Di Balik Derasnya Hujan Padang

Cerpen ini menghadirkan potret getir banjir di Padang, ketika rasa aman runtuh dan manusia belajar bertahan, saling menguatkan, dan menghormati alam.

Oleh Tesa Maika Putri

Hujan di Padang mulai dari tanggal 21 November sampai 27 November 2025 seperti doa yang tak henti-hentinya jatuh dari langit tanpa jeda. Setiap pagi aku bangun dengan suara rintiknya, setiap malam aku tidur dengan nada yang sama. Jalanan basah, udara dingin, dan manusia berlalu-lalang memakai jas hujan untuk melakukan aktivitasnya.

Aku tinggal di kawasan Pasar Baru dekat Universitas Andalas Padang. Sebuah daerah yang aku anggap aman. “Tidak mungkin Universitas Andalas kena banjir” begitu kata orang-orang biasanya dan begitu pula yang kupikirkan. Posisi tempat tinggalku di perbukitan membuat aku merasa seolah aman berada disana. Seolah bencana hanya milik dataran rendah. Kalimat itu seperti legenda kecil yang diwariskan dari warga ke pendatang. Tapi hari itu, kenyataan datang tanpa peduli mitos.

Cerpen Di Balik Derasnya Hujan Padang

Hujan seminggu itu membawa sesuatu yang lebih dari sekadar air. Ia membawa tanah yang meluruh, dan arus deras yang tak pernah dibayangkan akan mencapai daerah perbukitan. Tepat pada Kamis malam 27 November 2025 banjir makin tinggi dan kabar buruk bermunculan satu per satu. Rumah-rumah yang terbawa arus. Ada yang hanyut sampai tak terlihat. Ada yang tertimbun galodo yang turun dengan kecepatan menakutkan. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal, kehilangan harta benda, bahkan kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Di beberapa titik, jalan raya berubah menjadi sungai besar yang mengalirkan lumpur dan potongan kayu.

Berita demi berita terus berdatangan. Foto-foto yang tersebar memperlihatkan wajah-wajah yang kehilangan. Anak kecil menangis mencari ibunya. Seorang ayah memeluk tubuh anaknya yang ditemukan setelah berjam-jam pencarian. Ada pula keluarga yang hanya bisa duduk di depan reruntuhan rumah mereka, memandangi sisa-sisa hidup yang hilang dibawa air. Duka itu menyelimuti seluruh Sumatera. Tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan betapa dalam luka yang ditinggalkan. Para relawan berdatangan, mahasiswa saling membantu, warga bahu-membahu mengevakuasi korban dan membersihkan puing.

Hujan akhirnya berhenti setelah meluapkan banjir. Pada Jumat 28 November 2025 langit kembali menampakkan warna biru pucatnya. Air mulai surut meninggalkan jejak yang tak mungkin hilang dari ingatan. Jalan raya dipenuhi lumpur-lumpur bekas aliran banjir, mengakibatkan jalan licin dan susah dilalui oleh kendaraan. Debu menjadi polusi udara yang buruk bagi masyarakat sekitar ketika melakukan aktivitasnya saat ini.

Aku menyadari satu hal bahwa kisah ini tentang hujan yang tak kunjung usai, tentang banjir dan longsor, tentang duka dan kehilangan akan terus hidup. Akan menjadi cerita yang tidak terlupakan oleh waktu, karena pada hari itu aku belajar bahwa alam bukan sekedar latar tempat tinggal, tetapi ia adalah kekuatan besar yang bisa mengubah segalanya dalam waktu yang tidak dapat diduga. Dan sejak hari itu, setiap kali hujan turun aku selalu menatap langit dengan campuran doa dan rasa waspada. Karena aku tahu cerita tentang banjir dan longsor ini bukan hanya tentang bencana, tetapi tentang manusia yang belajar rendah hati di hadapan alam, tentang kehilangan, dan tentang keberanian untuk tetap melanjutkan hidup meski hati sempat runtuh bersama tanah yang terbawa arus.

Beberapa hari setelah langit kembali membiru, Pasar Baru tak lagi sama. Aroma tanah basah yang biasanya menenangkan, kini berganti menjadi bau anyir lumpur yang membusuk dan kayu-kayu lapuk. Aku berdiri di depan teras kos-kosan yang beruntung hanya digenangi air setinggi mata kaki, namun pemandangan beberapa meter di depanku adalah luka bagi orang-orang yang terkena banjir. Mahasiswa yang biasanya sibuk dengan kuliah, kini tidak ada lagi percakapan tentang tugas atau IPK, yang ada hanyalah pertanyaan “Sudah makan?” atau “Keluargamu di kampung bagaimana?”

Aku teringat pada Pak Ramli, pemilik kedai kelontong di persimpangan yang rumahnya tersapu galodo. Ia duduk di atas beton yang tersisa dari fondasi rumahnya. “Alam tidak pernah berhutang pada kita, Nak” ucapnya pelan saat aku menyerahkan sebotol air mineral. “Kita yang terlalu angkuh merasa bisa menaklukkannya dengan semen dan beton.” Kalimat itu menamparku. Kita membangun rumah di lereng, mengeruk tanah untuk kenyamanan, lalu terkejut saat bumi menuntut kembali ruangnya.

Malam-malam setelahnya adalah ujian yang berbeda. Tidur tak lagi nyenyak. Setiap kali ada suara gesekan dahan pohon atau deru mesin kendaraan yang menyerupai gemuruh air, jantungku berdegup kencang. Keheningan malam justru menjadi mencekam karena terus menunggu, apakah hujan akan kembali? Pasar Baru yang biasanya riuh dengan canda tawa Mahasiswa di Kafe-kafe, kini berselimut duka yang tenang namun pekat. Di balik masker yang kami kenakan untuk menghalau debu lumpur yang mulai mengering dan beterbangan, ada mulut yang komat-kamit mengucapkan doa. Belajar bahwa keberanian bukan berarti tidak merasa takut, melainkan kesediaan untuk mencuci lumpur dari lantai rumah sendiri sembari membantu tetangga mengangkat sisa-sisa perabotan mereka.

Sumatera Barat mungkin seringkali diuji, tapi ada satu hal yang tak pernah ikut hanyut yaitu Tenggang rasa. Di tengah debu yang menyesakkan napas dan jalanan yang licin, aku melihat orang-orang mulai menanam kembali. Bukan hanya tanaman, tapi juga harapan. Luka ini akan berbekas dan ingatan tentang November 2025 akan menjadi hikayat kelam yang diceritakan turun-temurun.

© Sepenuhnya. All rights reserved.