Oleh Putri Rahma Yanti
Aku bukan anak Sumatera Barat. Aku datang ke tanah ini membawa koper, ransel berisi pakaian, dan mimpi yang sederhana: menjadi mahasiswa yang lulus tepat waktu dan pulang membawa kebanggaan bagi keluarga. Aku memilih berkuliah di Sumatera Barat karena alamnya. Karena foto-foto bukit hijau, sungai jernih, dan udara sejuk yang sering dibagikan orang-orang di media sosial. Dalam bayanganku, tanah ini adalah tempat yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota asal. Beberapa bulan pertama tinggal di sini, aku merasa tidak salah memilih. Pagi-pagi disambut kabut tipis, sore hari angin sejuk turun dari perbukitan, dan malam terasa sunyi dengan suara serangga. Sungai yang mengalir di dekat kontrakanku menjadi pemandangan favorit. Airnya jernih, mengalir pelan, seolah tahu kapan harus tenang.
Namun malam itu, aku belajar bahwa alam juga bisa marah. Hujan turun sejak sore, deras dan tanpa jeda. Aku sedang duduk di kamar kontrakan, membuka laptop, mengerjakan tugas kuliah tentang hubungan manusia dan lingkungan. Aku membaca tentang kerusakan hutan, tentang sungai yang kehilangan fungsi, tentang bencana yang bukan lagi murni peristiwa alam. Saat itu, semua masih terasa seperti teori jauh, abstrak, dan tidak menyentuh hidupku secara langsung. Di luar, suara hujan menghantam atap seng semakin keras. Aku sempat berdiri di jendela, melihat sungai yang mulai berubah warna. Airnya keruh dan bergerak lebih cepat dari biasanya. Tapi aku tidak terlalu khawatir. Sebagai pendatang, aku belum peka membaca tanda-tanda alam di sini. Aku hanya berpikir, mungkin memang sedang hujan besar.
Sampai suara itu datang. Suara benturan keras, berulang-ulang, seperti benda besar yang saling menghantam. Awalnya samar, lalu semakin jelas. Aku membuka pintu dan melangkah keluar. Beberapa warga juga keluar rumah, wajah mereka tegang. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, aku melihat sungai meluap. Airnya cokelat pekat, bergerak liar, dan membawa sesuatu yang membuatku terpaku: potongan-potongan kayu besar, gelondongan pohon, batang-batang kasar yang saling bertabrakan tanpa kendali. Aku berdiri kaku. Ini bukan pemandangan yang pernah kulihat di kampung halamanku.
“Tolong masuk! Air naik cepat!” teriak seorang warga.
Aku tersadar. Air sudah merembes ke jalan, lalu ke halaman rumah kontrakan. Panik mulai menjalar. Aku membantu ibu kos mengangkat kursi, lemari kecil, dan barang-barang yang bisa diselamatkan. Dalam hitungan menit, air setinggi betis berubah menjadi setinggi lutut. Arusnya dingin dan kuat, membuat langkahku goyah. Kayu-kayu itu terus datang. Batang-batang besar itu menghantam pagar, menabrak tiang, bahkan ada yang tersangkut di jembatan kecil menuju kampus. Jembatan itu bergetar hebat, seperti hendak runtuh. Suara kayu beradu terdengar mengerikan, seolah hutan sedang runtuh di hadapan kami.
Sebagai orang luar, satu pertanyaan terus berputar di kepalaku:
“dari mana semua kayu ini berasal?”
Tidak mungkin hujan semalam mampu merobohkan pohon sebanyak itu. Wajah-wajah warga di sekitarku tampak muram, tetapi tidak sepenuhnya terkejut. Seakan banjir ini adalah sesuatu yang sudah lama mereka khawatirkan, hanya menunggu waktu untuk benar-benar terjadi. Seorang bapak berdiri di sampingku, bajunya basah kuyup, matanya menatap sungai tanpa berkedip.
“Hutan di hulu sudah lama habis,” katanya lirih. Kalimat itu terasa lebih berat daripada suara air.
Malam semakin larut. Hujan tidak juga berhenti. Sungai benar-benar kehilangan bentuknya. Ia bukan lagi aliran air, melainkan jalur kehancuran. Air masuk ke rumah-rumah, merusak perabot, menghanyutkan barang-barang kecil, dan membawa ketakutan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Aku ikut membantu mengevakuasi anak-anak dan orang tua ke tempat yang lebih tinggi. Tangis anak-anak bercampur dengan suara hujan dan teriakan warga yang saling memanggil. Dalam kekacauan itu, aku merasa kecil dan asing seorang mahasiswa pendatang yang tiba-tiba menjadi saksi dari luka yang bukan milikku, tetapi kini ikut menelanku.
Di sela-sela kepanikan, aku mendengar cerita warga. Cerita yang sebelumnya hanya kudengar sepintas, kini terasa nyata dan menyakitkan. Tentang bukit-bukit yang digunduli untuk tambang. Tentang hutan yang ditebang demi kepentingan perusahaan kertas ilegal. Tentang truk-truk besar yang keluar masuk membawa kayu pada malam hari. Tentang laporan yang diabaikan, tentang oknum yang menutup mata, dan tentang masyarakat kecil yang tak punya kuasa menolak. Aku terdiam. Di bangku kuliah, semua itu disebut eksploitasi sumber daya. Di sini, malam ini, semua itu bernama banjir.
Pagi datang dengan sunyi yang memilukan. Hujan berhenti, tetapi kampung tak lagi sama. Lumpur menutupi jalan. Dinding rumah penuh bekas air. Perabot rusak dan berserakan. Kayu-kayu gelondongan terdampar di bantaran sungai, seperti bangkai raksasa yang tak lagi bernyawa. Aku berjalan menyusuri sungai bersama beberapa warga. Bau kayu basah dan lumpur menusuk hidung. Sungai yang dulu terlihat ramah kini tampak asing. Untuk pertama kalinya, aku melihat Sumatera Barat bukan hanya sebagai tanah yang indah, tetapi sebagai wilayah yang sedang terluka.
Seorang ibu berkata pelan, “Dulu sungai ini jinak. Anak-anak mandi di sini. Sekarang kami takut.”
Aku menunduk. Kata-kata itu sederhana, tetapi menghantam hatiku. Beberapa hari kemudian, pejabat datang. Mereka mengenakan sepatu bot bersih dan rompi mencolok. Kamera menyala. Wartawan mencatat. Aku berdiri di antara warga, mendengarkan mereka menyebut kejadian ini sebagai bencana alam akibat curah hujan tinggi. Sebagai pendatang, aku mungkin tidak sepenuhnya paham adat dan kebiasaan setempat. Tetapi aku cukup paham untuk tahu bahwa hujan bukan satu-satunya penyebab. Hujan hanyalah pemicu. Penyebab sesungguhnya adalah hutan yang dirusak, sungai yang dipaksa menampung lebih dari kemampuannya, dan keserakahan manusia yang terus diberi ruang.
Sebagai mahasiswa pendatang, aku merasa memiliki tanggung jawab moral. Aku datang ke tanah ini untuk belajar, tetapi justru tanah inilah yang memberiku pelajaran paling keras. Aku belajar bahwa kerusakan lingkungan tidak mengenal asal daerah. Ketika hutan di hulu ditebang, siapa pun yang tinggal di hilir penduduk asli atau pendatang akan menanggung akibatnya.
Malam itu, aku duduk di kamar kontrakan yang masih berbau lumpur. Aku membuka buku catatan yang tersisa, lalu menulis. Aku menulis bukan untuk tugas kuliah, tetapi sebagai kesaksian. Tentang kayu-kayu yang datang bersama air. Tentang hutan yang dibungkam. Tentang banjir yang sesungguhnya adalah hasil dari keserakahan yang terorganisir.
Aku menulis sebagai orang luar yang tak ingin hanya menjadi penonton. Aku sadar, aku mungkin bukan bagian dari sejarah panjang tanah ini. Aku tidak lahir di sini, tidak tumbuh besar di sini. Tetapi selama aku tinggal, belajar, dan hidup di sini, aku ikut menjadi bagian dari konsekuensinya. Luka tanah ini, sedikit banyak, juga menjadi lukaku. Dan aku percaya, jika hutan terus ditebang, jika tambang dan industri ilegal terus dibiarkan, maka banjir akan datang lagi. Tidak peduli siapa kita, dari mana asal kita, atau apa status kita. Karena alam tidak pernah membedakan siapa pendatang, siapa pemilik tanah. Kayu-kayu itu akan tetap datang. Datang bersama air. Membawa pesan yang sama bahwa keserakahan manusia selalu menemukan jalannya menuju kehancuran.
Biodata Penulis:
Putri Rahma Yanti, lahir pada tanggal 25 Maret 2006 di Pangian, saat ini aktif sebagai Mahasiswa Sastra Indonesia, di Universitas Andalas. Ia memiliki hobi travelling, mengunjungi berbagai tempat untuk melihat keadaan sekitar serta menganalisis hal-hal menarik yang bisa ditemukan, termasuk tempat-tempat yang bernuansa kebudayaan. Selain itu, ia juga gemar menonton sebagai sarana hiburan dan menambah wawasan.