Jejak di Rel Kereta

Cerpen ini menggambarkan kehidupan mahasiswa rantau di Kota Padang dengan segala suka duka, persahabatan, perbedaan budaya, hingga perjalanan ...

Pagi hari di Kota Padang memiliki suasana khas yang sulit dilupakan oleh siapa pun yang pernah tinggal di sana. Sejak pukul lima subuh, suara azan dari musala kecil di gang sempit telah bersahutan, seolah membangunkan setiap penghuni kota. Tidak lama kemudian, terdengar pula suara pedagang keliling yang menawarkan dagangannya, “Lontong, lontong, lontong…!” sambil mendorong gerobak sederhana. Bagi sebagian orang, suara-suara itu mungkin dianggap bising. Namun, bagi mahasiswa rantau, suara tersebut justru menjadi pengingat bahwa hidup harus terus berjalan, betapapun beratnya hari-hari yang mereka hadapi.

Cerpen Jejak di Rel Kereta

Raka, mahasiswa asal Klaten, Jawa Tengah, membuka matanya dan mengernyitkan dahi. Jam weker telah berbunyi sejak setengah jam sebelumnya, tetapi tubuhnya masih enggan beranjak dari kasur tipis yang menjadi satu-satunya teman setia dalam kamar sempit kosnya itu. Dinding kamarnya dihiasi dengan cat yang sedikit luntur, dan suara dari luar mudah terdengar. Bahkan kokok ayam tetangga seolah bergaung langsung di telinganya.

“Rak, cepat bangun! Kalau terlambat, kereta ke Pariaman akan berangkat tanpa kita!” teriak Reno dari luar kamar sambil menendang pintu.

Raka menghela napas panjang, suaranya masih parau. “Jam berapa sekarang, No?”

“Jam delapan dari Simpang Haru. Sekarang sudah hampir jam tujuh. Kalau kau masih lama, lebih baik tinggal saja di kos,” balas Reno dengan logat Minang khasnya yang selalu membuat Raka geli.

Suara tawa terdengar dari ruang tengah. Itu tentu saja Beni, mahasiswa asal Medan, dan Fadli dari Pekanbaru. Keduanya sudah siap sejak pagi, sementara Raka masih bermalas-malasan. Hari itu, mereka berempat berencana naik kereta ke Pariaman. Bagi mahasiswa rantau, perjalanan sederhana seperti itu sudah menjadi hiburan mewah. Tiket kereta hanya sekitar lima ribu rupiah, namun pemandangan sepanjang perjalanan tidak ternilai. Jalur dari Stasiun Simpang Haru menuju Pariaman memperlihatkan sawah hingga perkampungan kecil. Semua itu menjadi cara paling sederhana untuk melepaskan penat dari rutinitas kuliah dan tumpukan tugas yang seakan tidak pernah berakhir.

Raka akhirnya mandi kilat, hanya sekadar membasahi badan. Ia buru-buru mengenakan kaos bergambar band indie dan celana jeans. Saat keluar kamar, Reno sudah menyiapkan sebungkus nasi kapau dari warung dekat kos. Fadli membawa keripik sanjai oleh-oleh dari keluarganya di Pekanbaru. Sementara Beni tidak ketinggalan, ia menenteng gitar kecil yang selalu menjadi andalan ketika suasana hening. Sebelum berangkat, ibu kos yang merupakan seorang perempuan paruh baya dengan selendang sederhana datang ke ruang tengah. Senyumnya ramah, tetapi ada ketegasan dalam suaranya.

“Anak-anak, jangan lupa membayar uang kos bulan ini,” ucapnya.

Reno segera menyerahkan amplop. “Ini, Bu. Uang kos saya.”

Fadli pun demikian, ia sudah menyiapkan pembayaran sejak kemarin. Namun, ketika tiba giliran Raka, wajahnya mendadak pucat. Ia menggaruk kepala, meski sebenarnya tidak merasa gatal.

“Ibu, mohon maaf… kiriman dari rumah belum masuk. Besok atau lusa saya bayar, ya, Bu.”

Ibu kos hanya mengangguk kecil, meski nadanya tetap tegas. “Baiklah, Nak. Tetapi jangan sering terlambat. Ibu juga harus membayar listrik dan air.”

Begitu ibu kos meninggalkan ruangan, suasana mendadak hening. Beni, dengan nada setengah bercanda namun menyindir, berkomentar, “Rak, kau hampir setiap bulan begitu. Kau kira ibu kos itu bank tempat menampung utang? Orang Batak selalu bilang, uang itu harga diri. Jangan sampai telat.”

Raka sontak tersinggung. “Kau enak, Ben. Orang tuamu pedagang besar, jadi setiap bulan uang dengan mudah dikirim. Aku harus menunggu hasil sawah. Kadang telat, kadang kurang. Jadi jangan seenaknya bicara begitu!”

Reno berusaha menengahi. “Sudahlah, jangan bertengkar. Setiap orang punya keadaan masing-masing. Jangan dibandingkan.”

Namun, Raka sudah terlanjur kesal. Ia langsung keluar kos tanpa banyak bicara, meninggalkan ketiga temannya yang saling pandang dengan serba salah. Meski suasana sempat memanas, mereka tetap berangkat bersama. Dengan menaiki angkot biru dari Unand–Pasar Raya, mereka menuju Stasiun Simpang Haru. Angkot itu sempit dan penuh sesak. Ada ibu-ibu membawa belanjaan, juga bapak-bapak dengan ransel lusuh. Di jalan, suara klakson bersahutan, ditambah teriakan kenek yang riuh memanggil penumpang. Kota Padang memang tidak pernah benar-benar sepi. Dari balik kaca jendela, tampak para pedagang sibuk membuka lapak, menjual buah, pakaian, bahkan nasi goreng yang sudah tersedia sejak pagi.

Sesampainya di Simpang Haru, suasana stasiun begitu ramai. Mahasiswa, keluarga, hingga pedagang kecil bercampur menjadi satu. Bangunan tua bercat putih itu memang sederhana, catnya mulai pudar, tetapi justru kesederhanaan itulah yang menciptakan kehangatan. Sirine panjang berbunyi, menandakan kereta siap berangkat. Roda bergetar di atas rel, membuat jendela ikut bergetar. Dari balik kaca, pemandangan berganti cepat: rumah-rumah warga, sawah luas, lalu pantai dengan laut biru yang tenang. Anak-anak kecil di pinggir rel melambaikan tangan, membuat penumpang tersenyum.

Beni yang sempat kesal akhirnya luluh. Ia memetik gitar kecilnya, menyanyikan lagu sederhana. Fadli ikut bersenandung, meski nadanya sering fals. Reno malah asyik berbincang dengan penumpang di sebelahnya, seorang bapak tua yang bercerita tentang masa mudanya di pelabuhan.

“Rak,” ujar Reno sambil mengunyah keripik sanjai, “kos kita itu ibarat miniatur Indonesia. Ada Minang, Jawa, Batak, Riau. Kadang ribut, kadang akur. Tapi kalau makan, ujung-ujungnya bersama.”

Beni tertawa, meski masih menyelipkan nada sindiran. “Iya, kemarin saja ribut gara-gara aku menggoreng ikan asin kebanyakan minyak. Katanya baunya seperti kapal karam. Tapi tetap saja kalian semua ikut makan, bukan?”

Semua tertawa. Bahkan Raka yang tadinya kesal ikut tersenyum. Perlahan, suasana kembali mencair. Kereta berhenti di stasiun Pariaman. Dari sana, mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju pantai. Suasana di Pariaman jauh lebih tenang dibandingkan Kota Padang. Angin laut berembus sejuk. Di sepanjang jalan, penjual sala lauak berjajar, menawarkan gorengan khas Pariaman yang menjadi incaran para wisatawan.

Mereka memilih duduk di atas pasir, menikmati makanan sambil berbincang. Perbincangan awalnya santai, hingga Reno secara spontan berkomentar, “Ben, kalau kau berbicara dengan suara keras seperti itu, orang bisa mengira kau sedang marah.”

Beni langsung menunjukkan ekspresi tidak senang. “Aku berbicara dengan cara biasa. Kalau menurutmu keras, itu telingamu saja yang terlalu peka.”

Suasana seketika menjadi kaku. Fadli berusaha menengahi dengan nada hati-hati, “Sudahlah, jangan diperpanjang. Kita ke sini untuk bersenang-senang, bukan menambah masalah.”

Namun, Beni sudah terlanjur tersinggung. Ia berdiri dan berjalan menjauh ke arah pantai. Raka yang paling peka terhadap suasana segera menyusulnya.

“Ben, jangan marah. Reno memang kadang berbicara tanpa berpikir panjang. Aku mengerti perasaanmu. Aku juga dulu sering ditertawakan karena logat Jawa-ku dianggap terlalu halus. Lama-kelamaan, aku belajar untuk tidak terlalu memikirkan hal itu.”

Beni menarik napas panjang, menatap laut lepas. “Kadang melelahkan, Rak. Orang selalu salah paham dengan logat Batak. Mereka mengira aku sedang marah, padahal aku hanya berbicara biasa.”

Raka menepuk bahunya. “Aku paham. Yang penting kita saling mengerti. Kita semua sama-sama perantau. Kalau bukan kita yang saling mendukung, siapa lagi?”

Beni akhirnya tersenyum tipis. Mereka kembali bergabung dengan kelompok. Reno segera menyadari kesalahannya dan meminta maaf dengan tulus. Ketegangan mencair, dan mereka kembali larut dalam canda. Dari kejadian itu, mereka semakin menyadari bahwa perbedaan seharusnya tidak menjadi bahan ejekan, melainkan bahan pembelajaran untuk memahami satu sama lain.

Sore hari, mereka menaiki kereta untuk kembali ke Kota Padang. Angin laut masuk melalui jendela, membuat perjalanan terasa lebih sejuk. Beni kembali memetik gitar, kali ini menyanyikan lagu Kampuang Nan Jauh di Mato. Reno ikut bernyanyi dengan penuh semangat, Fadli mencoba mengikuti meski nadanya sering meleset, sementara Raka hanya bisa menahan tertawa mendengar suara sumbang mereka.

Kereta melaju perlahan, melewati persawahan dan deretan rumah sederhana di perkampungan. Anak-anak kecil masih melambaikan tangan di pinggir rel. Ada rasa hangat yang sulit dijelaskan, seolah perjalanan pulang itu bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan juga perjalanan yang menyatukan mereka.

Sesampainya di Simpang Haru, malam sudah turun. Lampu-lampu kota Padang menyala terang, menerangi jalanan yang ramai oleh motor, angkot, serta pedagang malam. Mereka kembali ke kos dengan hati lebih lapang, meski tubuh lelah setelah seharian berjalan.

Beberapa hari kemudian, Raka duduk di meja belajarnya yang penuh dengan buku dan kertas catatan. Ia membuka buku harian yang jarang disentuh, lalu menuliskan beberapa baris sederhana:

“Hidup di perantauan itu ibarat menaiki kereta. Dalam satu gerbong, ada orang dengan latar berbeda, tujuan berbeda, namun tetap berjalan bersama. Ada kalanya terjadi pertengkaran, ada pula tawa yang pecah tanpa alasan. Yang terpenting adalah saling memahami. Perjalanan kereta mengajarkan hal itu kepadaku.”

Tulisan Raka terhenti ketika terdengar keributan dari dapur. Reno panik karena minyak goreng terlalu panas hingga hampir membuat kompor meledak. Beni tertawa terbahak-bahak, sementara Fadli sibuk berlari mencari air. Raka hanya menggelengkan kepala, lalu tersenyum kecil. Kos kecil itu memang sering gaduh dan penuh drama. Namun, di situlah mereka belajar tentang arti perbedaan, persahabatan, dan kehidupan rantau yang sebenarnya.

Nia Rahmayuni

Biodata Penulis:

Nia Rahmayuni, lahir pada tanggal 5 September 2005 di Bangkinang, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

© Sepenuhnya. All rights reserved.