” 

Rai mencoba melihat ponselnya. Benar saja, tidak ada jaringan. Hanya layar kosong dengan ikon sinyal berwarna merah. 

“Gapapa, Sel. Yang penting sekarang kita aman dulu,” ucap Rai, meski dirinya pun tidak yakin dengan kalimat itu. 

Jam terus berjalan. Mereka menunggu. Hujan masih turun meski tidak sederas sebelumnya. Sesekali terdengar suara sirene, tapi menjauh lagi seolah bantuan masih terlalu jauh untuk mencapai mereka. 

“Berapa lama lagi, ya?” Sela bertanya pelan. 

“Nggak tahu,” jawab Rai singkat.

Tiga jam. Mereka menunggu hampir tiga jam di atas atap itu. Tiga jam dalam gelap, dingin, takut, dan doa yang tidak putus-putusnya. Rai menatap langit, lalu menunduk. 

“Ya Allah… semoga orang tua di kampung baik-baik saja…” bisiknya. 

Bayangan rumah kampungnya muncul: pagar kayu, sawah di belakang rumah, sepeda motor tuanya, dan foto almarhum ayah yang tergantung di dinding. Entah bagaimana keadaan semuanya sekarang. 

Akhirnya, sorot lampu perahu karet muncul dari kejauhan. 

“Tim SAR!” seseorang berteriak. 

Perahu itu makin mendekat, menembus arus dan serpihan kayu yang hanyut. Petugas memakai jas hujan oranye dan helm, suara mereka lantang di tengah malam yang dingin. 

“Satu per satu! Jangan panik!” 

Ketika giliran mereka, Rai menggenggam tangan Sela. 

“Kita selamat,” gumamnya pelan. Entah itu untuk dirinya, untuk Sela, atau hanya untuk menenangkan hatinya sendiri. 

Perahu itu membawa mereka ke sebuah masjid yang dijadikan tempat pengungsian. Di dalam, orang-orang berdesakan. Ada anak-anak yang menangis, ibu-ibu yang pingsan, dan bapak-bapak yang sibuk menelepon walau jaringan masih putus-putusnya.

Mereka diberi selimut tipis dan segelas teh hangat. Rai duduk bersandar pada dinding masjid, menggigil, tapi setidaknya mereka kini di tempat yang lebih aman. 

Di tengah malam yang penuh kecemasan itu, Rai menutup mata. Ia mendengar suara hujan yang masih jatuh di luar, masih deras, masih sama. Tapi kali ini, ada sedikit ruang bernapas dalam dadanya. 

Sela berbisik, “Rai… kalau semua barang kita rusak… kalau rumah orang tua kita juga kena… gimana?” 

Rai terdiam beberapa detik. Lalu ia menghela napas pelan. 

“Kita mulai lagi. Mau gimana lagi? Kita masih hidup. Itu aja udah cukup buat sekarang.” 

Sela mengangguk, matanya berkaca-kaca. 

Malam itu, Rai sadar: hidup tidak selalu tentang apa yang hilang, tetapi tentang apa yang masih tersisa.
© Sepenuhnya. All rights reserved.