Oleh Nia Rahmayuni
Pagi di kota Padang selalu ramai oleh riuh kendaraan dan aroma nasi goreng pinggir jalan. Rafa, seorang mahasiswa semester lima di Universitas Andalas, berjalan pelan menyusuri trotoar menuju kampus. Hidupnya sederhana, ditopang kiriman bulanan dari orang tua di kampung. Seperti kebanyakan mahasiswa, ia sering mencari barang-barang murah di media sosial untuk menunjang kuliah. Mulai dari buku, sepatu, hingga perlengkapan elektronik.
Hari itu, di beranda media sosialnya muncul iklan sebuah akun yang menjual laptop dengan harga yang sangat murah. Foto produk tampak meyakinkan terlihat kondisi mulus, spesifikasi bagus, dan harga jauh di bawah pasaran. Rafa tergoda, ia sudah lama membutuhkan laptop baru karena yang lama sering rusak.
“Kalau benaran asli, ini kesempatan bagus,” gumamnya.
Tanpa banyak pikir, Rafa menghubungi nomor WhatsApp yang tertera. Balasan sangat cepat, penjual yang mengaku bernama “Rizal” menjawab dengan sopan dengan mengirimkan foto tambahan, bahkan video singkat memperlihatkan laptop menyala yang membuat Rafa semakin yakin.
“Barangnya tinggal satu, Bang. Banyak yang nanyain. Kalau serius, DP sekarang, nanti langsung saya kirim via JNE,” tulis si penjual.
Rafa ragu sejenak. Namun, bujuk rayu dan harga murah membuat pertahanannya runtuh. Ia mentransfer uang muka sebesar dua juta rupiah. Penjual berjanji mengirimkan resi pengiriman malam itu juga. Malam datang, pesan yang ditunggu tak kunjung datang. Hingga keesokan pagi, nomor penjual sudah tidak aktif. Rafa seketika panik, dadanya sesak. Uang kiriman orang tuanya nyaris habis untuk barang yang tidak jelas.
Di kampus, wajah Rafa tampak kusut. Edo, sahabat karibnya, segera menegur.
“Kenapa, Fa? Mukamu kayak habis kalah judi.”
Rafa hanya menaruh ponselnya ke meja. Edo membaca percakapan singkat dengan penjual tersebut.
“Ya ampun, Fa. Ini jelas-jelas modus penipuan. Kau percaya aja?”
“Aku pikir beneran, Do. Ada video segala. Lagian akunnya banyak followers.”
Edo menghela napas. “Fa, banyak akun jualan palsu itu beli followers. Biar keliatan meyakinkan. Udah, sabar dulu.”
Tak lama, Kila, teman sekelas mereka, datang bergabung. Begitu mendengar cerita, wajahnya serius.
“Fa, kamu harus lapor. Jangan cuma diem. Kalau banyak yang kena, penipu kayak gini makin berani.”
“Tapi bukti aku cuma chat sama bukti transfer. Bisa ditindak, ya?”
“Bisa, asal kita tau cara lapornya,” jawab Kila.
Keesokan hari, Rafa, Edo, dan Kila berangkat ke kantor polisi siber yang ada di Padang. Suasana kantor sederhana, beberapa petugas sibuk di depan komputer. Mereka disambut seorang penyidik muda.
“Silakan duduk. Ada yang bisa kami bantu?” tanyanya ramah.
Rafa menjelaskan kronologi, menyerahkan bukti transfer, tangkapan layar percakapan, dan identitas akun penjual. Penyidik mengangguk paham penjelasan dari Rafa.
“Kasus seperti ini sering terjadi. Kalian tidak sendiri. Kami akan telusuri rekening tujuan transfer dan nomor ponsel yang digunakan.”
Rafa sedikit lega. Setidaknya langkah kecil sudah ia ambil.
Hari-hari berikutnya berjalan penuh kegelisahan. Di kampus, gosip tentang penipuan online semakin sering terdengar. Ada mahasiswa lain yang mengaku kehilangan uang jutaan rupiah karena membeli ponsel fiktif. Fenomena ini seperti lingkaran setan mahasiswa yang terdesak kebutuhan mencari barang murah, sehingga penipu memanfaatkan kelemahan itu.
Edo mencoba menghibur. “Fa, anggap aja ini pelajaran berharga. Kalau duit udah keluar, jangan sampai mental juga ikut habis.”
Kila menambahkan, “Tapi jangan berhenti sampai di situ. Tulis pengalamanmu, Fa, Biar jadi peringatan buat mahasiswa lain.”
Saran itu diterapkan oleh Rafa,, ia mulai menuliskan kisahnya dalam bentuk artikel untuk buletin kampus. Ia menceritakan bagaimana penipu memanfaatkan kepercayaan dan ketidaktahuan mahasiswa. Narasinya formal, tetapi penuh dengan kejujuran.
“Kejahatan tidak selalu datang lewat jalan gelap. Kini, layar ponsel bisa menjadi pintu jebakan. Mahasiswa, dengan segala keterbatasannya, menjadi sasaran empuk karena iming-iming harga murah.”
Tulisan itu segera menarik perhatian mahasiswa lain. Banyak yang berterima kasih karena merasa memiliki pengalaman serupa. Nama Rafa, menjadi bahan pembicaraan, bukan karena kebodohannya, melainkan karena keberaniannya bersuara.
Beberapa minggu kemudian, kabar baik datang dari kepolisian. Penyidik menghubungi Rafa dan meminta hadir ke kantor.
“Rekening yang menerima uangmu sudah kami lacak. Ternyata digunakan untuk menampung dana dari puluhan korban lain. Total kerugian mencapai ratusan juta rupiah.”
“Jadi bukan aku saja yang kena?” tanya Rafa.
“Benar. Kami sedang bekerja sama dengan bank untuk membekukan rekening itu. Pelaku juga sudah teridentifikasi, tinggal menunggu proses penangkapan.”
Rafa merasa lega sekaligus marah. Ia membayangkan betapa banyak mahasiswa lain yang lebih parah kerugiannya.
Beberapa hari setelah itu, berita penangkapan pelaku penipuan online di Padang muncul di media lokal. Foto seorang pria muda diborgol terpampang jelas. Ternyata, ia memang sudah lama beraksi dengan modus serupa. Kabar itu menjadi perbincangan di kampus. Banyak mahasiswa merasa terwakili perjuangannya. Kila menepuk pundak Rafa.
“Lihat, Fa. Kalau bukan karena kamu berani lapor, mungkin kasus ini nggak kebongkar secepat ini.”
Edo menambahkan dengan senyum lebar, “Nah, sekarang kau bisa tenang. Meski duitmu mungkin nggak balik sepenuhnya, setidaknya pelakunya ketangkap.”
Rafa tersenyum kecil. “Iya, Do. Mungkin uang bisa hilang, tapi jangan sampai harga diri kita juga ikut hilang. Aku nggak mau mahasiswa lain jadi korban lagi.”
Beberapa bulan kemudian, tulisan Rafa tentang penipuan online diterbitkan dalam jurnal mahasiswa. Dari situ, diskusi dan seminar kecil digelar di beberapa fakultas. Tema yang diangkat yaitu ‘Kejahatan Digital dan Perlindungan Mahasiswa’. Rafa menjadi pembicara tamu, menceritakan pengalamannya dengan nada tenang. Ia tidak lagi merasa malu, melainkan bangga bisa mengubah pengalaman pahit menjadi pelajaran bersama.
“Kejahatan bisa tumbuh di ruang yang kita anggap aman. Media sosial bukan hanya tempat mencari hiburan, tetapi juga lahan para penipu berburu korban. Tugas kita bukan hanya waspada, tapi juga berani bersuara ketika ada yang salah.”
Para mahasiswa bertepuk tangan. Kila tersenyum bangga, sementara Edo menggoda, “Fa, jangan-jangan habis ini kau jadi aktivis digital, ya?”
Rafa tertawa. “Aku hanya mahasiswa biasa. Tapi kalau diam, kejahatan akan terus hidup. Dan aku nggak mau jadi bagian dari diam itu.”
Sejak peristiwa itu, Rafa menyadari betapa pentingnya kewaspadaan dalam menghadapi dunia digital yang kian berkembang. Ia tidak lagi mudah percaya pada tawaran yang menjanjikan keuntungan besar dalam waktu singkat. Pengalaman pahit itu menjadi pelajaran berharga, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi banyak mahasiswa lain yang sempat hampir menjadi korban dengan modus serupa.
Di kampus, kisahnya perlahan menyebar. Bukan untuk mempermalukan, melainkan sebagai pengingat akan bahaya yang mengintai di balik layar ponsel. Dari pengalaman tersebut, lahirlah sebuah gerakan kecil yang berfokus pada literasi digital. Rafa, yang semula hanya korban penipuan, akhirnya berdiri di garis depan untuk memberikan edukasi kepada teman-temannya.
Pengalaman pahit itu mengubah cara pandangnya terhadap kehidupan. Dari sebuah kehilangan, ia menemukan makna tentang kewaspadaan, tanggung jawab, dan keberanian untuk berbagi. Pada akhirnya, Rafa, berhasil menutup lembaran kelam itu, lalu melangkah menuju hari-hari baru dengan tekad yang lebih matang dan keyakinan bahwa setiap luka selalu menyimpan pelajaran yang bisa menuntun pada masa depan yang lebih baik.
Biodata Penulis:
Nia Rahmayuni, lahir pada tanggal 5 September 2005 di Bangkinang, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Sastra Indonesia, di Universitas Andalas. Ia terlibat di UKPM Genta Andalas.