Senja di Ujung Nama

Cerpen ini mengisahkan Aira yang belajar berdamai dengan kehilangan setelah kepergian Rasyid, lelaki yang pernah berjanji untuk selalu pulang.

Oleh Nia Khusnia

Senja selalu datang dengan warna jingga yang lembut dan menakjubkan, namun juga menyimpan luka di ujungnya. Di beranda rumah kayu peninggalan kakek, Aira duduk diam, menatap langit yang perlahan meredup. Angin sore berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan kenangan yang tak mau pergi.

Cerpen Senja di Ujung Nama

Sudah lima tahun sejak Rasyid pergi tanpa pamit. Lima tahun, sejak lelaki itu memilih meninggalkan janji yang pernah diucapkan di bawah pohon Flamboyan. Sebuah janji sederhana, tapi bagi Aira, itu lebih dari sekadar kata. “Aku akan selalu pulang.” Begitu katanya. Tapi sampai hari ini, yang pulang hanyalah bayang-bayang dan kabar yang tak pernah jelas.

Aira menatap cangkir tehnya yang mulai dingin. Di permukaannya, langit senja memantul samar, seolah menatap balik dengan tatapan iba. Ia tersenyum getir.

“Kau tahu, Senja?” bisiknya lirih, “kadang aku benci padamu, karena kau selalu datang tanpa membawanya pulang.”

Dari dapur, suara Ibu memanggil pelan.

“Aira, makan dulu, Nak. Kau belum juga menyentuh nasimu.”

Aira menjawab dengan senyum kecil. Ia tahu, Ibu sudah lelah menasihati tentang melepaskan, tentang mengikhlaskan seseorang yang mungkin memang tidak ditakdirkan untuk kembali. Tapi bagaimana bisa melepaskan seseorang yang masih menetap dalam setiap helaan napas?

Sejak Rasyid pergi, Aira belajar menulis. Di tiap lembar buku hariannya, ia menumpahkan rindu yang tak punya tujuan.

Rasyid, apakah kau masih mengingat suara hujan di sore terakhir itu?
Aku masih mengingat jaket abu-abumu yang tertinggal di kursi ruang tamu.
Masih terasa hangat, meski pemiliknya sudah tak tahu di mana.

Aira menulis bukan untuk dibaca, tapi untuk menenangkan riuh di dadanya. Kadang ia berpikir, mungkin inilah takdir mencintai seseorang yang tak pernah kembali, tapi tak juga hilang.

Suatu hari, ketika Aira sedang membersihkan rak bukunya, selembar surat jatuh dari salah satu novel usang. Tulisan tangan Rasyid, ragu namun akrab.

“Jika suatu hari aku tak lagi bisa pulang, jangan tunggu aku di jalan. Tunggulah di doamu. Karena mungkin hanya itu jalan pulang yang tersisa bagiku.”

Aira membacanya berulang-ulang. Hatinya perih, tapi juga hangat. Ada sesuatu yang jujur di balik kalimat itu, seolah Rasyid sudah tahu bahwa hidup tidak selalu memberi kesempatan kedua.

Hari-hari berikutnya, Aira mulai belajar berdamai. Ia kembali ke kampus, menyelesaikan skripsi yang sempat tertunda. Ia menulis puisi tentang kehilangan, tentang bagaimana manusia bisa mencintai seseorang yang bahkan sudah menjadi masa lalu.

Dalam tulisannya, Aira menulis satu kalimat yang kemudian ia kutip dalam setiap surat yang tak pernah terkirim.

“Kehilangan bukan tentang siapa yang pergi, tapi tentang siapa yang tetap bertahan untuk diingat.”

Malam itu, hujan turun tanpa jeda. Aira duduk di depan jendela, menatap kilat yang sesekali menyambar langit. Di luar, lampu jalan berkedip, seperti mata yang menahan tangis. Ia membuka buku hariannya lagi, menulis dengan tangan gemetar.

Rasyid, jika hujan adalah cara langit mengingat bumi, maka menulislah caraku mengingatmu.

Tiba-tiba ponselnya berdering oleh nomor tak dikenal.

“Halo, ini dengan Aira?” suara laki-laki di seberang terdengar ragu.

“Iya, siapa ini?”

“Saya teman Rasyid. Saya hanya ingin menyampaikan kalau Rasyid menitipkan notebook ini untukmu sebelum... sebelum dia berangkat ke Turki. Dia bilang, kalau suatu hari aku bertemu denganmu, tolong kembalikan ini.”

Suara itu terhenti sejenak, kemudian melanjutkan lirih,

“Tapi maaf, Aira... Rasyid tak sempat kembali. Dia... meninggal dua tahun lalu.”

Aku tercekat dan waktu seakan berhenti. Hujan di luar seakan ikut menahan napas. Aira menutup mata, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Dunia di sekitarnya memudar, hanya tersisa gema satu kalimat, “Rasyid tak sempat kembali.”

Keesokan harinya, seorang pemuda datang membawa notebook berwarna cokelat. Halaman pertama berisi tulisan tangan Rasyid.

“Untuk Aira, perempuan yang mengajarkanku bahwa cinta bukan tentang memiliki, tapi tentang pulang meski hanya lewat doa.”

Aira tersenyum dalam tangis. Ia menatap halaman itu lama sekali, seperti sedang berbicara dengan masa lalu yang kini hanya bisa dijangkau lewat kata-kata.

Sore harinya, ia duduk lagi di beranda, memandang senja yang turun perlahan. Tapi kali ini, warna jingganya terasa berbeda, lebih damai, lebih lembut-lembut, dan lebih bersahabat.

Ia berbisik pelan, “Kau benar, Rasyid. Pulang tak selalu harus lewat langkah kembali. Kadang cukup lewat doa yang tak pernah putus.”

Aira menutup matanya. Hujan sudah reda, dan angin membawa aroma bunga kenanga dari kebun belakang—harum, menenangkan. Di langit, cahaya senja memudar, tapi di hatinya, terang baru mulai tumbuh.

Kata-kata terakhir dalam notebook itu, “Jika suatu hari rindumu datang, biarlah ia duduk di sampingmu dengan tenang. Karena rindu yang tak lagi menyakitkan, adalah tanda bahwa cinta sudah pulang ke tempatnya.”

Dan di beranda itu, Aira akhirnya mengerti bahwa tidak semua kehilangan berarti berakhir.

Beberapa hanya berubah bentuk, menjadi doa yang abadi.

Nia Khusnia

Biodata Penulis:

Nia Khusnia saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Penulis bisa disapa di Instagram @sunnie_

© Sepenuhnya. All rights reserved.