Hujan turun sejak sore. Rintik-rintiknya nggak gede, tapi awet kayak kenangan mantan yang nggak selesai. Di pojok jalan kecil, di bawah pohon waru yang daunnya sudah separuh gugur, ada satu warung kopi kecil. Bukan kedai modern yang pakai nama asing, ini cuma warung bambu seadanya. Namanya: Warung Kopi Bu Sarti.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Lampu warung baru dinyalakan, cahayanya kekuningan, bikin suasana tambah adem. Aroma kopi hitam ngebul dari ceret aluminium yang sudah legam di bagian bawah. Di balik tungku, Bu Sarti sibuk mengaduk air panas dan sesekali meniup-niup tangan karena kena uap panas.
Warung itu nggak pernah sepi, apalagi kalau hujan. Entah kenapa, orang-orang di kampung itu lebih senang ngopi di sana waktu hujan turun. Mungkin karena hangatnya kopi atau mungkin juga karena ada cerita-cerita kecil yang lahir dari meja panjang di situ.
Sore itu, tiga orang sudah duduk duluan.
“Ada gorengan, Bu?” tanya Pak Darto, sopir angkot langganan Bu Sarti.
“Ada, tinggal tempe satu sama bakwan dua. Mau?” jawab Bu Sarti sambil menyodorkan piring rotan.
“Wah, bakwannya saya embat dua ya. Tempenya buat Mas Tris,” kata Pak Darto sambil senyum ke pemuda di sebelahnya.
Tris, anak muda umur dua puluhan, baru pulang kerja. Mukanya kelihatan lelah, tapi dia tetap mengangguk sopan, “Makasih ya, Pak.”
Satu lagi yang duduk diam saja sambil ngeliatin hujan dari balik jendela warung, namanya Mbah Suro. Umurnya sudah 70-an. Dulu mantan petani, sekarang tinggal sama cucu semata wayangnya.
“Kayak hujan ini ngerti ya kapan harus datang. Pas sawah butuh air, dia dateng. Tapi kadang juga datangnya pas kita lagi nyari rejeki. Jadi susah,” gumam Mbah Suro.
“Betul, Mbah,” sahut Tris. “Tapi ya gitu, kita cuma bisa nerima. Mau gimana lagi, wong hidup ya kudu jalan.”
Bu Sarti menyelipkan senyum sambil menaruh cangkir-cangkir di meja. “Kopi tiga, ya. Hitam semua, dua pakai gula, satu pahit buat Mbah.”
“Kok bisa hafal?” tanya Pak Darto.
“Ya udah langganan berapa tahun, masak lupa,” jawab Bu Sarti sambil ketawa kecil.
Suasana hening sebentar. Cuma suara hujan yang kedengeran. Di luar, motor lewat pelan, menyipratkan air ke pinggir jalan. Sesekali, petir menyambar jauh di belakang bukit.
“Tris,” tiba-tiba Pak Darto ngomong, “katanya kamu ngelamar kerja ke kota?”
“Iya, Pak,” jawab Tris sambil meniup kopi. “Kemarin ikut tes, tapi belum tahu hasilnya.”
“Wah, bagus dong. Biar kamu nggak perlu jauh-jauh naik motor tiap hari.”
Tris senyum. Tapi senyumnya nggak lebar. Ada sesuatu di balik matanya yang kayak lagi mikir berat.
“Sebenernya…” Tris berhenti sebentar. “Kalau keterima, aku harus pindah. Ke Bandung.”
Warung langsung hening.
Bu Sarti, yang lagi menyuapkan cucu kecilnya di pojok, menoleh sebentar. Pak Darto berhenti mengunyah. Mbah Suro masih melihat hujan, tapi tangannya berhenti gerak-gerakin sendok di cangkir.
“Kamu serius?” tanya Pak Darto akhirnya.
“Iya, Pak. Soalnya di sini kerjaanku cuma kontrak. Gajinya juga pas-pasan. Kalau di sana, lebih gede, lebih pasti.”
“Terus, Bapakmu gimana?”
Tris tarik napas. “Bapak setuju. Tapi aku masih mikir-mikir, soalnya di sini kan ada Ibu yang sakit. Kalau aku pindah, siapa yang jaga?”
Bu Sarti mengelus bahu Tris pelan waktu ngasih tambahan air panas ke cangkirnya. “Hidup itu pilihan, Nak. Kadang kita nggak bisa dapetin semuanya sekaligus. Tapi kamu tahu yang mana yang lebih penting.”
Mbah Suro tiba-tiba ngomong, “Dulu aku juga pernah dapet tawaran buat kerja jadi mandor di proyek bangunan gede di luar kota. Tapi waktu itu simbahmu baru lahiran anak ketiga, dan sawah lagi rusak gara-gara banjir. Aku milih tinggal.”
“Nyesel nggak, Mbah?” tanya Tris, pelan.
“Nggak,” jawab Mbah Suro mantap. “Waktu itu, aku ngerasa aku dibutuhin di rumah. Dan ternyata, sawah itu yang ngasih makan sampai anak-anakku besar. Tapi setiap orang beda. Nggak ada yang bisa mutusin selain dirimu sendiri.”
Pak Darto angguk-angguk. “Kalau kamu ngerasa ini kesempatan buat ngebahagiain keluarga, ya ambil. Tapi pastiin kamu siap, jangan setengah hati.”
Hujan makin deras. Di luar, genangan air sudah mulai masuk ke ujung teras warung. Tapi di dalam, suasana justru hangat. Ada obrolan, ada cerita, dan ada secangkir harapan.
Tris diam sebentar, lalu buka dompet kecil di jaketnya. Dia keluarin satu lembar kertas—undangan wawancara kedua.
“Minggu depan aku harus berangkat,” katanya lirih. “Tapi jujur, aku takut.”
“Takut apa, Nak?” tanya Bu Sarti.
“Takut gagal. Takut nyesel. Takut ninggalin Ibu.”
Mbah Suro mendekat, tepuk pundaknya pelan. “Rasa takut itu wajar. Tapi jangan biarin rasa takut yang mutusin jalan hidupmu. Kalau kamu percaya sama niatmu, jalan aja. Yang penting, jangan lupa pulang.”
Tris mengangguk pelan. Dia nggak jawab. Tapi tatapannya sudah beda.
***
Tiga hari berlalu. Warung Bu Sarti tetap buka seperti biasa. Hujan masih sering turun, meski nggak sederas waktu itu.
Sore itu, Bu Sarti lagi menyapu teras warung. Pak Darto datang bawa rokok linting sendiri. Mbah Suro sudah duduk duluan sambil baca koran bekas.
“Tris belum nongol lagi, ya?” tanya Pak Darto.
“Kayaknya udah berangkat kemarin lusa,” jawab Bu Sarti. “Bapaknya yang bilang. Malam-malam dia pamit pelan-pelan ke ibunya, nggak mau bikin sedih.”
Mbah Suro tersenyum, “Anak muda sekarang banyak mikir. Tapi semoga dia nggak lupa pulang, seperti janjinya.”
Pak Darto ngedudukin bangkunya, lalu nyeletuk, “Bu, kopinya satu. Tapi kali ini pahit, ya. Biar ingat kalau hidup nggak selalu manis.”
Semua ketawa kecil.
Di luar, hujan mulai turun lagi. Rintiknya masih sama. Suaranya tetap lembut. Tapi di dalam warung kecil itu, setiap tetesnya mengingatkan: bahwa hidup, seberat apapun, selalu punya tempat untuk pulang.
Biodata Penulis:
Dimas Andrean bisa disapa di Instagram @dimzz_segalacerita