DAUN dan WAKTU

Cerpen ini menggambarkan kisah haru tentang Ayyara dan Devara, dua mahasiswa yang dipertemukan secara tak sengaja di Jogja.

Oleh Muh. Akbar Saputra

Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, dingin Jogja pagi itu terasa begitu menusuk sampai ke tulang. Ayyara membenarkan syal yang melingkar di lehernya, berusaha menahan gesekan angin yang menyusup lewat sela-sela jaketnya yang sudah usang. Tubuhnya yang rapuh menggigil ringan, setiap hembusan nafasnya menguap membentuk kabut tipis di udara. Di tangannya, tas kecil berisi beberapa buku dan obat-obatan terasa semakin berat. Dokter telah memperingatkannya untuk tidak memaksakan diri, tapi kuliah pagi ini terlalu penting untuk dilewatkan.

Cerpen DAUN dan WAKTU

Kaki-kaki kecilnya melangkah pelan, menapaki aspal basah yang masih bermandikan hujan dan embun malam tadi. Dari kejauhan, siluet kampus mulai terlihat samar-samar, dikelilingi kabut pagi yang menyelimuti pepohonan. Ayyara tersenyum getir. Betapa ironis, di tengah keramaian kampus yang mulai hiruk-pikuk ini, dia justru merasa seperti pulau yang sangat kecil.

Tiba-tiba, pandangannya terarah pada seorang pemuda yang tampak kebingungan di ujung lorong. Rambutnya yang agak berantakan diterpa angin, matanya yang cerah kini berkerut memandangi denah kampus seolah-olah itu adalah peta harta karun yang sulit dibaca. 

Sesaat, Ayyara ragu. Biasanya dia akan langsung menunduk dan berjalan cepat, menghindari interaksi yang tidak perlu. Tapi ada sesuatu di wajah pemuda itu, kerentanan yang membuatnya teringat pada dirinya sendiri.

“Kamu kelihatannya nyasar ya?," ucap Ayyara, suaranya lebih lembut dari yang dia kira.

Devara menoleh, dan untuk sesaat waktu seakan berhenti. Mata mereka bertemu, dan Ayyara bisa merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Ada kehangatan yang aneh mengalir di antara mereka, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.

"Eh… iya nih, aku harus ke gedung B ruangan B221, tapi kok bingung ya ruangannya dimana," jawab Devara, tersipu malu. Jari-jarinya yang panjang masih menunjuk-nunjuk denah yang tak kunjung dia pahami.

Ayyara tersenyum. "Ikut aku aja, aku juga mau ke sana kok."

Perjalanan menuju ruang B221 yang hanya lima menit terasa seperti satu jam. Mereka berjalan beriringan, langkah mereka seirama dengan ketukan hati yang malu-malu. Ayyara bisa mendengar setiap tarikan nafas Devara, bisa mencium aroma parfumnya yang segar bercampur dengan aroma kopi pagi. Dia menyadari betapa dekat mereka berjejeran hingga membuat pipinya memerah.

“Kamu dari mana klo boleh tau?" tanya Ayyara, berusaha memecah keheningan yang mulai terasa mengganggunya.

"Bandung," jawab Devara. “Aku masih belum banyak tahu tentang disini, ya maklum mahasiswa pindahan. Tapi sepertinya kamu tau banyak deh."

Ayyara tertawa kecil. "Aku sudah setahun di sini. Tapi percayalah, dulu aku lebih tersesat dari kamu." Dia berhenti sejenak, memandang Devara dengan mata yang berbinar. "Sabar. Semua butuh waktu. Kamu pasti bakal nganggep ini semua sperti rumah."

Kata-kata itu terasa begitu tulus, begitu menenangkan. Devara mengangguk, senyum kecil mengembang di bibirnya. Untuk pertama kalinya sejak tiba di Jogja, dia merasa tidak sendirian.

Pertemuan singkat itu menjadi awal dari sebuah persahabatan yang tumbuh pelan namun pasti. Minggu-minggu berlalu, dan Ayyara serta Devara mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Mereka berdua adalah dua sisi koin yang berbeda. Devara yang energik dan penuh semangat, Ayyara yang tenang dan penuh perhatian. Tapi justru perbedaan itulah yang membuat mereka saling melengkapi.

***

Di bawah naungan pohon beringin yang rindang di taman kampus, mereka sering duduk berdua, berbagi cerita dan impian. Suara riuh mahasiswa di kejauhan seolah menjadi soundtrack bagi kehangatan yang mulai tumbuh di antara mereka.

"Aku masih nggak nyangka tau, lo yang selalu tenang ini ternyata perhatian banget sama gua," kata Devara suatu sore, matanya menatap lekat Ayyara yang sedang asyik memandangi dedaunan yang bergoyang.

Ayyara mengalihkan pandangannya, berusaha menyembunyikan rasa senang yang tiba-tiba menggelegak di dadanya. "Aku cuma pengen kamu tuh merasa nggak sendirian dev," jawabnya, suaranya hampir berbisik.

Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, dunia seakan berhenti berputar. Di antara mereka, tumbuh sebuah harapan yang tak perlu banyak kata untuk dimengerti.

"Kamu sering banget bawain aku buku buat dipinjemin," kata Devara sambil tertawa kecil, mengacak-acak rambut Ayyara yang pendek.

Ayyara tersipu, wajahnya memerah. "Ya, itu cuma buat kamu dev. Supaya semangat terus belajarnya."

"Semangat terus yah." Ucap Ayyara melanjutkan.

Ada keheningan singkat yang terasa begitu berarti sebelum Devara akhirnya berbicara lagi. "Kadang aku bingung mau bilang apa."

"Mulai aja, yang penting jujur," balas Ayyara, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang.

Devara menatapnya lebih dalam. "Kamu beneran mau denger aku jujur?"

"Jujur itu emang penting, kan?" Balas Ayyara lagi.

"Ayok temenan lebih lama lagi, aku mau kita bisa terus seperti ini.” Kata itu akhirnya terucap dari bibir seorang Devara Nakhla.

Mereka saling bertukar senyum, dan di saat itulah Ayyara menyadari sesuatu, perasaannya terhadap Devara sudah jauh melampaui sekadar pertemanan.

***

Bulan demi bulan berlalu, dan musim hujan tiba dengan guyuran airnya yang deras. Di sebuah kafe kecil yang hangat, dengan aroma kopi yang menenangkan dan denting gelas yang sesekali terdengar, Ayyara dan Devara duduk berhadapan. Hujan turun di luar jendela, menciptakan pola-pola air yang indah di kaca.

"Kamu tahu Ra, aku pengen kita jadi lebih dari ini," kata Devara pelan, tangannya meraih tangan Ayyara yang dingin.

Ayyara menahan nafas. Dia sudah lama menunggu momen ini, tapi sekarang ketika itu saat yang ia nantikan datang menyapa, dia merasa begitu takut. Takut akan perubahan, takut akan kemungkinan kehilangan. Tapi yang lebih dia takuti adalah melewatkan kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.

"Aku juga, Deva," bisiknya, suaranya gemetar.

Mereka saling menggenggam tangan, dan di saat itulah janji tak tertulis terpatri di antara mereka. Cinta mereka tumbuh, meski Ayyara tahu bahwa jalan yang mereka tempuh tidak akan selalu mudah.

"Ra... Kalau aku sibuk, jangan marahin, ya," pinta Devara, matanya memohon pengertian.

Ayyara mengangguk, menggenggam tangan Devara lebih erat. "Aku bakal selalu mengerti kok Dev."

Tapi janji manis itu mulai retak seiring dengan berjalannya waktu. Devara semakin tenggelam dalam kesibukan organisasi dan pertemanannya. Pertemuan mereka yang dulu rutin kini menjadi langka, pesan-pesan singkat Ayyara sering kali dibalas berjam-jam kemudian, kadang bahkan sehari setelahnya.

Ayyara duduk di kamarnya, memandangi ponsel yang tak kunjung berdering. Tangannya mengetik pesan kesekian kalinya: "Deva, aku mau denger suara kamu."

Balasan datang satu jam kemudian: "Bentar, aku lagi ada rapat kordinasi, nanti aku kontak."

Air mata mulai menggenang di mata Ayyara. Dia memahami kesibukan Devara, tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, ada rasa sakit yang terus menggerogoti. Tubuhnya yang rapuh semakin lemah menahan beban kesepian. Dokter telah memperingatkannya, stres hanya akan memperburuk kondisinya. Tapi bagaimana tidak stres ketika orang yang dicintainya perlahan menjauh?

***

Suatu malam, setelah menunggu selama tiga jam di koridor kampus yang sepi, Ayyara akhirnya bertemu dengan Devara yang terlihat lelah dan tergesa-gesa.

"Kamu masih sibuk banget ya? Aku takut kita jadi jauh," ucap Ayyara, berusaha menahan isakannya.

Devara menghela napas panjang, wajahnya dipenuhi kelelahan. "Aku nggak ingin jauh, tapi, aku cuma butuh fokus."

"Aku paham, tapi aku juga butuh kamu, Deva. Aku mau lebih dari sekadar pesan singkat."

Kedua mata yang dulu penuh cinta kini berkabut dingin. Mereka berpamitan malam itu setelah Deva mengantarkan Ayyara ke depan kos tempat Ayyara tinggal dengan hati yang berat, tanpa kata-kata penutup yang jelas.

Hari-hari berikutnya terasa semakin suram bagi Ayyara. Kondisinya semakin memburuk, tapi dia memilih untuk diam. Dia tidak ingin merepotkan Devara yang sedang sangat sibuk dengan banyak event kepanitiaanya. Di bangku taman yang redup, tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu bersama, Ayyara kini duduk sendirian. Tubuhnya menggigil, meski jaket yang dia kenakan cukup tebal. Setiap tarikan nafas terasa menyiksa, dadanya sesak oleh rasa sakit fisik dan batin.

Ketika Devara akhirnya datang, terburu-buru setelah mendengar kabar dari teman sekelasnya bahwa Ayyara kelihatan sedang sakit, wajahnya dipenuhi kepanikan.

"Ada apa, Ra? Kamu kelihatan sangat sakit," katanya, suara menjadi lirih penuh kekhawatiran.

Ayyara mengangguk pelan, berusaha tersenyum meski rasanya seluruh tubuhnya ingin menyerah. "Aku cuma capek aja kok, Dev."

Tapi sebelum Devara sempat mengatakan sesuatu, tubuh Ayyara yang rapuh itu akhirnya tumbang. Dunia berputar, suara Devara memanggil-manggil namanya terdengar sayup, dan kemudian kegelapan.

Di rumah sakit, di balik selimut putih dan berbagai alat medis, Ayyara membuka matanya pelan. Devara duduk di sampingnya, wajahnya pucat dan penuh penyesalan.

Langit Jogja pagi itu kelabu, seolah turut berduka. Butir-butir hujan halus mulai jatuh, membasahi jalanan kampus yang sepi. Di ruang ICU RS Sardjito, detak monitor jantung terdengar seperti hitungan mundur terakhir.

Ayyara terbaring lemah. Tubuhnya yang sudah tinggal kulit yang membalut tulang itu tersiksa setiap kali menarik napas. Dokter sudah bicara tentang kemungkinan terburuk, tapi Devara tak mau mendengarnya. Tangannya menggenggam erat tangan Ayyara yang dingin.

"Jangan sakit terus, ra" desisnya, suara serak penuh penyesalan.

Ayyara membuka mata pelan. Matanya yang dulu begitu jernih, kini redup seperti lampu yang akan padam. Senyum tipis mengembang di bibirnya yang pecah-pecah.

"Kamu datang?" bisiknya lemah.

"Tentu saja aku datang, Ra. Aku akan selalu ada sekarang," jawab Devara, menahan isak.

Tapi Ayyara menggeleng pelan. "Makasih ya Dev, tapi aku udah gapapa kok."

Detak monitor semakin tidak teratur. Devara menatap ngeri, jantungnya berdebar kencang. Ini tidak boleh terjadi. Belum. Mereka masih punya banyak waktu.

"Ayyara, tolong," tangisnya pecah. "Jangan tinggalin aku. Kita masih punya banyak mimpi yang harus diwujudkan, bukan?"

Tapi Ayyara hanya tersenyum getir. "Aku udah ga bisa ngerasain apa-apa lagi."

Nafasnya tersengal-sengal. Setiap tarikan oksigen terasa seperti pisau yang menyobek paru-parunya.

"Devara Nakhla," lanjutnya dengan suara nyaris berbisik, "Aku mohon, tetaplah hidup dan bahagia demi aku, wujudkan semua wishlist yang pernah kamu ceritakan ke aku, tapi kali ini ga ada akunya."

Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pisau manapun. Devara terisak, kepalanya tertunduk dalam-dalam. Dia ingat semua pesan yang tidak ia balas, semua janji yang diingkari, semua waktu yang diabaikan.

"Aku mohon, jangan tinggalkan aku," pintanya, dengan suara yang sudah sangat hancur.

Tapi Ayyara sudah menutup mata. Tangannya yang dingin mulai melemas dari genggaman Devara.

"MONITOR FLAT!!!" teriak seorang perawat.

Dokter bergegas masuk, mendorong Devara keluar dari ruangan. Tapi sebelum pintu tertutup, Devara masih sempat melihat wajah pucat Ayyara untuk terakhir kalinya.

Dia terpaku di luar, mendengar suara berisik alat-alat medis berusaha menghidupkan kembali tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Tapi dia tahu, Ayyara sudah pergi. Pergi dengan semua rasa sakit yang Ayyara tanggung semua sendirian.

Ketika dokter keluar dengan wajah muram dan lesu, dunia Devara runtuh.

"Maaf. Kanker darahnya sudah stadium akhir, dan kondisi fisiknya sudah terlalu lemah sejak lama," ujar dokter.

Devara tertatih masuk ke ruangan. Ayyara terbaring tenang, wajahnya damai seperti sedang tertidur. Baru sekarang Devara menyadari betapa kurusnya Ayyara, betapa dalam bayangan hitam di bawah matanya.

Di atas meja samping tempat Ayyara terbaring, ada sebuah buku harian. Dengan tangan gemetar, Devara membukanya.

Halaman terakhir tertulis: "Hari ini aku bertemu dengan Devara. Dia tersesat, dan aku menuntunnya menemukan jalan. Andai saja dia juga mau menuntunku ketika aku tersesat dalam kesendirian ini."

Air mata Devara menetes membasahi halaman buku. Dia membalik halaman demi halaman, membaca semua rasa sakit yang disembunyikan Ayyara di balik senyumannya.

"Devara sangat sibuk lagi hari ini. Aku mengiriminya pesan, tapi seperti biasa, tidak ada balasan. Mungkin aku tidak cukup penting baginya."

"Badanku sakit sekali hari ini. Tapi aku tidak berani memberitahu Devara. Dia masih sangat sibuk."

"Apakah dia pernah benar-benar mencintaiku? Atau aku hanya mengganggu?"

Setiap kata seperti pisau yang mengoyak-ngoyak hatinya. Devara berteriak, menumpahkan semua penyesalan yang tak tertahankan.

Dia ingat bagaimana Ayyara selalu tersenyum meski matanya berkaca-kaca. Ingat bagaimana Ayyara selalu memakluminya meski jelas-jelas terluka. Ingat pesan-pesan yang tidak pernah dibalas, janji-janji yang diingkari.

"Aku membunuhnya," bisik Devara pada diri sendiri. "Dengan ketidak pedulianku, aku membunuhnya pelan-pelan."

***

Peti mati Ayyara ditutup dengan perlahan. Devara memandangi wajahnya untuk terakhir kali, berusaha mengukir setiap detailnya dalam ingatan. Tapi yang terlihat hanyalah bayangan pucat dari gadis ceria yang dulu ditemuinya pertama kali di lorong kampus dulu.

Di pemakaman, hujan turun lebih deras. Seolah-olah langit pun menangis untuk Ayyara. Devara berdiri sendirian, menatap tanah basah yang mulai menutupi peti mati.

"Ra. Aku minta maaf," bisiknya, tapi sudah tidak ada yang mendengar.

Tidak ada lagi senyuman Ayyara yang hangat, tidak ada lagi pelukan yang menenangkan, tidak ada lagi cinta yang tulus yang selama tanpa sadar selalu ia sia-siakan.

Kembali ke kos-kosan yang sepi, Devara menemukan sebuah surat di bawah pintu. Tulisan Ayyara yang rapi menghiasi amplop cokelat itu.

"Untuk Devara,

Jika kamu udah nemuin surat ini, berarti aku udah pergi. Jangan sedih ya Devaraku. Aku tahu kamu bukan mau sengaja abaiin aku. Kamu hanya terlalu sibuk mencari sesuatu yang penting, tanpa menyadari bahwa yang terpenting sudah kamu miliki.

Aku akan selalu menunggu dan nemenin kamu, Devara. Bahkan sampai detik terakhir. Tapi aku sadar, cinta saja tidak cukup ketika yang satu memberi dan yang lain hanya menerima.

Tetaplah hidup dan bahagia yaa. Temukan seseorang yang bisa kamu hargai lebih daripada aku. Tapi nantinya ketika kamu udah nemuin seseorang itu, kamu harus selalu ingat ya, waktu tidak bisa diputar kembali, maka hargai selagi ada.

Senang rasanya di episode hidupku yang singkat ini, aku bisa mengenal seseorang yang bernama Devara Nakhla,

Salam sayang, Ayyara”

Surat itu jatuh dari tangan Devara. Dia tertawa getir, menertawakan kebodohannya sendiri. Dia telah kehilangan mutiara terindah hanya karena terlalu sibuk mengumpulkan kerikil-kerikil biasa.

Malam itu, Devara duduk di tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu bersama. Taman kampus yang sepi, hanya diterangi cahaya bulan yang pucat.

"Ayyaraaa!" teriaknya, suaranya pecah di tengah kesunyian. "Aku mau kamu di sini lagiii! Kamu di sana bisa denger aku nggaaa! Aku masih punya banyak janji yang belum aku tepatin ke kamuuu!!!"

Tapi yang menjawab hanya desau angin yang dingin. Seolah-olah membisikkan sebuah kebenaran pahit, beberapa kesalahan tidak bisa diperbaiki, beberapa kepergian tidak bisa ditarik kembali.

Devara tetap duduk di sana sampai pagi, menatap langit kelabu yang tidak lagi indah. Jogja masih sama dingin, sunyi, dan penuh kenangan. Tapi kali ini, kenangan itu terasa seperti hukuman seumur hidup bagi Devara.

Dia telah belajar tentang cinta, tapi pelajaran itu datang dengan harga yang terlalu amat mahal. Yakni, nyawa seseorang yang mencintainya dengan tulus.

Dan di bawah pohon beringin yang dulu menjadi saksi cinta mereka, Devara akhirnya mengerti: Cinta bukan tentang seberapa besar perasaanmu, karena cinta saja tidak cukup ketika yang satu memberi dan yang lain hanya menerima.

Sayangnya, pengertian itu datang terlalu terlambat. Terlambat untuk menyelamatkan Ayyara. Terlambat untuk menghargai. Terlambat untuk memperbaiki segalanya. Yang tersisa hanyalah penyesalan yang akan menyiksanya seumur hidup.

Muh. Akbar Saputra
Penulis: Muh. Akbar Saputra
© Sepenuhnya. All rights reserved.