Di Balik Diam Panik Menggenang

Cerpen ini menyoroti malam sunyi pascahujan di kota, ketika ancaman bencana justru mempertemukan dua perantau dalam ketakutan dan kehangatan.

Oleh Rinjani Kumala

Selama kurang lebih tujuh hari penuh hujan terus-menerus mengguyur kota, namun malam yang sesudah itu terasa lain dari biasanya. Yang membedakan bukan intensitas hujannya, melainkan kesunyian mencekam yang muncul sesudahnya, seolah kota sedang mengambil nafas dalam-dalam sebelum terbenam. Melalui layar ponsel, tampak perjuangan warga kota seperti genteng-genteng rumah berubah menjadi tempat pengungsian sementara, raut wajah ketakutan tampak di atas atap, genangan air keruh menghanyutkan semua yang ada di jalurnya.

"Tenang saja," ucap Tara, teman satu kosanku, sambil bersembunyi di balik selimutnya. "Menurut ibu kost Bu Novi, lokasi kita berada di tempat yang tinggi. Banjir jarang mencapai area sini."

Aku mengiyakan, namun genggaman tanganku pada ponsel terlampau kencang. Kali ini adalah pertama bagi kami dua pendatang berhadapan dengan ancaman bencana, terpisah dari keluarga. Ketika di kampung halaman, banjir artinya ayah akan menggendongku naik ke tingkat atas, ibu akan menyelamatkan koleksi foto keluarga, adik-adik berteriak gembira karena tidak perlu mandi. Kepanikan terasa lebih ringan karena ada kebersamaan. Tawa bisa memecah rasa cemas. Namun di tempat ini? Yang kami miliki hanya dua kasur berdempetan, dan keyakinan bahwa "lokasi ini aman" yang kami ulang-ulang seperti mantra.

Cerpen Di Balik Diam Panik Menggenang

Pesan di grup WhatsApp keluarga membanjir.

Ibu menulis: "Nak, kabarnya di kotamu banjir besar! Kalian berdua bagaimana keadaannya?" Ayah: "Rina bersamamu? Tetap tenang. Cari lokasi yang lebih tinggi."

Aku mengaktifkan kamera, mengarahkannya ke depan pintu. Yang tertangkap hanya gelap gulita dan siluet pohon pisang yang bergoyang tertiup angin. Tidak terlihat banjir. Tidak ada kepanikan. Cuma kegelapan malam dan ketenangan yang menyesatkan.

"Kamu belum tidur?" Tara bertanya dengan suara serak dari balik selimutnya.

"Tidak bisa," jawabku singkat. "Bagaimana denganmu?"

"Mendengarkan suara hujan."

Kami terdiam. Hujan memang telah reda, namun kesunyian yang menggantikannya justru lebih mengganggu. Keheningan itu dipenuhi berbagai kemungkinan buruk yang tidak kami sampaikan. Aku mulai bersiap-siap. Memasukkan laptop ke dalam tas. Menyimpan dokumen dalam plastik. Mengemas charger dan power bank. Dua bingkai foto keluarga masing-masing dari kampung yang berbeda kumasukkan dengan penuh kehati-hatian.

"Kamu juga melakukan hal yang sama?" Tara bertanya sambil bangkit dari tempat tidurnya. Matanya tampak memerah.

"Untuk berjaga-jaga," ujarku. Namun kami paham ini bukan soal akal sehat. Ini tentang kebutuhan melakukan tindakan, apapun bentuknya, supaya merasa masih memiliki kontrol atas situasi.

Tara pun mulai mengemas barang-barangnya. Dua gadis perantauan, dua tas punggung, dalam kamar kos yang sama, mempersiapkan diri menghadapi bencana yang mungkin tidak akan pernah terjadi.

Pukul 01.23 dini hari. Ponsel Tara berdering. Ibunya menelepon.

"Aku tidak apa-apa, Bu... Benar, bersama Jani... iya, di sini masih aman bu, kami berdua udah jaga-jaga."

Suaranya bergetar di tengah percakapan. Aku berpura-pura tidak memperhatikan, menatap retakan di langit-langit kamar sebelah kanan. Usai telepon, Tara duduk di lantai sambil memeluk kedua lututnya. "Ibu berpesan, bila air masuk, kami harus saling berpegangan erat. Jangan sampai terpisah satu sama lain." 

Pandangan kami bertemu. Dua orang yang dipertemukan oleh tulisan "KOS PUTRI" di depan bangunan ini, kini terhubung oleh ancaman bencana yang sama.

"Apakah kamu merasa takut?" tanyaku.

"Sedikit," jawabnya, kemudian tersenyum pahit. "Tapi lebih takut jika sendirian."

Itulah genangan yang sesungguhnya pertama kali muncul seperti bukan genangan air, melainkan perasaan lega yang bercampur kepahitan. Lega karena tidak menghadapinya sendirian. Pahit karena harus mengakui bahwa kami ketakutan. Kami memutuskan keluar dari kamar, duduk di teras depan. Bu Novi. Kosan ini hening, namun keheningan yang berbeda dari sebelumnya. Kesunyian yang tidak membuat kesepian.

Di kejauhan, cahaya lampu kota meredup. Beberapa wilayah gelap total aliran listrik terputus. Namun di tempat kami, lampu teras masih menyala, membentuk bayangan panjang kami di lantai.

"Pernahkah terpikir olehmu?" Tara bertanya tiba-tiba. "Andai kami harus dievakuasi? Membawa tas ini, naik perahu karet?"

"Membayangkannya saja sudah membuat ingin menangis," jawabku. "Namun setidaknya... kami tidak sendirian."

Hening kembali. Namun kali ini keheningan terasa menghangatkan. Kesunyian yang dibagi bersama.

Pukul 03.00 pagi. Udara dingin mulai menusuk hingga ke tulang.

Kami kembali masuk ke kamar. Tapi tidak untuk tidur. Hanya berbaring, masing-masing di tempat tidurnya, menatap langit-langit yang sama.

"Nanti," kata Tara dari dalam kegelapan, "bila ternyata semuanya baik-baik saja, kami akan merasa bodoh sudah menyiapkan tas."

"Tapi kami akan mengingat malam ini," jawabku. "Mengingat bagaimana rasanya untuk pertama kali..."

"Pertama kali merasa kota ini bisa mengancam," lanjutnya.

Dan itu memang benar. Kota yang selama ini hanya menjadi tempat kuliah, berkumpul dengan teman, dan merindukan kampung halaman, tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang bisa membahayakan. Ancaman yang tidak kami mengerti, karena kami bukan penduduk asli. Kami hanya penyewa tempat tinggal.

Cahaya fajar mulai terlihat. Warna oranye muda menyapu langit.

Kami berdiri dekat pintu, menyaksikan pagi yang basah namun tenteram. Gang masih sepi. Tidak ada genangan. Kosan masih dalam kondisi kering.

Tas-tas punggung berdiri di pojok ruangan, berisi persiapan yang tidak digunakan.

"Kita melewatinya berdua," bisik Tara pelan.

Aku mengangguk setuju. Berdua.

Namun pagi ini, ada sesuatu yang berubah. Bukan hanya karena kami terhindar dari banjir yang tidak pernah terjadi. Melainkan karena kami menemukan satu bentuk keamanan yang tidak tertera dalam iklan kos seperti rasa aman karena ada yang menemani mendengarkan hujan, menemani menunggu fajar, menemani dalam ketakutan yang tidak perlu dikatakan. Bencana pertama yang dihadapi di perantauan ternyata tidak selalu tentang hal yang datang dari luar.

Terkadang, ia tentang genangan kecemasan yang perlahan mengering karena ada tangan lain yang menggenggam erat meskipun hanya dari seberang tempat tidur, dalam kamar sewaan. Dan ketika matahari akhirnya terbit sempurna, menerangi dua anak perantauan yang melewati malam pertama mereka bersama malam yang mengajarkan bahwa di tanah rantau, "berdua" bisa menjadi penyelamat yang lebih kokoh dari semua jaminan keamanan lokasi.

Kami saling menatap, kemudian tersenyum.

"Nanti," kataku, "kita ceritakan ke keluarga bahwa kita berdua kuat menghadapinya."

"Bersama-sama," tambah Tara.

Dan kata itu bersama-sama terasa lebih menghangatkan dari sinar matahari pagi tersebut.

© Sepenuhnya. All rights reserved.