Oleh Nurut Tajalla
Tidak ada seorang pun yang memperingatkan Raya tentang hari ketika dunia yang sudah ia bangun selama bertahun-tahun akan runtuh tanpa suara. Hari itu seharusnya menjadi pengumuman resmi untuk daftar atlet yang akan dikirim ke turnamen nasional. Semua orang yang berlatih di arena itu tahu betapa kerasnya Raya bekerja demi satu hal tersebut. Ia pernah jatuh hingga memar sepanjang paha, pernah berlatih sampai kuku kakinya menghitam, dan pernah menangis diam-diam di ruang ganti karena merasa rotasinya masih kurang seperempat putaran. Semua itu ia jalani tanpa mengeluh.
Namun hari itu, tanpa drama, tanpa pengumuman besar, tanpa penjelasan panjang, hanya sebuah kertas A4 yang ditempel seadanya di papan pengumuman.
Nama Raya dicoret.
Ia menatap kertas itu sangat lama, sampai rasanya huruf-huruf yang tertera di sana melebur menjadi benda asing yang tak lagi bisa ia baca. Di samping namanya ada kata singkat yang ditulis terburu-buru: pemangkasan kuota. Tidak ada klarifikasi. Tidak ada alasan teknis. Tidak ada nilai evaluasi. Hanya satu keputusan yang menggugurkan segalanya.
Lampu-lampu arena mulai dipadamkan satu per satu, seperti ikut menegaskan bahwa harinya sudah selesai. Raya tetap berdiri diam di tempat. Sepatunya belum ia buka, napasnya pendek dan terputus-putus, pikirannya berputar tetapi tidak menghasilkan apa pun. Bunyi mesin pendingin yang biasanya seperti musik latar kini terdengar keras dan menyakitkan.
Aiden muncul dari lorong. Ia pelatih magang, tetapi selama enam bulan terakhir dialah orang yang paling melihat proses Raya. Melihat bagaimana Raya jatuh, bangkit, mencoba lagi, mencoba lagi, dan mencoba lagi. Dialah yang menyaksikan bagaimana Raya memaksakan diri untuk memperbaiki landing sampai punggungnya sakit. Dialah yang menghitung berapa kali Raya mengulang kombinasi triple salchow double toe dalam satu sesi.
Raya tidak bergerak.“Raya,” panggil Aiden pelan.
“Aku tahu,” kata Aiden sambil mendekat, “aku baca pengumumannya.”
Raya masih memandangi papan itu, seakan berharap namanya bisa muncul kembali jika ia menatap cukup lama.
Setelah beberapa detik, ia akhirnya berbicara. Suaranya serak dan nyaris tidak terdengar.
“Aku butuh waktu.”
Aiden mengangguk. “Aku di sini saja. Ambil waktumu.”
Raya melangkah ke tengah arena. Sepatu es di kakinya menggores permukaan es dan menghasilkan suara kecil yang tajam. Ia berdiri di sana, tepat di titik yang sering ia jadikan posisi awal gerakannya. Tempat di mana ia bermimpi akan memulai programnya di turnamen nasional. Tempat yang selama ini ia bayangkan akan penuh sorak penonton suatu hari nanti.
Ia mengambil napas dalam, tetapi dadanya terasa sesak. Ia mulai meluncur perlahan, tanpa rencana. Pisau sepatunya mengiris es dalam garis lurus, lalu melengkung. Gerakannya tidak stabil. Tubuhnya masih dipenuhi gemuruh emosi yang tidak bisa ia kontrol.
Ia berhenti mendadak.
“Aiden,” panggilnya lagi.
“Ya?”
“Kalau aku berhenti sekarang, apakah semua latihan ini percuma?”
Aiden menjawab tanpa ragu, seolah sudah menyiapkan jawaban itu jauh sebelum Raya menanyakannya.
“Usaha tidak pernah hilang cuma karena satu pintu menutup.”
Raya menggigit bibir bawahnya.
“Tapi rasanya pintu yang ini terlalu besar.”
“Kalau begitu,” kata Aiden sambil menunjuk ke arah cermin besar di sisi arena, “lihat ke belakang sebentar.”
Raya menoleh.
Ia melihat pantulan dirinya: seseorang dengan wajah lelah, tetapi mata yang masih menyala. Seseorang yang berdiri di atas es meski sedang hancur. Seseorang yang sudah menghabiskan separuh hidupnya di ruangan dingin itu. Seseorang yang mungkin jatuh hari ini, tetapi bukan seseorang yang mudah menyerah.
Saat menatap pantulannya sendiri, ada suara kecil di dalam kepala Raya yang berbisik:
Kalau satu jalan tertutup, buat jalan sendiri.
Malam itu Raya memutuskan satu hal: ia akan tetap datang besok.
Pagi berikutnya, arena kosong. Hanya ada tiga orang: Raya, Aiden, dan penjaga gedung yang mengantuk.
Es terlihat baru, halus, memantulkan cahaya lampu seperti cermin raksasa. Udara dingin menggigit, tetapi Raya merasa lebih terjaga dibanding kemarin.
“Aku tidak membuat program latihannya hari ini,” kata Aiden sambil menunjukkan clip board kosong.
“Bagus. Karena aku ingin menyusunnya sendiri.”
Ia berdiri di ujung arena, memejamkan mata. Ia membayangkan gerakan yang ingin ia kuasai. Teknik yang selama ini selalu membuatnya penasaran. Lompatan yang ia takuti tetapi ingin ia taklukkan. Edge control yang ingin ia haluskan.
Ia meluncur.
Kecepatan itu kembali. Ritme itu kembali. Nafasnya stabil. Tubuhnya mulai mengingat hal-hal yang kemarin sempat kabur.
Ia melakukan beberapa cross-over untuk membangun kecepatan. Ia merasakan udara bergerak di sekitar bahunya. Ia mengambil ancang-ancang untuk axel dua setengah putaran. Ia mengayun, melompat, memutar, dan mencoba mendarat.
Pendaratannya goyah, tetapi tidak jatuh.
Ia ulang lagi.
Lompatan kini lebih ringan. Rotasi lebih stabil. Pisau sepatunya mendarat dengan suara halus.
Aiden bersiul pelan. “Itu jauh lebih rapi.”
Raya mengangguk sambil tersenyum kecil.
“Karena kali ini aku berlatih bukan untuk mengejar tiket turnamen.”
“Kamu mengejar dirimu sendiri?”
“Ya.”
Hari-hari berikutnya berjalan panjang. Raya menambah durasi latihannya. Ia mengulang kombinasi sampai bahunya pegal. Ia memperbaiki landing sampai lututnya panas. Edge technique dipelajarinya dengan detail. Ia menonton ulang video gerakannya sendiri dan mencatat kesalahan. Tidak ada lagi tekanan dari turnamen. Tidak ada lagi deadline. Yang ada hanya keinginan murni untuk menjadi lebih baik dari dirinya kemarin.
Aiden memperhatikan semuanya.
Beberapa kali ia ingin meminta Raya berhenti karena latihannya terlalu keras. Tetapi ia tahu, inilah cara Raya bangkit.
Suatu sore, Raya baru saja menyelesaikan kombinasi triple toe loop double loop yang akhirnya mendarat sempurna setelah seminggu penuh latihan. Keringat menetes dari pelipisnya. Nafasnya berat. Bahunya naik turun.
Aiden menghampiri sambil memegang ponsel.
“Raya, aku harus bilang sesuatu.”
Raya mengusap wajahnya dengan handuk. “Apa?”
“Aku mengirim rekaman latihannya ke federasi daerah lain.”
Raya langsung menoleh cepat.
“Kamu apa?”
“Aku mengirim video ke mereka. Tanpa bilang dulu.”
“Kenapa?”
Aiden menatap Raya dengan serius.
“Kamu punya potensi yang terlalu besar untuk dibiarkan berhenti hanya karena satu keputusan tidak adil. Mereka sedang mencari atlet pengganti untuk kompetisi internasional kecil. Salah satu pesertanya mundur karena cedera mendadak.”
Raya terdiam.
“They liked it,” lanjut Aiden. “Dan mereka ingin kamu ikut seleksi minggu depan.”
Kata minggu depan terasa seperti petir kecil di dada. Mendadak, dunia yang sebelumnya terasa runtuh membuka celah kecil terang.
“Apakah ini… semacam takdir memutar jalan?”
“Kadang jalan terbaik bukan jalan yang kita rencanakan,” jawab Aiden. “Kadang jalan yang berbelok justru menuntun ke mimpi yang lebih besar.”
Raya menatap es yang berkilau di bawah kakinya. Ia menarik napas panjang. Rasa takutnya tidak hilang, tetapi ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.
“Kalau begitu,” katanya, “aku akan kejar.”
Ia meluncur lagi. Kali ini gerakannya lebih kuat. Lebih yakin. Lebih hidup.
Es menyambut setiap langkahnya seperti sahabat lama.
Ia melakukan step sequence panjang, memutar, melengkung, mengatur perpindahan berat badan, menghaluskan edges, menambah kecepatan, dan akhirnya melakukan lompatan yang selama ini sulit ia kuasai.
Mendarat.
Pisau sepatunya menorehkan garis panjang yang indah, seolah menulis kalimat baru untuk perjalanan hidupnya.
Dalam kepalanya ada satu suara yang kini menjadi sangat jelas.
Kejar terus. Sejauh apa pun. Karena mimpi tidak hilang hanya karena jalannya berbelok.
Biodata Penulis:
Nurut Tajalla saat ini aktif sebagai mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab yang menikmati membaca, perjalanan, dan penulisan cerita pendek sebagai sarana menuangkan pemikiran dan pengalaman.