Luka di Bukit Gundul

Cerpen ini menggambarkan bencana longsor di sebuah desa akibat kerusakan alam, menyentuh sisi kemanusiaan, penyesalan, dan harapan untuk bangkit.

Oleh Febby Gusmelyyana

Gerimis mulai turun ketika Nek Marni keluar dari rumahnya yang miring. Langit sore itu berwarna kelabu pekat, seperti kain kafan yang menutupi langit Desa Lubuk Runtuh, kawasan ini berada di pinggiran Kota Padalarang. Di tangannya, tongkat bambu yang sudah lapuk menjadi penopang tubuh ringkihnya yang berusia tujuh puluh tahun.

"Bu Marni, masuk dulu! Hujannya makin deras!" Teriak Pak Hadi dari seberang jalan.

Nek Marni hanya menggeleng kepala. Matanya yang sudah rabun menatap ke arah bukit di belakang desa. Bukit tempat makam suaminya berada. Bukit yang sudah gundul karena pohon-pohonnya ditebang untuk dijual.

"Saya harus ke makam Pak Tuo. Ada firasat tidak enak," ujar Nek Marni pelan.

Hujan memang datang lebih awal tahun ini. Sudah seminggu langit tak pernah cerah. Air sungai mulai meluap dan tanah di lereng bukit mulai lembek. Beberapa warga sudah mengungsi ke balai desa, akan tetapi Nek Marni bersikeras tinggal.

Cerpen Luka di Bukit Gundul

Pada tengah malam, terdengar suara gemuruh yang membangunkan seluruh desa. Bukan guntur. Bukan pula angin kencang. Suara itu datang dari bukit yang berasal dari suara tanah yang bergerak, suara pohon-pohon yang patah, dan suara batu-batu besar yang menggelinding.

"TANAH LONGSOR! LARI!" Teriakan Pak Hadi memecah keheningan malam. 

Warga berhamburan keluar dari rumah mereka. Ada yang berlari membawa anak dan ada juga yang hanya sempat mengenakan sarung. Lumpur cokelat pekat mengalir deras dari bukit, sehingga menyapu apa saja yang dilaluinya.

Siti, gadis berusia dua belas tahun, baru tersadar dari tidurnya. Ibunya sudah menarik tangannya dengan panik.

"Cepat, Sit! Jangan bawa apa-apa!" Kata Ibunya.

Mereka berlari dalam gelap. Hujan masih deras. Lumpur sudah setinggi lutut orang dewasa. Siti menoleh ke belakang dan melihat rumahnya. Rumah kayu sederhana tempat ia dibesarkan, perlahan tenggelam dalam genangan lumpur.

"Ibu! Nek Marni!" Teriak Siti tiba-tiba.

Ibunya berhenti. Matanya membulat. Rumah Nek Marni ada di ujung kampung yang paling dekat dengan bukit. Tanpa berpikir panjang, Pak Hadi dan beberapa pemuda berlari menuju rumah nenek itu.

Mereka menemukan Nek Marni terduduk di teras sambil memeluk bingkai foto suaminya. Dengan air yang sudah merendam kakinya. Wajahnya tenang, tapi tubuhnya gemetar.

"Nek, ayo!" Ujar Pak Hadi sambil mengangkat tubuh ringkih itu.

"Rumah saya... makam Pak Tuo..." bisik Nek Marni.

"Nyawa Mbah lebih penting!" Kata Pak Hadi.

Mereka berlari membawa Nek Marni ke posko pengungsian di sekolah yang berada di dataran lebih tinggi. Satu per satu warga berdatangan dengan keadaan yang basah kuyup, berlumpur, ketakutan, akan tetapi masih selamat.

Pagi harinya, hujan mereda. Matahari muncul dengan sinarnya yang pucat. Pemandangan yang menyambut mereka adalah kehancuran. Dua puluh rumah rata dengan tanah. Sawah-sawah tertimbun lumpur setebal satu meter. Jalan desa terputus.

Tapi yang paling memilukan adalah hilangnya tiga orang. Pak Tarno yang lumpuh dan tidak sempat diselamatkan, Mbak Yuni yang kembali ke rumahnya untuk mengambil perhiasan, dan Dimas, bocah lima tahun yang terpisah dari ibunya dalam kepanikan.

Siti terduduk di sudut ruang kelas yang menjadi tempat pengungsian. Ibunya memeluknya erat. Di seberang ruangan, Nek Marni duduk termenung dengan masih memeluk foto suaminya yang basah.

"Ini salah siapa, Bu?" tanya Siti dengan suara serak.

Ibunya menghela napas panjang. "Ini bukan salah siapa-siapa, Nak. Ini musibah."

"Tapi... bukit itu gundul. Kata Pak Guru, kalau bukit gundul, tanahnya mudah longsor." Ucap Siti lagi.

Ibunya terdiam. Semua orang di ruangan itu juga terdiam. Mereka tahu. Mereka semua tahu. Pohon-pohon di bukit itu mereka tebang sendiri. Dijual untuk membayar sekolah anak, modal usaha, bahkan membeli motor. Tidak ada yang melarang dan tidak ada yang peduli. Hingga bencana datang.

Dua minggu berlalu. Bantuan berdatangan dari kota. Relawan membantu membersihkan lumpur. Pemerintah menjanjikan rumah baru di lokasi yang lebih aman. Tapi luka itu tetap menganga.

Siti sering melihat Nek Marni berdiri di tepi kawasan bencana sambil menatap ke arah bukit yang kini penuh luka. Suatu sore, Siti menghampirinya.

"Nek kangen rumah lama?"

Nek Marni tersenyum tipis. "Rumah bisa dibangun lagi, Nduk. Yang tidak bisa kembali yaitu mereka yang pergi."

"Kita akan baik-baik saja, kan, Nek?" Tanya Siti.

Nenek tua itu mengelus kepala Siti. "Kita akan baik-baik saja. Tapi kita harus belajar. Alam ini punya cara untuk mengingatkan kita. Dan kali ini, harganya terlalu mahal."

Siti menatap bukit itu. Di pikirannya, ia membayangkan bukit itu kembali hijau, penuh pohon, seperti yang diceritakan ayahnya dulu. Ia berjanji pada dirinya sendiri kalau nanti sudah besar, ia akan menanam pohon. Pohon yang banyak. Agar anak-anaknya nanti tidak perlu merasakan kehilangan seperti yang ia rasakan hari ini.

Hujan mulai turun lagi. Tapi kali ini tidak lagi menakutkan. Kali ini, hujan terasa seperti air mata langit yang membasahi, tetapi juga menyucikan. Membersihkan luka. Memberi harapan untuk memulai lagi.

Di balik awan kelabu, matahari perlahan muncul. Pelangi terbentang tipis di ufuk timur. Kehidupan harus terus berjalan. Dan mereka, para penyintas, belajar untuk bangkit. Meskipun dengan duka, penyesalan, akan tetapi juga dengan harapan baru.

Biodata Penulis:

Febby Gusmelyyana lahir pada tanggal 20 Agustus 2005 di Padang, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas. Penulis bisa disapa di Instagram @fbyyanaaa

© Sepenuhnya. All rights reserved.