/1/
Beberapa hari ini berita di koran dan televisi semakin menjadi-jadi.
Apa yang kulihat selalu tentang demo, kerusuhan, dan reformasi, “Apa sih manfaat semua ini?”, aku bertanya pada diri sendiri. Heran.
Kupalingkan wajah dari televisi pos ronda yang masih nyala menuju jalanan.
Di muka banyak orang hilir mudik. Mata lurus ke depan menangkap rutinitas akhir hari orang-orang.
Macetnya jalan utama saat jam pulang kerja, membuat jalanan gang rumahku menjadi jalan tikus langganan. Suara motor bercampur suara obrolan tetangga menjadi makananku sehari-hari.
“Woy, Di!”, suara akrab mengagetkanku, spontan kutatap sumber suara.
“Tuh, tipi kalo nggak ditonton ya dimatiin, hemat. Ekonomi lagi susah”.
“Iya, Li”, jawabku.
Mimik Jumali berubah, “Lu sakit, Di? Kemek (bahasa gaul buat makan anak 90-an) yuk di bang Andre. Pengen bakso nih, gua traktir dah”.
Menghela napas, “Apaan sih, Li, gua masih kenyang”.
“Idih nyolot, tau gitu gua langsung berangkat aja sendiri”. Ucap Jumali lalu pergi.
Habis itu aku bersiap pulang. Kututup layar televisi dengan penutup kain, kucabut kabel power-nya, lalu aku berjalan ke arah sebaliknya warung bang Andre.
Belum begitu jauh berjalan, teriakan Jumali terdengar dari kejauhan, “Jangan lupa ntar, Di, ngumpul di pos ronda habis Isya”. Oke! kubalas ajakannya dengan isyarat jempol mengacung tinggi.
Petang diambang karam dan malam mulai menjelang. Suara masjid sebelum azan berkumandang, pertanda magrib akan datang. 'Sampai rumah, mandi. Lalu hubungi nomor-nomor kantor pada kolom lowongan koran hari ini', gumamku pada diri sendiri.
/2/
Sehabis mandi, kutatap wajah dalam cermin. Ia sudah banyak berubah, sejak dua tahun lalu. 'Perasaan waktu jadi cepat berlalu ya', gumamku, teringat momen perpisahan SMA. Tak ada hingar-bingar kecuali hari itu, selebihnya adalah rasa bosan dan tekanan yang semakin menjadi, “Aku ini mau apa sih?”.
Sudah 5 bulan aku putus kerja di pasar. Kerusuhan dan demo membuat pasar semakin sepi. Harga-harga naik. Pembeli dan penjual sama-sama panik. “Jum, lu besok jangan ke pasar dulu ya. Nanti kalau kondisi udah agak baikan, gua kabari lagi lu”. Ucap kang Budi pemilik toko sayur tempat aku bekerja 5 bulan lalu. Dan sejak hari itu aku tahu, ucapan kang Budi pertanda hari itu adalah hari terakhirku bekerja.
“Di…! Jumadi…! Kesambet lu?! Buruan gih keluar dari kamar mandi kalau udah kelar mandi”, suara emak agak berteriak.
“Iya, mak”, jawabku bergegas keluar.
“Lu kenape?” tanya emak di dapur.
“Aman, mak”, kuambil koran di meja makan, bergegas menuju kamarku untuk berganti baju.
“Nanti, kalau mau kopi, ambil di meja ya. Udah emak bikinin”. Suara emak agak berteriak, tepat ku sampai depan kamarku.
Di dalam kamar merasa beruntung sekali aku. Orang tuaku mengerti kondisi anaknya yang sedang nganggur 5 bulan. Aku kadang merasa sedih saja, kapan waktuku bisa membahagiakan mereka?
“Udah sih bang” ucapan bapak padaku sebulan setelah aku dipecat tiba-tiba terngiang. “Yang penting kamu udah berusaha tiap hari nyari kerja. Ingat, proses itu yang terpenting, bukan hasilnya. Bapak gak mau kamu sukses tapi lupa sama orang lain. Mungkin prosesmu yang begini tuh biar kamu ingat kalau kamu tuh pernah susah sebelum kaya”.
/3/
Habis Isya, udara terasa lembap. Jalan gang sudah sepi, tapi suara obrolan di pos ronda terdengar ramai. Asap rokok melayang-layang di bawah lampu petromaks yang digantung miring. Jumali sudah di sana, bersama empat orang lain; yang kukenal hanya sebatas nama panggilan.
“Diii, sini! Duduk, ngopi dulu!” seru Jumali.
Aku ikut duduk, mencoba tersenyum. Tapi pembicaraan malam itu aneh, cepat berubah arah. Awalnya cuma soal kabar di TV—harga beras, mahasiswa demo, lalu mulai ada yang nyeletuk soal “orang-orang kaya” dan “toko-toko yang tutup.” Aku diam, menatap gelas kopi yang permukaannya bergetar kena meja.
“Lu gak denger, Di? Di Glodok katanya banyak yang kosong, dijarah orang. Emas, elektronik, makanan juga,” kata salah satu dari mereka, suaranya separuh berbisik.
“Wah, kapan lagi dapet rejeki dadakan,” tambah yang lain, sambil tertawa.
Aku ikut tertawa kecil, tapi jantungku berdebar aneh. Dalam benakku muncul wajah emak, dan bapak. “Besok aja, liat situasi,” kataku. Tapi mereka malah menatapku seolah aku pengecut.
“Lu ini ketinggalan mulu, Di. Hidup susah gini kalau gak nekat, kapan majunya?” kata Jumali.
Aku tak menjawab. Dalam hati, aku tahu mereka benar dan salah di saat yang sama.
/4/
Malam itu, kota seperti bara yang belum padam. Api kecil di ujung jalan menjilat langit, menampakkan siluet orang-orang yang berlari membawa televisi, karung beras, dan wajah yang sulit kubedakan antara lapar dan marah. Kami menyusuri arah pasar, berempat di atas truk bak terbuka yang entah milik siapa. Bau bensin bercampur dengan asap plastik terbakar menyesaki dada.
“Tuh, toko-toko Cina pada kosong! Cepet, Di!” seru Jumali sambil menunjuk papan toko bertuliskan huruf-huruf asing.
Aku melompat dari bak, kaki menjejak pecahan kaca. Suara pintu didobrak dan logam bergesekan. Tak ada waktu untuk berpikir, hanya gerak. Tangan ini seperti punya kehendaknya sendiri—mencomot apa saja yang bisa dijual. Radio, pakaian, beberapa bungkus rokok. Semuanya masuk ke karung. Di kejauhan terdengar suara perempuan menangis, lalu hilang ditelan riuh.
Selesai menjarah, kami duduk di pinggir jalan. Nafasku berat, seperti baru lari jauh. “Udah, balik aja, Li,” kataku.
“Balik? Gila! Malem masih panjang, Di. Nih kota lagi milik siapa? Kita!” Ia tertawa, keras, sambil menepuk pundakku.
Malam begini, Jakarta jadi kota sepi. Tidak ada orang yang berani keluar kecuali penting. Dan kalau ia etnis Tionghoa, meskipun penting ia memilih melewatkannya.
Aku mengikuti langkah rombongan penjarah melangkah. Jumali beserta orang-orang di depanku melakukan sweeping (memberhentikan mobil di jalanan).
Salah satu mobil bagus berhenti di depan kami, sorot lampunya terang tetapi sepi. Dari luar, orang di dalamnya terlihat kosong. Seorang wanita Tionghoa dengan wajah panik. Aku menoleh, tapi pandanganku segera kupalingkan. Jumali berbisik di telingaku, “Barang bagus, Di. Yakin nggak mau ikut?”
Aku tak menjawab. Suaranya bergema lama di kepalaku, bercampur dengan bunyi sesuatu yang pecah, dan langkah kaki yang berlari menjauh.
Di antara suara-suara itu, aku merasa tubuhku ikut bergerak, tapi pikiranku tertinggal di tempat lain—mungkin di rumah, atau di dapur tempat emak menyiapkan kopi tiap malam. Dalam gelap, segala batas lenyap seperti abu.
/5/
Pagi datang terlalu cepat. Jalanan dipenuhi sisa semalam: potongan papan nama, sepatu-sepatu tanpa pemilik, dan bau hangus yang tak kunjung pergi. Aku duduk di teras rumah, menatap ujung jari yang bergetar tanpa sebab. Di ujung gang, anak-anak kecil berebut bola plastik, seolah tak pernah ada malam yang terbakar.
Emak keluar membawa secangkir kopi. “Lu kenapa, Di? Muka lu pucat amat.”
Aku hanya mengangguk. Tak sanggup bicara. Setiap kali menatap cermin, yang kulihat bukan diriku sendiri—melainkan bayangan orang lain yang asing dan kotor. Di berita pagi, penyiar menyebut angka korban, menyebut beberapa nama toko yang habis dijarah, serta perkosaan massal.
Kutelan ludah, tenggorokanku kering.
Rasa bersalah menempel penuh, tak bisa dicuci.
Sampai akhir hidup, warna itu tak akan redup.
Tangan gemetar, mengusap wajah. Rasa kopiku hilang seketika. Hambar. Langit Jakarta pagi yang mendung turunkan gerimis, seolah ia mengerti manusia sedang mendaki sedihnya sendiri.
Biodata Penulis:
Adi Firdaus merupakan seorang manusia yang gemar membaca Seno Gumira. Ia mencintai sastra sejak remaja dan mulai menulis sejak saat ia sadar bisa membuat sendiri ceritanya.